Kata-Kata Motivasi, Kata-Kata Bijak, Kata-Kata Mutiara, Kata-Kata Cinta, Pantun Nasehat, Pantun Jenaka, Contoh Proposal, Contoh Memo, Kata Kata 2016,

Cerpen | Contoh Cerpen | Kumpulan Cerpen Bahasa Indonesia

Cerpen | Contoh Cerpen | Kumpulan Cerpen Bahasa Indonesia. Para pengunjung blog kata bijak yang saya hormati, yang begitu setia menemani sampai dunia ini berhenti berputar, terimakasih sebuah penghargaan buat anda semua karena telah menjadikan situs ini menjadi salah satu media online yang bermanfaat, mudah-mudahan bisa selamanya dirasakan manfaatnya oleh kita semua, dan tim admin juga tentunya akan terus berusaha seoptimal mungkin menjadikan situs ini terus lebih baik lagi dalam kualitas konten dan jumlah serta kecepatan akses loadingnya atau dalam bahasa lainnya para suhu menyebutnya Seo blog.

Pada hari ini Alhamdulillah penulis berada dalam keadaan baik-baik saja, sehat jasmani juga rohani yaitu berada dalam lindungan Allah SWT, dan ini semua tentunya tidak lepas dari kebaikan dan do'a kalian semua (karena do'a adalah salah satu senjata ampuh kita sebagai umat muslim), saya do'a kan pula semoga pengunjung setia dari blog ini dan kaum muslimin diseluruh dunia pada umumnya berada dalam lindungan Allah SWT, terutama selamat dan terjaganya Aqidah dan Tauhid kita karena sekarang sudah banyak sekali warna dan bentuk yang mau mengganggu kemurnian Aqidah dan Tauhid kita, baik dari luar maupun dari dalam yang pasti mereka mempunyai tujuan tidak baik terhadap kita.

Pada kesempatan yang baik ini saya akan membagikan sesuatu yang mudah-mudahan bermanfaat lagi buat anda semua yaitu sebuah postingan mengenai cerita pendek yang biasa disebut Cerpen, dan disini saya memberikan banyak sekali pilihan untuk ada mengenai cerita pendek ini. Nah untuk contoh-contoh cerpennya mari kita simak dibawah ini :
==========================
Suara Merdeka

Minggu, 16 Maret 2008

Agonia Senja
Cerpen: Novieta Tourisia

KAMI melanggar peraturan. Seharusnya batas waktu penggunaan kolam renang apartemen adalah pukul delapan, namun lewat dari dua jam yang ditentukan kami justru baru menceburkan diri ke dalam kolam. Saya katakan padanya bahwa saya tidak bisa berenang, saya takut air dan takut tenggelam. Karena itu ia menuntun saya dari sisi depan. Gerakannya sangat tenang, terlihat jelas ia sedang berusaha menciptakan keberanian pada diri saya untuk melenyapkan segala macam ketakutan yang ada.

Namun di pertengahan kolam, saya menghilang. Menyelam dengan bebas pada kedalaman dua koma lima meter hingga membuatnya kesal bukan kepalang. Sudah capek-capek menuntun sampai tiga puluh meter jauhnya, ternyata yang dituntun mahir berenang, bahkan menyelam hingga nyaris menyentuh dasar kolam. Maka ia menantang saya menyelam dalam kolam renang berukuran olimpiade ini bolak-balik tanpa jeda, dan menerima tantangannya tanpa berpikir dua kali.
***
IA tidak menyadari, saya tak sedikit pun berusaha memenangkan perlombaan ini. Saya terlalu menikmati air kolam yang hangat beradu dengan dingin menusuknya sang bayu. Saya mengayun kedua tangan dan kaki seirama dengan roda waktu, seolah saya diciptakan sebagai makhluk air bernama penyu bermata sayu.

Ketika ia telah jauh mendahului saya, tiba-tiba saya berhenti. Sesuatu yang hilang seperti menyeret saya ke belakang serupa jalinan memento, membuat penasaran akan rasanya kematian. Semakin penasaran karena degup jantung tak juga menemukan titik pemberhentian. Saya tak berkedip hingga tiga puluh detik pertama, menanti. Setelahnya menutup masing-masing kelopak mata perlahan, masih menanti. Saya segera mengerti bagaimana rasanya berada di tengah palung menuju alam bawah sadar. Saya dapat mencium aroma kematian: serupa wangi sedap malam yang membusuk, sebagai pengiring dayang-dayang langit berlentera kelam. Saya kesurupan, dirasuki setan malam nan pendiam.
Seperti tersadar akan pemberhentian yang tidak wajar, ia menyelam ke arah saya lantas menarik lekas-lekas tubuh yang nyaris tak menyisakan kehidupan ini. Ia mengangkat lalu merebahkan saya di atas gazebo pinggir kolam berkelambu sutra abu-abu. Bertanya: apa, kenapa, bagaimana, atas nama apa. Apa dan apa dan apa dan hanya ada apa. Tidak apa-apa, jawab saya. Ia diam tetapi saya tahu ia bicara, tidak melalui kata-kata yang lahir dari suara.

Semilir angin semakin merengkuh saya jauh dari realita menuju kedamaian imitasi. Pelukan tak lagi terasa hangat, malah kelewat panas seperti hendak melebur saya untuk dijadikan santapan tengah malam. Akan tetapi dan terus-terusan hanya ada tetapi, saya ingin, ingin, dan semakin ingin dipeluk oleh ia tanpa harus dilepaskan, tanpa harus lagi-lagi kedinginan. Demi Tuhan. Keinginan saya untuk dipeluk semakin menjadi-jadi, semakin tak tertahankan, semakin sulit dilawan. Dan demi setan saya malah hanya bisa diam, bungkam, bahkan tak mampu berdeham.
Mungkin dingin bisa saja membuat saya ngilu, tapi tak seharusnya menjadikan saya bisu. Sekarang saya benar-benar sekarat. Rasanya mau mampus saja buru-buru, tanpa harus dihibahkan kelu seperti itu. Kenapa, kenapa, kenapa, saya bertanya. Tidak akan terjadi apa-apa, semoga saja, saya meyakinkan diri, dan mencari doa.

Doa. Datanglah melalui tarian angin mahagemulai. Bisikkan mantra penyuci jiwa lewat telinga dan biarkan ia meranggas di jantung nan rapuh ini tanpa perlu dilukai. Kan kunikmati sayat demi sayat pada permukaannya hingga ruh dan raga sama-sama terkulai. Datang, datanglah, walau tengah malam ini saja. Beri kesempatan agar hati ini mendorong mulut untuk melayangkan suara kepadanya atas nama rasa. Izinkan diri menyampaikan keinginan untuk dipeluk oleh ia, sang pelindung nan setia melagukan kasih penidur, sebagai penawar rasa sakit akan ketidakabadian. Ajarkan jiwa ini menerima segala yang sepatutnya diterima, meski lewat sebait doa.
***
SAYA yakin Dia di Atas sana mendengar dan mewujudkan permohonan saya akan kiriman surga bernama doa. Sebab kengiluan tak lagi ada, digantikan bara hangat yang berembus lewat napasnya pada mulut saya. Ia melukis lengkung lidah mesra di dalamnya, sembari dihantui kepanikan akan degup jantung saya yang meski tak lagi ngilu namun semakin melemah dan memberi getaran kecil seolah memohon ampun untuk segera diakhiri. Jantung saya berbicara, mewakili pita suara yang sungguh tak sanggup melahirkan kata. Detik itu pula saya percaya, segalanya akan mati sia-sia sekali pun cinta sebagai peran utama. Saya tahu, keabadian selalu tamat secara berkala dan sudah semestinya saya siap digantung koma.
Sepertinya saya memang sengaja disiksa; tak diizinkan hidup secara utuh, mati pun perlu sertifikasi. Terlebih karena seumur hidup dapat dihitung dengan jari seberapa sering saya berdoa demi kebaikan. Ingatan hilang dihantam sunyi. Nyeri membebat kepala hingga meruntuhkan kapabilitas memori. Nyeri itu turut mengendap di setiap persendian, membuat saya terbujur kaku. Saya mati rasa, namun berada di ambang ketidaksadaran justru menguatkan saya untuk tetap bertahan, meski kekuatan itu terletak pada titik tengah kelemahan. Mungkin ini yang dinamakan fase kematian. Sakit yang menegarkan, perih yang membebaskan. Seperti dibuai akan panorama duniawi ketika naik gondola raksasa yang putarannya senantiasa mendebarkan.

Ia yang saya cintai masih terus berusaha menciptakan keajaiban, menjemput kehidupan agar kembali menyulut ruh saya yang perlahan memadam. Saya merasa kalut, sebab ruh saya tak mau hidup kembali untuk mencicipi manis cinta yang justru perih di dada karena ketulusannya tak akan mampu terbayarkan oleh saya, manusia pesakitan dengan berjuta obsesi akan kematian. Saya yakin ia akan bahagia justru tanpa saya, tanpa halusinasi saya yang berlebihan, dan tanpa harus dibuat tersiksa karenanya.

Tersirat dalam benak yang mulai redup ini untuk menghisap cintanya terlebih dulu sampai habis, sampai ia tak sudi lagi memberi satu keping di antaranya, sampai ia muak dengan perasaannya sendiri, sampai akhirnya tidak memedulikan saya bersama jasad kaku ini di sini. Namun rasanya percuma. Sebab hingga detik ini ia tak putus-putus mentransfer doa dalam lirih bisikan melalui telinga saya sembari mengatakan agar tetap bertahan menguatkan diri dan senantiasa menyadari bahwa ia selalu berada di sisi saya.
***
SAYA memang digantung koma, namun bukan berarti tak lagi tersisa air mata. Tetesan itu menyeruak keluar dari lingkar mata serupa guratan pada cabang pepohonan. Saya menangis bukan untuknya, melainkan diri sendiri. Jika harus saya hitung satu demi satu pengkhianatan yang telah saya lakukan di belakangnya tanpa pernah sekali pun ia ketahui hingga hari ini, akan ada lebih dari sepuluh nama yang tertera di dalamnya, lebih dari sepuluh cerita yang nantinya terbaca, dan lebih dari sepuluh hati yang tercabik dan meluka, bagian yang tersulit untuk diobati dengan penawar apa pun kecuali hati itu sendiri.

Saya pengkhianat, tapi saya mencintainya. Mencintainya tanpa mengharap balasan namun pada kenyataannya cinta saya kepadanya kalah telak oleh cinta yang ia berikan kepada saya. Tak akan pernah mampu saya mengimbangi perasaannya yang sudah berada di puncak dari segala tingkat. Saya pengkhianat, tapi saya tak pernah meninggalkannya. Ada magnet yang menarik saya dan kutub-kutubnya memompa lembut jantung hati ini untuk terus berdegup setiap kali saya bersamanya. Saya pengkhianat, tapi saya takut dikhianati. Mungkin karena itu tak henti-hentinya saya menyiksa diri dengan berkhianat ke sana kemari, menikmati perih luka pada jiwa-jiwa yang dikhianati, mengais habis kebahagiaan mereka. Saya pengkhianat, tapi pada akhirnya saya tak mendapatkan apa-apa. Saya kehilangan hampir segalanya, dan bukan tak mungkin segera kehilangan ia juga.
Seharusnya saya lekas mengakhiri hidup ketika masih menyelam tadi dan menjauh dari jangkauannya agar ia tak bisa menarik saya ke daratan yang alih-alih malah membuat saya tersiksa seperti ini. Atau seharusnya saya tak pernah berkhianat kepada siapa pun, sehingga tak perlu ada balasan semacam ini. Atau seharusnya ia tak mencintai saya lebih dari cinta yang saya berikan, sebab kini jurang perbedaan kadarnya terlihat kian membesar. Selalu ada ''seharusnya''. Seharusnya selalu ada.

Saya sempat mengira astana dasamuka mengirimkan musikalisasi dari gending lembah ngarai sebagai lagu pengiring kematian saya, namun suara samar-samar itu terdengar semakin jelas dan bukan gending lembah ngarai yang mendamaikan, melainkan sirine ambulans putih dengan lampu merah nyalang di atasnya. Ruh saya marah. Ia menghujat orang-orang yang berkerumun di sini dan menganggap saya sebagai tontonan cuma-cuma. Ia mengamuk pada dayang-dayang langit berlentera kelam yang tak datang membawanya ke astana dasamuka untuk dibunuh dan dilahirkan kembali. Ia mencabik jantung saya yang degupnya tak juga berhenti sedari tadi.

Saya ingin merengkuhnya ke dalam jasad ini kembali, agar kami menyatu lagi dan kelak membenahi segala sesuatu yang telah kami hancurkan hingga porak poranda. Namun ia tak sudi dan malah berteriak lantang tepat mengena di ulu hati saya. Ia tahu, jika ia kembali bersatu dengan jasad ini, saya hanya akan menyiksanya perlahan-lahan dengan menjadi makhluk Tuhan yang terpuji. Tidak akan ada lagi pengkhianatan dan dusta yang kelak melahirkan dosa. Adapun ia terlahir sebagai pendosa sejati. Dosa adalah sumber kehidupannya. Ia akan mengupayakan segalanya untuk bisa memenangkan peperangan dengan jasad saya yang menginginkan kebaikan dan membutuhkan penyucian diri, karenanya saya pasti akan kalah. Di sinilah kali terakhir saya diberi kesempatan untuk memberdayakan akal pikiran sebagai manusia. Saya diberikan pilihan: berperang dengan ruh sendiri selama jasad ini menopangnya kembali demi pembersihan jiwa, atau mengizinkan ruh itu mendapatkan kehendaknya untuk terlepas dari jasad saya selamanya.

Akhirnya pilihan saya jatuh pada pilihan kedua. Sebab walau bagaimana pun, saya pasti kalah dan ia selalu menang. Jika saya terus-terusan berperang dengannya tanpa ada titik temu di bibir pintu, saya yakin, ketika suatu saat nanti kesalahan kami terulang kembali, jasad ini telah membusuk bahkan sebelum saya menyadarinya. Saya tak ingin itu terjadi. Saya juga sadar, ruh ini telah berusaha membebaskan diri dari saya sekian lama, namun saya tak pernah peduli, sebab saya mencintai lelaki itu, dan untuk mencintai seorang manusia dengan ruh dan jasad yang saling melengkapi, saya harus tetap hidup dan tidak boleh mati.

Saya terharu bahwa pada detik-detik menjelang babak akhir kehidupan ini, masih ada hati yang mencintai saya, yang tidak semata-mata menginginkan saya, meski ia tak berhasil menolong saya. Air mata tak lagi berupa cairan, ia telah menyatu dengan angin, sehingga kekasih saya tak tahu betapa pedih yang saya rasakan saat harus meninggalkannya, sebelum saya sempat mengatakan maaf dan mengecup kelopak bibirnya untuk terakhir kalinya.
***
SAYA pasrah. Ruh saya menari-nari gemulai, menyeringai lebar dengan lidah api yang terjulur dari mulutnya. Ia akan dilahirkan kembali nun jauh di sana, di astana dasamuka. Sementara jasad yang selama ini menjadi topangannya, tempat saya merelakan tubuh ini berkhianat ke sana kemari pada tubuh-tubuh yang juga pengkhianat oleh sebab hasrat ruh yang melewati batas, harus rela juga ketika pada akhirnya hanya akan berakhir di kotak kayu pengap dan panjangnya pas-pasan yang dinamakan peti mati.***

Catatan:
agonia: rasa sakit yang amat sangat
Jumat, 01 Februari 2008
11:55 WIB
========
=======

Suara Pembaruan

Minggu, 10 Februari 2008


Ajak Aku Melihat Kunang-Kunang
Cerpen: Mustafa Ismail


Lelaki itu membuka komputer, lalu mengaktifkan Yahoo! Messenger. Ia meneliti satu persatu nama-nama di sana. Beberapa temannya sedang online. Tapi lebih banyak tidak. Sudah sore, pikirnya, teman-teman yang biasa mengaktifkan YM di kantor, sudah mulai pulang. Rus ingin menyapa beberapa teman yang tinggalnya terpisah-pisah di berbagai kota dan luar negeri.


Tak hanya nama-nama, ia juga memperhatikan kata-kata yang diletakkan di depan nama-nama itu, yang seringkali menjadi cermin apa yang sedang dirasakan atau dilakukan teman-temannya. “Sedang keluar”, “Bos yang manis”, “Menunggu musim duren”, “Bete deh…”, “Kamu ketahuan….” dan sebagainya. Ia memperhatikan satu persatu, sambil senyum-senyum melihat “catatan status online” itu.


Matanya kemudian tertumbuk pada nama lain: Mawar. Ia menulis “status onlinenya” dengan sangat puitis: “Ajak aku melihat kunang-kunang.” Ah, ia langsung tersugesti untuk menyapa Mawar. Sudah lama ia tidak bertemu perempuan hitam manis dengan rambut sebahu dan lesung pipit itu.


Dulu, Rus itu satu kantor dengan Mawar. Mereka sangat dekat. Tapi pelan-pelan kedekatan itu berjarak. Seseorang kemudian sering menjemput Mawar. Ia tidak mengenal lelaki itu. Mawar selalu mengelak menceritakan tentang dia. Ia hanya berkata: “Itu sepupuku. Kantornya dekat sini, makanya sambil pulang ia mampir menjemputku.”


Rus pun tidak bertanya lebih jauh. Tapi suatu kali, Mawar mengajak Rus bertemu di sebuah kafe. Meski satu kantor, mereka pergi sendiri-sendiri ke kafe yang biasa mereka kunjungi itu. Itu dilakukan agar teman-teman kantor tidak tahu mereka dekat.


Rus tidak ingin terlihat sebagai lelaki yang mengingkari keluarga. Mawar pun tidak ingin tampak sebagai gadis yang dekat dengan suami orang. Jadi di kantor, tak seorang pun yang tahu hubungan khusus mereka. Ketika di kantor, mereka berlaku sebagaimana layaknya rekan-rekan kerja lainnya. Rus kepala bagian personalia, dan Mawar adalah staf di bagian keuangan.


Pengakuan di kafe itu sungguh mengejutkan. “Aku mau menikah, Mas,” katanya.


Rus terdiam sesaat. Matanya memandang Mawar tanpa berkedip. Mawar tersenyum. Tapi bukan senyum yang biasa dilihat Rus. Senyum ini agak getir. Ia seperti merasa menyesal telah mengatakan sesuatu kepada Rus. “Maafkan aku, Mas. Aku tahu, Mas sangat mencintai keluarga Mas.”


“Ya. Sebetulnya akulah yang salah karena telah mengagumimu dan mengharapkanku terus dekat denganku.” Suara Rus sangat pelan. Mawar menatap lelaki di depannya itu dengan mata tak berkedip. Mereka saling tatap. Tapi pelan-pelan Mawar menunduk, dan beberapa tetes bening mengalir di pipinya.


“Maafkan aku Mas. Aku juga mengagumi dan mengharapkan Mas selalu dekat denganku, tapi…..”


“Ya, aku paham.” Rus berusaha tenang. Ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. “Siapakah lelaki itu?”


“Mas pasti sudah tahu.”


“Lelaki yang sering menjemputmu?”


“Dia bukan lelaki yang cocok denganku. Kami terpaksa berpisah beberapa bulan lalu.”


“Lalu siapa?”


“Safar.”


“Safar Yoga?”


Rus segera terbayang seorang lelaki tinggi kurus hitam manis yang dulu mejanya di kantor persis di sebelah Rus, ketika awal-awal bekerja di kantor itu. Tapi setahun bekerja, Safar pindah ke perusahaan lain. Kudengar, terakhir ia menjadi kepala bagian penjualan pada sebuah perusahaan ritel.


“Dia tetanggaku, Mas.”


“Safar cerita banyak tentangku?”


Mawar tersenyum.


“Ia bercerita bahwa ketika sama-sama mahasiswa ia berhasil merebut Santi dariku?”


Mawar menggeleng.


“Atau ia bercerita suatu kali kami berantam di kampus karena ia menggoda Nova, pacarku?”


Mawar juga menggeleng.


“Atau dia cerita bahwa aku dan dia lama tidak ngobrol karena masalah perempuan. Bahkan ketika satu kantor pun kami jarang bertegur sapa meski meja kami bersebelahan?”


“Tidak. Ia tidak menceritakan apa yang Mas ungkapkan. Ia memang tahu kedekatan kita, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Justru ia merasa tidak enak ketika aku dekat dengannya. Ia takut Mas tersinggung. Tapi aku berhasil meyakinkannya bahwa Mas orang terpelajar dan sangat mencintai keluarga Mas. Mas tidak mungkin mencintai lebih dari satu perempuan.”


Rus terdiam. Agak lama. Lalu, ia melirik arloji, dan buru-buru ia mengatakan: “Sudah malam. Kita harus pulang. Aku akan mengantarmu.”


“Tidak usah, Mas. Aku naik taksi saja.”


Mereka beranjak. Rus berjalan ke arah tempat parkir. Mawar berhenti di teras gedung. Tak lama, sebuah mobil minibus silver lewat dan berhenti di sana. Seseorang melongok dari dalam mobil dan berbicara dengan Mawar. Lalu Mawar pun naik.


Dari jauh, Rus tertunduk diam. Ia tak langsung ke tempat parkir tadi, tapi berdiri di sebuah sudut memperhatikan Mawar. Ia bisa melihat jelas lelaki yang memberhentikan mobilnya di depan Mawar dan mengajaknya pergi. Dia adalah Safar. Ia tidak mengerti mengapa Safar selalu menang dalam soal perempuan.


Dua bulan kemudian, Rus menerima surat pengunduran diri Mawar. “Aku mau pulang ke Yogya, Mas. Mengurus usaha orangtua,” katanya.


“Bagaimana dengan Safar?”


“Dia sementara di Jakarta, tapi nanti setelah menikah ia juga akan ikut mengurusi usaha orangtuaku.”


“Aku hanya berharap kamu bahagia.” Suara Rus pelan, dan menatanya menatap Mawar dalam-dalam.


“Terima kasih, Mas. Saya berharap kita bisa menjadi saudara.”


Rus mengangguk. “Ya, kamu saudaraku.” Ia ingin mencium dan merangkul Mawar karena begitu terharu, tapi ia mengurungkan niat itu. Ia juga berusaha menahan tetes air mata, meskipun matanya terasa berkedap-kedip dan agak panas.


Sementara Mawar buru-buru pamit dan membiarkan Rus terdiam di kursi memandang tubuhnya hilang di balik pintu. Yang sempat ia dengar hanya sebuah isak kecil yang ditahan.

*

Ini pertama kali Mawar online di Yahoo Messenger, setelah setahun kepindahannya ke Yogya, dan mereka tidak saling sapa. Yang membikin penasaran ia muncul dengan kalimat yang sungguh puitis: ajak aku melihat kunang-kunang. Ia tak sabar untuk menyapanya. Rus pun mulai mengetik pesannya, bertukar kata dengan Mawar.


Rus: Mawar, aku ingin mengajakmu melihat kunang-kunang. Berdiri dari jendela di lantai sebelas kantor kita dulu, dan melihat ke gelap malam. Di situ beribu-ribu kunang-kunang membentuk lautan cahaya, saling-silang dan meluncur-naik.


Rus: Atau berdirilah di tengah sawah atau kebun ketika matahari telah terbenam. cahaya-cahaya itu bagai tetes salju yang meliuk-liuk seperti camar-camar di pantai.


Mawar: Wah….


Mawar: Sayangnya udah menelusuri penjuru Yogya dan belum juga menemukannya, Mas.


Rus: Masa sih?


Rus: Atau pejamkan mata…


Rus: Bayangkan seribu kunang-kunang meliuk-liuk di rambutmu, terbang ke sana kemari, seperti melompat dari ranting ke ranting. Lalu, bayangkan dirimu ada di sebuah gurun, dengan rumput-rumput hijau, dan sebatang pohon di belakangmu. Lalu seribu kunang-kunang menyerbu dari pohon itu, hinggap di pucuk-pucuk rumput itu, dan membentuk gurun cahaya.


Mawar: Kok serem Mas, hihi…


Mawar: Satu kunang-kunang sudah cukup kok, hehe.


Rus: Bukannya lautan cahaya itu indah.


Mawar: Setitik cahaya yang bisa dimiliki dan digenggam erat lebih indah daripada lautan cahaya yang mudah sirna…


Rus: Jika terus merawatnya, gurun cahaya tidak akan sirna.


Rus: Dan bayangkan seribu kunang-kunang itu kemudian membentuk satu kunang-kunang abadi yang terus terbang meliuk-liuk di rambutmu.


Mawar: Haha.


Rus: Mawar serius ingin melihat kunang-kunang?


Mawar: Iya, hehe.


Rus: Bayangkan ini…..


Rus: Seseorang datang dari jauh, menyapamu, kemudian menjelma kunang-kunang yang selalu berkedap-kedip setelah matahari terbenam. Ia selalu membuat jalanmu begitu terang berderang.


Rus: Bayangkan juga jika ada seribu kunang-kunang yang kemudian menyatu menjadi satu kunang-kunang. Betapa terangnya jalanmu.


Mawar: Ya, sungguh indah Mas.


Rus: Mawar, coba ceritakan apa yang kamu lakukan jika kunang-kunang datang padamu.


Mawar: Melihat saja sudah cukup puas mas. Aku tak ingin memiliki karena justru akan melukainya


Rus: Tidak ingin kunang-kunang itu selalu bersamamu?


Mawar: Tidak.. Tapi pengen dia ada pas aku ingin melihatnya. Tak perlu harus terus bersama. Kebersamaan yang terus menerus dipaksakan seringkali menimbulkan kejenuhan dan kebosanan.


Rus: Apakah kunang-kunangmu telah terbang jauh?


Mawar: Belum pernah merasa memiliki satu kunang-kunang pun, Mas. Jadi masih terus mencari, kunang-kunang yang mau setia hadir saat aku pengen melihatnya. Yang cahayanya takkan pernah pudar.


Mawar: makluk kecil lemah namun mampu memberikan cahayanya untuk menerangi.


Rus: Sungguh mengharukan.


Rus: Jika aku punya kunang-kunang, aku akan segera mengirim satu untukmu


Mawar: Mau mas…Tapi jangan sampai melukainya ya.


Mawar: Untuk apa dimiliki dan dinikmati tapi dia terluka.


Rus: Mawar benar.


Rus: Tapi lebih baik memiliki sambil terus merawatnya agar tidak terluka.


Rus: Pernahkah pada satu hari dulu, mawar takjub pada kunang-kunang? Atau mawar punya kenangan bersama kunang- kunang?


Mawar: Dulu di kebun di rumahku banyak kunang-kunang mas.


Mawar: Tiap malam…


Mawar: Sering aku sama adikku, berdua menggelar tikar di halaman rumah, menikmati kunang-kunang. Kami seringkali menangkapi mereka dan menaruh dalam botol.


Mawar: Sayang sekarang sudah tak ada lagi kunang-kunang.


Mawar: Mereka pergi seiring pergerakan usiaku menjadi dewasa.


Mawar: Betul, ada banyak yang bisa kita miliki dan kita rawat.


Mawar: Tapi kunang-kunang sepertinya tercipta hanya untuk dilihat.


Mawar: Tak akan ada yang bisa memiliki dan merawat.


Rus: Rumah Mawar di Yogya?


Rus: Sekarang masih ada kebun itu?


Mawar: Rumahku di Karanganyar, Solo.


Mawar: Kebunnya masih ada, tapi kunang-kunangnya menghilang. Dulu juga banyak burung jalak dan kutilang, tiap kali panen padi harus “ngoyak-oyak” para makhluk itu. Tapi sekarang sudah tak ada semua.


Rus: Mengapa kunang-kunang itu hilang?


Rus: Burung jalak dan kutilang bagaimana?


Mawar: Sawah-sawahnya sudah jadi perumahan, mas.


Mawar: Sawah yang tersisa sudah pakai pestisida semua.


Rus: Wah.


Ia tidak sempat melanjutkan percakapan itu, karena tiba-tiba status Mawar sign off alias offline. Rus menunggu Mawar online kembali. Boleh jadi, ada sesuatu gangguan yang menyebabkan percakapan itu terputus. Ia terus memelotoi komputer. Semenit, dua menit, lima menit, hingga setengah jam, Mawar tak juga sign in kembali.


Rus jadi gelisah. Mungkinkah listrik tiba-tiba mati, atau mungkin baterai laptopnya drop. Ia mengambil telepon genggam dan mengetikkan sms kepada Mawar. Tapi, sms itu tak terkirim. Ia makin gelisah, apa yang sesungguhnya terjadi.


Tapi Rus tidak hendak beranjak dari komputer. Meski sudah hampir magrib, dan sebagian temannya sudah meninggalkan kantor, ia masih tetap menunggu. Siapa tahu sebentar lagi Mawar online kembali atau sms yang dikirimkannya masuk ke telepon genggam Mawar.


Benar, selepas magrib, Mawar online kembali. Ia langsung menyapa.


Rus: Kok tadi off tiba-tiba.


Mawar: Iya nih, laptopku tiba-tiba hang, tidak jalan.


Rus: Ya sudah, nggak apa-apa.


Rus: Oh ya, sudah punya momongan?


Mawar : Momongan apa? Aku belum kawin Mas.


Rus: Safar?


Mawar: Aku sudah melupakannya. Mungkin ia juga sudah melupakan aku.


Rus terdiam sejenak. Ia tidak tahu harus menuliskan apa di “box dialog” yahoo messenger. Tiba-tiba perasaannya jadi tidak menentu. Rupanya sifat Safar yang gonta-ganti perempuan belum berakhir, sehingga sampai sekarang ia belum menikah. Tapi mengapa itu juga dilakukan terhadap Mawar. Mawar terlalu baik untuk disakiti.


Mawar: Mas…..


Rus : Iya


Mawar: Kok diam sih?


Rus: Nggak. Sebentar, ada telepon masuk.


Rus berusaha berbohong. Ia tidak ingin pikirannya tertebak.


Rus: Mawar….


Mawar: Iya Mas


Rus: Aku ingin menjadi kunang-kunang untukmu.


Mawar: Mas sudah cukup lama menjadi kunang-kunangku.


Rus: Tak mudah melupakanmu.


Mawar: Aku juga setengah mati untuk berhenti memikirkan Mas, berusaha untuk menjauh dari Mas. Sampai kemudian aku terpaksa pindah ke Yogya, karena tak kuat terus bertemu dengan Mas.


Rus: Mengapa harus menjauhiku?


Mawar: Mas sudah tahu jawabannya.


Rus: Tapi, tidak bolehkah aku kembali menjadi kunang-kunang untukmu. Atau, paling tidak, biarkan aku mengajakmu melihat kunang-kunang.


Baru saja pesan itu terkirim, status Mawar kembali sign off. Pembicaraan terputus. Rus tidak tahu, apakah Mawar sempat membaca pesan terakhirnya itu. Tapi, sungguh, ia ingin sekali mengajak Mawar melihat kunang-kunang, berdiri dari lantai sebelas kantornya, atau di sebuah taman pada senja yang temaram.


Rus tidak beranjak dari komputer. Ia menunggu Mawar online kembali. Kali ini, dengan perasaan sungguh berdebar-debar. ***

==============


Sabtu, 08 Desember 2007


AKU DATANG MEMENUHI PANGGILAN-MU

Cerpen: Eddy D. Iskandar


LABBAIK Allahumma labbaik, labbaika la syarikalaka labbaik. Innal hamda wanni`mata laka wal mulka, la syarikalak...


Talbiyah itu terus berkumandang memenuhi ruangan. Aku mendengarnya begitu mencekam, mendebarkan, membuatku terpana. Ada sesuatu yang membuatku terguncang. Jutaan suara itu menggema. Entah dari mana. Padahal di dalam ruangan tak ada siapa-siapa, kecuali aku, sendiri.


Tiba-tiba seperti ada yang menggiringku untuk melangkah. Aku tak tahu pasti apakah aku berjalan di atas tanah, atau di udara. Yang kurasakan tubuhku begitu ringan, seakan melayang-layang. Lalu aku tiba di suatu tempat, entah di mana. Di hadapanku sudah berdiri seseorang berpakaian putih-putih, menyambutku dengan kedua lengannya yang merentang lebar-lebar.


Sesaat aku tertegun. Aku sangat mengenal wajah itu. Wajah tua renta, dengan tubuh bungkuk, yang biasa berdiri di pertigaan sebuah kompleks perumahan. Ia selalu menadahkan topi anyaman yang sudah kusam. Setiap aku lewat, kumasukkan uang seribu, kadangkala dua ribu atau lima ribu ke dalam topi itu. Dan ia selalu membalasnya dengan doa yang itu-itu juga. "Ooo, terima kasih, Den. Terima kasih. Semoga rezekinya banyak, jadi haji yang mabrur?."


Aku tak tahu pasti, apakah doa itu diucapkannya juga kepada yang lain, atau hanya khusus kepadaku saja. Yang pasti, aku tak pernah melihat ada orang lain, ketika ia berada di tempat itu. Atau aku tak pernah melihat ada orang lain yang memberi uang kepada dia.


Mengapa aku begitu terikat secara emosional kepada dia, aku juga tak tahu. Aku selalu merasa iba melihat wajah dan keadaan tubuhnya yang renta.


Kadangkala aku memergoki dia sedang makan di tepi jalan, di bawah rimbun pohon, sambil menyembunyikan wajahnya ke dalam topinya. Bahkan sekali waktu, aku pernah melihat dia sedang shalat dzuhur di tepi jalan, di atas sajadah yang bersih.


Sempat terpikir, ingin menghampiri dan bertanya lebih jauh tentang dia, tapi selalu urung dan urung lagi. Ah, untuk apa, bukankah ia sama saja seperti peminta-minta yang lainnya. Padahal, jauh dalam lubuk hatiku, ada sesuatu yang membuatku penasaran. Begitu banyak pengemis di jalanan, tapi aku merasakan ada sesuatu yang lain jika memerhatikannya.


Dan lelaki tua itu sekarang ada di hadapanku. Wajahnya seolah memancarkan cahaya. Begitu bersih. Berseri.


Ia menyuruhku mebersihkan tubuh, lalu memberiku kain putih, sama seperti yang dikenakannya.


Ia mengajakku salat tengah malam, salat tahajud.


Ia membacakan doa dalam bahasa Arab, tapi aku seperti mendengarkan artinya dalam bahasa Indonesia.


"Ya, Allah karuniakanlah haji yang mabrur, sai yang diterima, dosa yang diampuni, amal saleh yang diterima, dan usaha yang tidak akan mengalami rugi. Wahai Tuhan Yang Maha Mengetahui apa-apa yang terkandung dalam hati sanubari. Keluarkanlah aku dari kegelapan ke cahaya yang terang benderang. Ya Allah, aku mohon kepada-Mu segala hal yang mendatangkan rakhmat-Mu dan keteguhan ampunan-Mu, selamat dari segala dosa dan mendapat berbagai kebaikan, beruntung memperoleh surga, terhindar dari siksa neraka. Tuhanku, puaskanlah aku dengan anugerah yang telah Engkau berikan, berkatilah untukku atas semua yang Engkau anugerahkan kepadaku dan gantilah apa-apa yang gaib dari pandanganku dengan kebajikan dari-Mu. Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan hindarkanlah kami dari siksa neraka."


Usai berdoa, ia menangis sesenggukan. Lalu aku pun terbawa ke dalam keharuan yang tulus itu, keharuan yang ikhlas itu, keharuan yang mengalir begitu saja, dalam tangis yang menderas.


Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Pada saat kedua telapak tanganku terbuka, ia tak ada lagi di hadapanku. Aku berteriak memanggilnya. Tapi suaraku seakan menembus ruang hening.


Lalu aku terbangun. Duduk termangu di tepi ranjang. Melihat ke arah jam dinding. Pukul tiga dinihari.


"Tahajud…," aku mendengar bisikan itu, bisikan yang membuatku bergerak menuju ke kamar mandi untuk berwudu.


Ini adalah tahajudku yang pertama kali.


**

PUKUL tujuh pagi, baru saja aku mau berangkat ke kantor, seorang lelaki muda berpakaian rapi, datang kepadaku.


"Maaf, Pak. Saya disuruh pimpinan saya untuk menemui Bapak," kata lelaki itu.

"Ada urusan apa? Siapa pimpinan Bapak?" tanyaku terheran-heran.

"Saya dilarang menyebutkan namanya. Pokoknya, Bapak diminta menemuinya jam satu siang. Ini alamat kantornya."


Aku tertegun. Membaca kantor perusahaannya, ia seorang pengusaha sukses. Tapi siapa namanya? Apa urusannya denganku? Mengapa merahasiakan namanya? Dari mana pula ia mengenalku?


Aku masih termangu, ketika lelaki itu mengingatkan.


"Jangan lupa pukul satu siang. Pimpinan saya sangat sibuk, tapi ia sengaja meluangkan waktu untuk bertemu dengan Bapak."


Meskipun dalam keadaan bingung, aku menganggukkan kepala.


Pukul satu siang aku sudah tiba di kantornya. Aku disuruh menunggu di ruangan kerjanya yang luas dan sejuk. Begitu aku disuruh untuk masuk, ia seperti sengaja tak mau langsung bertatap muka. Aku menunggu selama lima menit.


Orang itu muncul dari arah lain. Tinggi tegap. Gagah. Tampan. Ia menghampiriku sambil tersenyum. Begitu berhadapan, aku terperangah.


"Masih ingat aku?" tanyanya.

"Alfarizi," gumamku.

"Ya, ya, aku Alfa. Syukurlah kau masih ingat aku."


Lalu kami berpelukan.


Alfarizi, dia teman sekolahku waktu di SMA. Anak tukang becak. Ia sering menunggak iuran sekolah, karena orang tuanya memang miskin. Tapi semangat belajarnya tinggi. Pintar. Cerdas. Aku sering membantu, membayar iuran sekolah, atau membelikan buku pelajaran. Kadangkala, aku berbohong kepada ibuku, pura-pura meminta uang untuk keperluan sekolah, padahal untuk kepentingan Alfarizi.


Ketika kami lulus SMA, aku pindah ke kota lain. Kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi. Kami tidak sempat bertemu lagi. Bahkan aku mengira, ia tak meneruskan sekolah, mungkin kerja, jadi buruh pabrik.


Dan kini, setelah tiga puluh lima tahun berpisah, ia sudah jadi orang yang sukses. Pimpinan sebuah perusahaan besar. Aku tak ingin banyak bertanya tentang kesuksesannya, sebab aku percaya pada satu hal tentang Alfarizi; ia pintar, cerdas, ulet, dan pantang menyerah. Ibadahnya juga kuat.


Ia baru dua Minggu ditugaskan memimpin perusahaan di kota ini. Ia bilang, ia ingat dulu aku pindah ke kota ini. Lalu ia mencari-cari alamatku. Hingga menemukannya berikut tempatku bekerja.


Kami bercerita panjang lebar, sampai akhirnya ia bilang....


"Aku banyak berhutang budi padamu. Aku bisa begini, salah satunya karena andil kebaikanmu sewaktu di SMA. Aku selalu berharap suatu ketika aku bisa bertemu denganmu, ingin sekali aku membalas kebaikanmu."


"Nggak perlu diingat-ingat, aku ikhlas kok. Aku nggak mengharapkan balasan. Bahkan aku ikut bangga, karena kau jadi orang yang sukses," kataku, benar-benar tulus.


"Begini saja. Kalau ada kesulitan, bilang saja padaku, sebagaimana aku dulu, jika ada kesulitan dalam urusan membayar uang sekolah, selalu mengemukakannya padamu."


Aku terharu sekali mendengar ucapannya itu. Memang banyak keperluan yang belum terpenuhi, tapi aku selalu bersyukur sebab bisa mengatasi segala kebutuhan rumah tangga, termasuk biaya untuk sekolah anak-anakku. Tapi aku tak mau mengemukakan hal itu. Aku hanya bisa mengucapkan, "Terima kasih."

Ia memandangku, lalu mengusap pundakku.

"Yang ini jangan kau tolak. Tahun ini aku ingin menunaikan ibadah haji bersama istriku, dan aku berharap kau dan istrimu juga ikut bersama. Semua biaya biar aku yang menanggungnya."

Aku tertegun. Ini benar-benar di luar dugaan.
Subhanallah.... Alangkah bagianya istriku bila mendengar berita ini!
Tiba-tiba saja aku ingat mimpi itu.
Labbaik Allahumma labbaik!. Aku datang memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah!
**
PULANG kantor, pukul lima sore, mobilku dihentikan oleh beberapa orang yang sedang berkerumun di tepi jalan. Aneh, begitu banyak mobil yang lewat, tapi mereka malah menghentikan mobilku.

Salah seorang menuntunku ke halaman sebuah rumah kosong. Ia meminta tolong agar aku membawa seseorang ke rumah sakit.

Aku melihat seorang lelaki tua tergeletak di atas sajadah.

Ya, Allah! Lelaki tua itu. Pengemis itu. Dia yang datang dalam mimpiku. Dia yang selalu menyampaikan do`a, agar aku banyak rezeki dan jadi haji yang mabrur.

Aku menghampirinya. Innalillahi wa inna ilaihi roji`uunn. Ia sudah meninggal. Dan semua terheran-heran menyaksikan aku menitikkan air mata.
"Aku melihat kedamaian dalam penderitaanmu. Aku menemukan cahaya di wajahmu. Semoga engkau jadi ahli surga," bisik hatiku. ***

Bandung, 2007
==========
Suara Karya

Sabtu, 19 Januari 2008


Anak Inkubator

Cerpen: Yonathan Rahardjo


Bayi mungil itu meringkuk di dalam inkubator. Ia bernafas cukup berat, kembang-kempisnya dadanya yang di dalam rongganya meringkuk jantung dan paru-paru. Menjadi pratanda betapa organ-organ vital bagi si anak manusia yang baru dilahirkan ibundanya itu mesti menghadapi dunia yang belum tentu ramah pada kehadirannya.

Ibunya masih tergeletak di tempat tidur rumah sakit. Wajahnya yang dalam kondisi sehat berrona hitam manis semu kemerahan bila menunjukkan suatu reaksi sikap tertentu, kini pucat. Leher yang menyangga kepalanya tak bisa menolak ketika kepalanya yang pada tempatnya ditumbuhi rambut bergelombang itu terkulai lemas.


Ayahnya-lah yang harus menunjukkan sikap kasih sayang super penuh untuk menjadi penghubung antar insan yang disayanginya itu dengan insan-insan lapis kedua dan ketiga dalam lingkaran kehidupan mereka.


"Lik, anakmu bagaimana?"


"Masih di inkubator, Bu De.."


"Bagaimana ibunya?"


"Masih di ruang bersalin."


Rona panik terpancar dari roman muka mereka. Perempuan yang bertanya kepada ayah anak mungil yang baru lahir itu pun menjadi salah satu pemerhati, bersama seorang lelaki, suaminya. Mereka menyediakan waktu untuk menjenguk mereka setiap hari. Bersama keluarga dan teman kedua orang tua si bayi.


Bobot si bayi yang di bawah rata-rata, dengan kekuatan jantung yang kerjanya mengkhawatirkan, mau tidak mau menyandera mereka untuk intensif ulang-alik rumah tinggal-rumah sakit.


Begitu waktu cepat berlalu.. Beberapa tahun kemudian anak inkubator yang lemah itu sudah tumbuh menjadi remaja yang gesit. Namun tetap saja ia disebut dengan julukan anak inkubator.


Suatu sore, ibunya yang telah melahirkan dengan susah payah di rumah sakit bingung.


"Di mana anakku?"


Ketidakadaan anaknya di rumah merupakan teka-teki. Anak masih belum dewasa, sudah lenyap tanpa ada pemberitahuan.


"Mungkin di rumah temannya."


Tapi teman yang mana?


Perempuan itu pun bersama suaminya, mencari tahu pada anak yang dikiranya temannya. Tidak ada. Ternyata anak inkubatornya punya teman banyak. Dan belum tentu anaknya bersama salah satu di antara mereka. Hingga terbercik kabar, salah satu dari teman anak mereka itu telah pergi bersama ke ibukota propinsi. Naik kereta.


Maka lebih paniklah kedua orang tua itu. "Telepon Mas, Puteranya Bu De."


Mas, keponakan mereka yang di ibukota provinsi pun menjadi tumpuan ikut dalam pencarian. Ia yang dianggap tahu seluk-beluk kota metropolitan itu pun membuang agendanya yang bisa diganti dengan agenda pencarian anak inkubator, adik sepupunya itu.


Keponakan orang tua itu memastikan ke mana sesungguhnya adik sepupunya itu kelayapan tak tentu rimba di kota besar macam ibukota provinsi. Dianggapnya adiknya masih terlalu kecil untuk bisa menghadapi hiruk-pikuk kota besar yang hanya mengenal orang-orang besar. Itu dalam pandangan rata-rata di keluarga mereka.


Namun, Mas anak Bu De Padahal berpendapat dengan relatif lebih mudahnya masyarakat memperoleh bahan makanan sumber gizi, kedewasaan fisik dan hormonal yang berpengaruh pada kedewasaan sel-sel otak anak inkubator akan menjadikannya pun lebih cerdas dari perkiraan orang tuanya yang mengkhawatirkan ketidakberdayaannya menghadapi keganasan kota. Meski, anak inkubator sudah lebih dari dua hari tidak pulang ke rumahnya di sebuah kota kecamatan kawedanan di antara Kota Besar dengan Kota Kecil kampung halamannya.


Mas anak Bude menjadi orang paling sibuk hari itu. Mas mencari adiknya di setiap sudut stasiun Kota Besar, Stasiun kereta api yang besar dan sibuk mengantar kepergian dan kedatangan orang dari dan ke arah barat pulau mereka. Menurutnya, kekhawatiran kedua orang tua anak inkubator sangat beralasan karena ia adalah anak satu-satunya. Ia pun masih tergolong darah dekatnya. Maka ia harus mendapatkan adik sepupunya dalam keadaan selamat dan baik-baik saja, kalaulah anak inkubator di stasiun itu.


Kedatangan dan kepergian kereta api di stasiun peninggalan penjajah Belanda itu ia rasakan dengan penuh selidik, apakah ada adiknya di tempat-tempat stasiun itu. Sejak matahari masih bersinar garang sampai yang berkuasa adalah keremangan dan kegelapan di tiap sudut stasiun yang tidak tersirami lampu, ia coba lebih teliti.


Di antara kerumunan penumpang yang datang dan pergi, ia harapkan tampak kepala adiknya yang rambut di kepalanya hitam kemerahan itu.


Pencarian Mas berbuah kesia-siaan karena adiknya itu tidak ia temui di stasiun itu. Ia laporkan hasil pencariannya pada ibunya di Kota Kecil melalui pesawat telepon yang saat itu kebetulan belum lama dipasang di rumah di Kota Kecil itu.


Tidak ada telepon genggam di tangannya masa itu membuatnya tak menerima kabar terbaru bahwa ibunya beberapa detik lalu baru mendapatkan kabar dari ibu anak inkubator. Bahwa, anak itu telah kembali ke rumah.


Benar, anak inkubator yang sepupunya ternyata telah menuju ke Kota Besar bersama temannya untuk nonton pertandingan sepakbola. Tetapi, cuma sampai stasiun ia pun kembali lagi ke kotanya, karena pertandingan antara Kesebelasan Kota Besar dengan Kesebelasan Kota Satelit ditunda. Anak inkubator telah pulang dengan pengakuannya.


Kelegaan orang tua itu telah berhari-hari, berbulan-bulan dan bertahun-tahun terlewati. Anak inkubator yang anak SMP itu telah menjelma menjadi pemuda perguruan tinggi di Kota Besar yang harapan orangtuanya bisa menjadi tumpuan hati mereka untuk suatu kedamaian dan ketenangan dalam lautan samudera harapan orang tua yang telah jungkir balik bernafkah untuk berteduhkan rumah besar dengan langit-langit tinggi.


Demikian juga, Mas sudah bekerja di Ibu Kota Negara. Saat inilah peristiwa hilangnya anak inkubator kembali lagi terjadi dalam versi terbaru. Ia hilang lagi ke Ibu Kota Negara untuk menonton pertandingan sepakbola antara Kesebelasan Kota Besar melawan Kesebelasan Ibu Kota Negara. Dan ia memang telah memberitahu orang tuanya, namun waktu keberangkatannya adalah seperti waktu kepergian pencuri.


Tiba-tiba saja ia telah di Ibukota Negara, tanpa uang yang cukup untuk perjalanan pulang-pergi Kota Besar-Ibu kota Negara. Tahu-tahu ia sudah di Stasiun Ibu Kota Negara dan seusainya nonton pertandingan bersama teman-temannya ia masih sempat ke rumah Paman Muda di Ibu Kota Negara.


Waktu pun berlalu. Sampai masa HP sudah memasyarakat.


Kakak sepupu tadi menerima telepon dari nomor yang tak dikenalnya, kode dari Ibukota Provinsi. Anak inkubator menelepon dari suatu tempat, bukan dari HP-nya sendiri yang telah non aktif terlambat masa isi ulang!


Suara adiknya itu masih cukup dikenalnya, apalagi terbantu untuk mengenal ketika ia menyebut siapa dirinya, "Saya, Mas.."


"Ada apa Dik?"


"Mas, saya minta maaf, ngganggu."


"Apa ?"


"Boleh minta bantuan Mas?"


"Apa..?"


"Eemm.. Mas nggak marah?"


"Nggak.... apa dulu..?"


"Nggak marah kan?"


"Nggak.."


"Emm.."


"Apa Dik.."


"Saya mau meminjam uang.. boleh?"


"Berapa dulu.."


"Lima ratus ribu."


"Untuk apa?"


"Untuk mbayar skripsi.."


"Hmmm."


"Bagaimana Mas?"


"Ya, kalau nggak segitu nggak papa kan Dik.." "Emm.."


"Kalau saya nanti usahain seratus, nanti yang lain saya kontak dulu sama Om dan Mas yang lain,".


"Emm.."


"Ngirimnya ke mana?"


"Ke rekening temanku."


"Kok nggak rekeningmu..?"


"Nggak punya."


"Rekening temanku nanti ku SMS Mas.."


"Tapi nggak lima ratus nggak papa kan.."


"Nanti ku SMS Mas."


'Gila, anak ini, pinjam uang tapi minta dikirim ke rekening temannya. Bukan rekeningnya sendiri.'


Kakak sepupu itu pun menelepon omnya yang disebut namanya oleh anak inkubator itu.


"Gini Om, anak inkubator habis telepon aku, ia minta tolong dikirimi uang lima ratus ribu?"


"Untuk apa katanya?"


"Skripsi."


"Lho, bapaknya gimana?"


"Kelihatannya nggak tahu, ia minta supaya jangan memberitahu bapaknya."


"Pak De gimana?"


"Saya belum telepon, saya cuma katakan akan coba ngasih tahu Om, barangkali nanti biasa minta bantuan Om juga. Jadi enaknya gimana Om?"


"Jangan-jangan anak itu memakai untuk yang bukan-bukan."


"Ya, dia suka ngrokok."


"Gawat, pengaruh lingkungan yang buruk."


"Ya, bahkan mungkin lebih dari itu."


"Apa itu Mas?"


"Mungkin main cewek."


"Wah, gawat. Makin nggak bener."


"Jadi gimana Om?"


"Nanti kalau kita kasih tanpa tahu bapaknya malah nggak ndidik."


"Iya."


"Coba tanya Bapak dulu Mas, supaya kita nggak salah langkah."


"Iya Om. Aku juga katakan pada anak inkubator itu bahwa mungkin aku bagi peran sama Om dalam sumbangan untuknya itu."


Telepon menelepon seperti itu pun ia lakukan segera dengan bapak Mas sendiri. Ia segera menelepon Kota Kecil.


Jawabnya bisa diduga.


"Nggak usah. Bocah nakal, pasti uang yang dikasih Bapaknya sudah dipake njajan dan ngrokok. Main aja. Nggak usah. Nggak Ndidik. Nanti biar Bapaknya dikasih tahu Bapakmu," ibu Mas mengutarakan ini di telepon.


Dan mereka semua sepakat, "Nggak perlu manjain bocah nggak bener."


Seperti yang dijanjikan, beberapa hari kemudian anak inkubator menelpon kakak sepupunya, ia langsung menanyakan apa Mas sudah mengirim uang ke rekening tabungan temannya.


"Nggak bisa Dik. Aku nggak punya uang."


Anak inkubator kecewa, ternyata kakak sepupunya tidak perhatian padanya.


"Kurang ajar," matanya berkaca-kaca, "Harus kepada siapa lagi aku minta bantuan?"


Ia SMS ke Om-nya, pamannya ini juga lebih dulu tanya Bapak Mas di KotaKecil. Tentu saja masukan dari Bapak sama dengan yang disikapkan oleh ibu. Mereka telah membicarakan hal ini.


Anak inkubator terpukul.


"Kurang ajar, saudara-saudaraku tidak ada yang mendukungku."


Yang terjadi malah ia ditanyai Bapaknya, bahkan disemprot habis-habisan.


"Untuk apa uang yang sudah bapak kasih untuk melunasi biaya skripsi itu?!" perlawanan kata mulai dari sikap lunak sampai tindakan keras.


Ibunya membela lagi dengan jalan tengah. Dosen anak inkubator yang mengurus skripsi sudah ditanyai di Kota Besar. Memang belum menerima uang skripsi itu. Tak ada jalan lain, Bapaknya langsung membayarkannya.


Semoga skripsi anak inkubator segera kelar.


Tak berapa lama kemudian anak inkubator pun menggondol gelar sarjana. Ia kembali dekat dengan kakak dan om-nya yang telah menolak memberi bantuan lima ratus ribu rupiah. Ia bekerja di kota yang sama, di Ibu Kota Negara. Terlepas ada bantuan atau tidak dari kakak sepupu dan om-nya itu, anak inkubator kemudian berhasil bekerja dengan penghasilan yang besarnya jauh melebihi besar penghasilan Mas, kakak sepupunya dan om-nya yang menolak memberi bantuan uang krisis untuk skripsi pada sang bayi inkubator. ***

 =============

Suara Merdeka

Minggu, 16 September 2007


Anak Semata Wayang
Cerpen: Whani Darmawan


SELEMBAR diary tersibak, sebaris puisi tertera...

Ayah,....

Tuliskanlah darahmu, di atas kanvas putih jiwaku. Agar tak hanya kukenang selalu, tetapi mengalir juga dalam derasan darahku....


Wanadri tertegun. Jelas itu buku harian anaknya yang masih berusia delapan tahun. Apakah anak usia sewindu bisa menulis seperti itu? Jangan-jangan ia hanya menjiplak bait puisi yang ia temukan dalam koleksi buku yang ada di rak. Tetapi apa maksudnya? Mengertikah ia?

Wanadri meletakkan sapu yang sedang dipegangnya. Ia duduk, seolah bersiap memecahkan teka-teki sudoku yang gampang-gampang sulit.

"Hidup seperti mimpi," gumamnya kemudian tanpa mengerti pasti mengapa tiba-tiba kalimat padat itu terlontar demikian. Mungkin, ya, hidup memang seperti mimpi. Sudah setara umur anaknya ia menduda, semenjak Surati isterinya meninggal dalam kecelakaan gantung diri. Waktu itu Surati ketakutan tak mampu menjawab kebutuhan ekonomi, dan ketakutan akan hamil lagi. Wanadri merasa, kadang peristiwa dan persoalan hidup memang sulit untuk dipahami, kendati sesuatu sungguh-sungguh terjadi. Cerita seperti yang terjadi pada dirinya kadang-kadang lebih bisa dipercaya jika dilihat sebagai film. Ia sendiri dulu juga pernah menyangkal, kenapa kepahitan hidup bisa menimpa dirinya, tetapi selang ia merenung, ia sendiri menganggap bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sombong. Seolah menafikan dirinya sebagai manusia yang tak bakal bisa terjamah oleh peristiwa pahit sepahit-pahitnya. Ia pun menghela napas dan tafakur sejenak memohon ampunan atas kelancangan pertanyaannya itu kepada Tuhan.

Wanadri mengempaskan napasnya.

Masa itu sudah lama sekali. Wanadri sudah tak ingin mengingatnya. Tetapi ada yang ia lupa. Lupa mengingat rasa sakitnya. Itu mengherankan dirinya. Sudah lama ia tidak lagi bisa merasakan apakah ia sedih ataukah gembira, apakah perlu menangis ataukah tertawa. Seolah semua kelengkapan hidup, penderitaan, semua sudah lewat. Anaknya semata wayang menggoreskan tekad, bahwa ia tidak boleh menghindar dari tanggung jawab.

Wanadri menyadari gerunjalan napasnya, dan kembali menunduk mencermati jilidan kertas tulis di tangannya,....

Ayah,

Rekamlah kisahmu dalam recorder otakku. Agar tak hanya terngiang selalu, tetapi mengebor dalam pilihan sikap hidupku. Agar senantiasa cerita kepahlawanan sehari-hari menjadi milikku. Menjadi kakiku.

Ia tulis ini semua tentang kepahlawanan? Dari mana anak ini mampu menulis dengan bahasa dan pemaknaan sedalam itu!? Wanadri tak ingin mengecilkan arti anak kecil, ia hanya merasa takjub setakjub-takjubnya. Apakah ada kelainan spiritual pada anaknya tersebut? Ataukah kecerdasan emosinya terlalu tinggi? Hmm,...kepahlawanan. Itukah yang selama delapan tahun Wanadri lakukan kepada anaknya? Wanadri tak yakin dirinya seheroik kata-kata itu. Sepenuhnya ia hanya merasa tanggung jawab. Lumrah kalau ia melakukan hal-hal yang itu bisa mencukupi kebutuhan jiwa-raga anaknya. Oleh teman-temannya, Wanadri dijuluki sang akrobater. Pemain sirkus. Tentu, julukan itu bermakna canda, ledekan, sekaligus serius. Pagi hari sebelum termenung di hadapan mesin tulis, ia memasak untuk sarapan anaknya, kemudian mengantarnya ke sekolah. Siang pada saat ia istirahat, ia menjemput anaknya. Jika tak satu pun teman anaknnya itu muncul, ia taruh anaknya di antara tumpukan kertas, koran dan buku. Menggambar, mencoret-coret, menjadi permainannya yang biasa. Kadang waktu menulis dan mengasuh anak bertubrukan tak terelakkan. Wanadri sering memilih untuk menemani anaknya. Ada kalanya antara perasaan dan tubuhnya ia rasakan seperti cerai-berai. Antara tubuhnya yang lelah dengan kehendak ingin menemani anaknya guna mendapatkan dunia permainan yang semestinya sesuai umurnya. Bahkan ia pernah punya suatu simpulan atas peran orangtua kepada anaknya dan kemauan untuk menulis. Di tengah kepap pikirannya ia sering menarik napas dalam, "Ini keperkasaan ataukah kebodohan?" gumamnya. "Ataukah sesuatu yang biasa saja."

Apakah sikap bela semacam itu yang diterjemahkan anaknya menjadi kata "pahlawan sehari-hari?" Siapakah sesungguhnya anaknya itu?

Wanadri berdiri. Di tangannya masih terpegang buku harian anaknya. Ia berjalan menuju kamar dan mendapatkan anak itu tertidur pulas. Napasnya halus. Pelupuk matanya licin seperti diolesi minyak. Bibirnya ranum memerah.

"Siapakah kamu?" bisik Wanadri lembut, lebih kepada diri sendiri.


Ayah,

Ajarkanlah kesetiaan kepadaku. Agar tak hanya jadi bualan, tetapi menjadi serat dalam dagingku.


Memang. Ada beberapa peristiwa aneh tentang perilaku anaknya, yang membuat Wanadri tegang, cemas, sekaligus takjub. Pertama, saat ia berumur tiga tahun. Pada saat itu Wanadri sungguh-sungguh merasa naas. Tidak ada pekerjaan yang masuk hingga tabungannya ludes untuk bertahan hidup. Wanadri sangat cemas dan mengutuk dirinya sendiri. Menghakimi dirinya sebagai orangtua yang tidak becus. Bahkan untuk kebutuhan pokok anaknya pun ia harus berhutang. Tetapi ia tidak mampu berkelit. Ia ingat betul bagaimana ia memarahi anaknya karena anaknya tersebut tidak mau makan dan minum susu yang uangnya ia dapat dari pinjam. Bahkan anaknya sampai menangis ketakutan, meski tetap tak mau makan. Baru sehari kemudian anaknya itu mau makan dan minum seperti biasa. Tetapi anehnya, sehari kemudian ia kembali mogok makan. Wanadri sunguh-sungguh marah. Tetapi belum lagi tumpah emosinya, seorang tua tetangganya yang kebetulan lewat nyeletuk, "Anak nggak mau makan itu biasa. Kalau sehari makan sehari tidak, yaa....siapa tahu, mungkin dia sedang nDaud?"

Wanadri tercengang. Anak tiga tahun melakukan puasa Daud? Ia tidak ingin percaya, tetapi setelah anaknya melakukan pola makan demikian, ia menyerah, meski ia sangat cemas, khawatir kalau anaknya sakit. Setelah Wanadri mendapatkan pekerjaan, anaknya menghentikan kebiasaan makan melompat hari tersebut.

Peristiwa kedua pada saat Saketi, anaknya itu, berumur lima tahun. Oleh karena centang-perentang keinginannya untuk menemani anaknya dan kemampuan fisik dan psikisnya terbatas, Wanadri mengalami stres. Ia jadi sering marah dan membentak. Ia tahu itu tidak baik, tetapi ia tak mampu mengendalikan. Jika pada saat demikian datang, Saketi hanya terdiam. Hal yang ia lakukan kemudian adalah mengambil sapu kemudian menyapu lantai, atau mencuci piring dan gelas yang masih teronggok di jerambah sumur. Wanadri mau nangis menghadapi ketidakmampuannya. Wanadri merasa bahwa ia harus membebaskan diri dari himpitan itu. Ia pun mengajak anaknya untuk berenang di telaga Perwitasari -sebuah telaga berdebit raksasa dengan ukuran melingkar dua kali lapangan sepak bola, dengan kedalaman tak seorang pun tahu pasti.

Pada saat itu, Saketi justru tidak mau berenang. Ini sesuatu yang aneh, mengingat Saketi sangat suka bermain air. Jadilah Wanadri berenang sendirian, melepaskan penat pikiran dengan air. Berenang kian kemari, menyelam, melompat, seakan Wanadri lupa diri. Anaknya hanya menunggui di pinggir telaga sambil terus memandang bapaknya. Peristiwa tak dapat ditebak. Pada saat Wanadri berada di tengah telaga, perutnya terasa mengejang. Ia mencoba melawan, tetapi kejang di perut serasa mencengkeram seluruh kemampuannya berenang. Berkecipak tangan Wanadri bergerak serabutan. Ia kemudian tak ingat apa pun. Dan ketika terbangun banyak orang merubungnya. Anaknya menangis laiknya anak kecil kehilangan orangtua. Yang mengagetkan Wanadri kemudian adalah ungkapan orang-orang yang merubungnya,

"Siapakah anak bapak itu?"

Apa maksudnya? Wanadri tak dapat menjawab, karena tak mengerti maksud pertanyaan itu.

"Siapakah anak kecil itu?" tandas mereka lagi.

"Ya anak saya...kenapa?"

"Bukan. Anak bapak tadi berlari di atas air dan menyeret bapak, seperti ia sedang menyeret sesuatu di daratan."

Wanadri tidak mengerti. Ia memandang anaknya yang masih mewek dengan air mata berderai.

"Kamu tadi yang menyelamatkan bapak dari tenggelam?"

"Yaa...," ujar dia sambil merengek.

"Bagaimana?"

"Berenang..."

"Tidak! Dia tadi berlari! Sumpah demi Tuhan! Anak kecil itu tadi berlari di atas air!"

Serentak orang-orang itu bicara hal yang sama, nyaris keras seperti bantahan. Saketi semakin ketakutan dan merangkul bapaknya. Wanadri segera memeluk anaknya dan mengakhiri kemustahilan ini; pulang.

Benak Wanadri terus digumuli ketakjuban. Siapakah kamu, anakku? gumamnya dalam hati sambil memandangi wajah anaknya yang pulas tertidur. Tetapi perenungannya tidak tuntas. Sedari tadi ia terganggu oleh suara pertengkaran tetangga sebelah. Di pelataran, Wanadri melihat isteri Sokran si tukang becak, sedang mengusir suaminya,

"Macam bayi saja kamu! Uang sekolah anakmu kamu makan! Kemarin kamu curi gajiku, sekarang berani-beraninya kamu mau jual televisi hanya untuk berjudi!"

"Judi itu menganakkan uang. Nanti kalau menang juga untuk siapa!?" bantah Sokran.

"Kapan kamu menjadi pemenang!! Selamanya bayi ya tetap bayi! Minggat kamuu!"

Sementara mak dan bapaknya terlibat dalam baratayudha itu, Kopet, anak lelaki satu-satunya pasangan sangar itu terdiam sambil tangannya terus melap sepedanya. Drama pun selesai. Wanadri masuk.

Rasa takjub kepada anaknya mengalahkan peristiwa rumah tangga Sokran. Tiba-tiba terlintas kecemasan dalam diri Wanadri bahwa dia kelak tidak akan mampu menghadapi anaknya. Karena tiba-tiba saja ia merasa menjadi orang asing kepada anaknya. "Adakah antara anak dan orangtua itu sesungguhnya asing?" batin Wanadri. Adakah orangtua-anak yang sungguh-sungguh bisa memahami siapa mereka sesungguhnya, dan hubungan macam apa yang sesungguhnya berlangsung? Jika ketidaktahuan muncul, tidakkah sebaiknya sesama manusia saling menghormati, supaya tidak membuat kesalahan.

Wanadri meraih tangan anaknya di tengah lelap tidurnya. Ia cium punggung tangan anaknya, seperti ia mencium tangan kiai. Hatinya bergumam, "Kamu anakku, kamu bukan anakku. Mungkin saja kita ini kawan yang dijodohkan. Shubanallah.... ***

Omahkebon, Juli 2007.

Facebook Twitter Google+
Back To Top