PEMANFAATAN WAKAF DALAM SEJARAH ISLAM
Oleh : Ustadz Tiar Anwar Bachtiar
Wakaf | Pemanfaatan Wakaf dalam Sejarah Islam. Para pengunjung blog kata bijak yang bijaksana menemani sampai dunia
ini berhenti berputar, terimakasih sebuah penghargaan buat anda semua
karena telah menjadikan situs ini menjadi salah satu media online yang
bermanfaat, mudah-mudahan bisa selamanya dirasakan manfaatnya oleh kita
semua, dan tim admin juga tentunya akan terus berusaha seoptimal mungkin menjadikan situs
ini terus lebih baik lagi dalam kualitas konten dan jumlah serta kecepatan akses loadingnya atau dalam bahasa lainnya para suhu menyebutnya Seo.
Pada hari ini Alhamdulillah
penulis berada dalam keadaan baik-baik saja, sehat jasmani juga rohani
yaitu berada dalam lindungan Allah SWT, dan ini semua tentunya tidak
lepas dari kebaikan dan do'a kalian semua, saya do'a kan pula semoga
pengunjung setia dari blog ini dan kaum muslimin diseluruh dunia pada
umumnya berada dalam lindungan Allah SWT, terutama selamat dan
terjaganya aqidah dan tauhid kita karena sekarang sudah banyak sekali
warna dan bentuk yang mau mengganggu kemurnian aqidah dan tauhid kita
baik dari luar maupun dari dari dalam yang mempunyai tujuan tidak baik
terhadap kita.
Pada kesempatan yang baik ini saya akan membagikan sesuatu
yang mudah-mudahan bermanfaat lagi buat anda semua yaitu sebuah postingan religi dan
islami mengenai salah satu syariat islam yang sampai sekarang masih bisa dipertahankan kelangsungannya, cuman dalam pemanfaatannya oleh pengelola kebanyakan disetiap daerah khususnya di daerah kita masih tergolong kurang maksimal dalam arti masih terkesan tidak seimbang antara kemajuan islam untuk kemaslahatan kaum muslimin disekitarnya, karena terfokus kepada kepentingan akhirat saja, seperti membangun masjid atau madrasah. Nah untuk lebih jelasnya pembahasan artikel mengenai wakaf ini, mari kita simak saja secara langsung dibawah ini, yaitu sebuah tulisan dari Guru Saya yaitu Al-Ustadz Tiar Anwar Bachtiar.
Wakaf, dalam pengertian umum sebagai harta yang
dihentikan kepemilikan dan pemanfaatnya secara pribadi untuk dimanfaatkan bagi
kepentingan umum sebetulnya termasuk jenis mu’amalah yang sudah dikenal jauh
sebelum Islam datang kepada Nabi Saw. Wujudnya dapat dilihat dalam bentuk
rumah-rumah ibadah. Hanya saja di masa lalu, wakaf terbatus untuk ritual-ritual
keagamaan. Bahkan, para Nabi sebelum Nabi Saw. sudah melakukan ini. Di antara
buktinya adalah Masjid Al-Aqsha dan Masjid Al-Haram yang hingga kini berdiri
tegak. Keberadaan dua tempat ibadah ini menunjukkan ada suatu sistem Muamalah
seperti wakaf, walaupun mungkin namanya saat itu bukan “wakaf”.[i]
Ketika Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah
Swt. kepada bangsa Arab untuk disebarkan selanjutnya kepada seluruh umat
manusia, wakaf merupakan salah satu bentuk muamalah yang dipertahankan sebagai
bagian dari syariat dalam agama. Wakaf menduduki peran yang sangat penting
dalam gerak langkah dakwah Nabi Saw. Wakaf menjadi salah satu penopang penting
tegaknya agama dan terpeliharanya masyarakat Islam di samping syari’at-syari’at
yang lain. Perbedaan wakaf sebelum dan sesudah zaman Nabi Saw. terletak pada
fungsi dan pemanfaatannya. Sebelum zaman Nabi Saw., wakaf terbatas hanya untuk
tempat-tempat ibadah dan keperluannya, seteah zaman Nabi Saw. wakaf digunakan
juga untuk berbagai kepentingan umum lainnya. Inilah yang justru menjadi khas
dan unik pada zaman Islam ini.[ii]
Dalam perkembangannya sepanjang sejarah Islam
memang sudah ditunjukkan bahwa wakaf dapat digunakan untuk berbagai kepentingan
bukan hanya kepentingan ibadah mahdhah seperti wakaf untuk pendirian dan
pengelolaan masjid. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa umat Islam,
tertutama di Indonesia, saat ini banyak yang tidak memahami penggunaan dan
pemanfaat wakaf ini selain untuk ibadah. Oleh sebab itu, tulisan ini ingin
mencoba mengungkapkan bagaimana wakaf digunakan sepenjang sejarah Islam agar
kita mendapatkan contoh kongkrit tasharruf (pemanfaatan atau
pendayagunaan) wakaf pada zaman ini.
Sejarah
Syari’at Wakaf pada Zaman Nabi Saw.
Munculnya syariat wakaf pada zaman Nabi Saw.
dikaitkan dengan peristiwa Umar ibn Khattab berikut. Suatu ketika Umar ibn
Khattab mendatangi Nabi Saw., lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku mendapatkan
tanah di Khaibar. Tidak ada harta yang paling berharga untukku selain tanah
itu. Apa yang engkau perintahkan untukku (dari harta itu)?’ Rasulullah Saw.
kemudian menjawab, “Jika kamu mau, kamu bisa menahan pokoknya dan menyedekahkan
hasilnya.” Lalu Umar mematuhinya dengan menyedekahkan harta itu. Tanah itupun
tidak pernah dijual, dihibahkan, juga diwariskan. Ia menyedekahkan hasilnya
untuk orang-orang fakir, hamba sahaya, orang-orang yang tengah berjuang di
jalan Allah Swt., orang-orang yang tengah di perjalanan, dan bahkan untuk
menjamu tamu. Bagi yang mengurusnya, tidak dilarang untuk mengambil sekadar
keperluannya secara tidak berlebihan.[iii]
Rasulullah Saw. sendiri pernah secara langsung
mengatakan, “Siapa yang menahan hak milik (ihtibâs) kudanya di
jalan Allah Swt. karena dorongan keimanannya kepada Allah Swt. dan membenarkan
janji-Nya, maka kekenyangannya, baunya, kencingnya, dan kotorannya akan menjadi
timbangan kebaikan baginya.”[iv]
Kasus wakaf yang lain pada zaman Nabi Saw.
seperti diceritakan oleh Anas ibn Malik. Ia menceritakan kisah Abu Thalhah,
orang terkaya di Madinah. Ia memiliki harta yang paling dicintai berupa kebun
yang ia namai Bairuha. Letaknya persis di seberang Mesjid Nabi Saw. Nabi Saw.
sendiri sering masuk ke sana dan minum air yang ada di sana. Ketika Allah Swt.
menurunkan ayat, “Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan sampai kalian
menginfakkan apa yang kalian cintai,” (QS Ali Imran: 92); Abu Thalhah lalu
pergi menemui Rasulullah Saw. dan berkata, “Allah Swt. mengatakan [ia bacakan
ayat di atas]; sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairuha. Aku
sedekahkan harta ini; aku berharap mendapatkan kebaikan darinya dan menjadi
simpanan pahala di sisi Allah Swt.; gunakanlah Bairuha ini sesuai petunjuk
Allah Swt. padamu.” Rasulullah Saw. pun kemudian menjawab, “Bukh! Itu
harta yang sangat menguntungkan. Itu sangat menguntungkan. Aku sudah mendengar
apa yang kamu katakan. Aku akan menggunakannya untuk orang-orang yang sedang
mendekatkan diri (ke Mesjid).[v]
Peristiwa-peristiwa tersebut dianggap sebagai
dasar-dasar disyariatkan wakaf, karena terjadi pada masa Nabi Saw. Bila merujuk
kepada peristiwa-peristiwa tersebut, maka sejak awal wakaf dalam Islam memang
tidak terbatas hanya untuk kepentingan-kepentingan ibadah. Wakaf pada awalnya
digunakan sebagai salah satu “jaring sosial” untuk melindungi orang-orang yang
tidak beruntung secara ekonomi.
Walaupun demikian, dalam sejarah, wakaf yang
lebih awal justru untuk kepentingan ibadah. Wakaf pertama kali itu dilakukan
sendiri oleh Rasulullah Saw. ketika membangun Masjid Nabawi. Ia membeli tanah
yang di atasnya akan dibangun mesjid dari dua orang anak Yatim. Ia kemudian
menggunakan sebagian untuk lokasi masjid dan sebagian lain untuk kamar
istri-istrinya. Ia bersama-sama para sahabatnya yang lain kemudian bersama-sama
membangun Masjid Nabawi yang terus berkembang sampai sekarang.[vi]
Dalam hal ini Rasulullah Saw. sendiri yang memulai contoh mewakafkan harta
untuk tempat ibadah. Wakaf juga memang dapat digunakan untuk hal-hal yang
berkaitan dengan ibadah seperti kasus Bairuha yang pemanfaatannya untuk
orang-orang yang datang ke Masjid Nabi Saw. Oleh sebab itu, tidak mengherankan
apabila wakaf ini didefinisikan dalam peraturan perwakafan di Indonesia sebagai
berikut.
“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau
badan hukum yang memisahkan sebaguan harta kekayaannya yang berupa tanah milik
dan melembagakannya selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan dan keperluan
umum lainnya sesuai ajaran Islam.”[vii]
Ragam Bentuk
Wakaf dalam Sejarah Islam
Disebabkan sejak awal, wakaf merupakan suatu
tindakan atas harta yang penggunaannya cukup bebas, maka dalam sejarah Islam,
baik bentuk maupun penggunaan wakaf ini wujudnya beragam dan terus mengalami
perkembangan. Sejak masa Umar ibn Khattab, ada bentuk wakaf yang agak unik yang
tidak dikenal sebelumnya, yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi keluarga dan
keturunannya sendiri. Wakaf ini dikenal dengan istilah wakaf ahly atau
wakaf dzurry.[viii]
Wakaf ini juga berkembang terus hingga zaman Umawiyah dan Abbasiyah. Oleh sebab
itu, pada saat itu dikenal dua jenis wakaf, yaitu wakaf ahly dan wakaf
khairi. Wakaf khairi ini adalah jenis wakaf yang tujuannya untuk
memberikan manfaat bagi masyarakat umum.[ix]
Pada masa Dinasti Maluk berkuasa di Mesir
terjadi perkembangan baru. Wakaf dibedakan dibedakan menjadi tiga, yaitu ahbas,
awqaf hukmiyyah, dan awqaf ahliyyah. Ahbas adalah tanah-tanah wakaf
yang dimanfaatkan untuk sektor usaha perkebunan yang hasilnya (tsamarah)
digunakan untuk pemeliharaan mesjid. Pada masa ini wakaf yang khusus berupa
tanah perkebunan untuk kepentingan ibadah telah diberi istilah khusus untuk
membedakannya dengan jenis wakaf yang lain.
Sementara itu, awqâf hukmiyyah adalah
tanah-tanah wakaf di Mesir yang digunakan secara komersial yang hasilnya
digunakan untuk pemeliharaan kota secara umum, bukan khusus untuk tempat-tempat
ibadah. Dapat juga hasilnya digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan
kesejahteraan warga kota yang terdiri dari beragam strata sosial, usia, dan
bahkan berbeda-beda agama. Sedangkaan awqâf ahliyyah adalah wakaf dari
keluarga yang bercukupan untuk membantu anggota keluarga lainnya yang
membutuhkan.[x]
Jenis ini hanya melanjutkan apa yang pernah dibuat pada masa Umar ibn Khattab
di atas.
Pembedaan jenis-jenis wakaf di atas didasarkan
pada ketentuan untuk siapa wakaf itu dimanfaatkan, bukan pada jenis harta yang
diwakafkan dan jenis wakafnya. Hal itu disebabkan kedua hal itu tidak berubah
sejak awal, yaitu tidak ada batasan jenis harta apa yang boleh diwakafkan dan
wakaf masih tetap bermakna sama, yaitu mengentikan kepemilikan dan pemanfaatan
oleh pemberinya.[xi]
Dalam hal pemanfaatan untuk kepentingan pemeliharaan tempat ibadah dan
menyantuni keluarga (ahly) dan turunan (dzurry) tentu bentuk
pemanfaatannya tidak akan terlalu banyak inovasi dan perubahan karena sudah
jelas peruntukannya. Akan tetapi, wakaf yang pemanfaatannya untuk umum (khairy)
bentuknya akan sangat dinamis bergantung kepada kebutuhan umum atas harta
tersebut. Oleh sebab itu, dalam hal wakaf khairy ini berkembang berbagai
kreativitas umat Islam dalam memanfaatkannya yang akan dibahas secara singkat
pada bagian selanjutnya.
Bentuk-bentuk
Pemanfaatan Wakaf untuk Kepentingan Umum
Dalam hal pemanfaatan wakaf untuk umum, dapat
dikelompokkan pemanafaatannya antara lain untuk: kesehatan, pengembangan
pendidikan (keilmuan). kegiatan-kegiatan sosial (charity), dan kegiatan
politik dan militer, Masing-masing keleompok tersebut tentu saja memiliki
beragam cara dan teknik dalam mempergunakannya. Dalam sejarah Islam kita dapat
menyebutkan beberapa kasus pemanafaatan wakaf untuk kepentingan-kepentingan
tersebut sebagai berikut.
a. Wakaf untuk
Pengembangan Ilmu dan Pendidikan
Selain wakaf untuk tempat ibadah, bentuk
pemanfaatan wakaf untuk kepentingan yang paling banyak dan paling penting dalam
sejarah Islam adalah pemanfaatan wakaf untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan
penyebarluasannya melalui lembaga-lembaga pendidikan. Wakaf dengan kegunaan ini
sudah dilakukan sejak masa Rasulullah Saw. di mesjid Nabi di Madinah
Al-Munawwarah. Masjid beliau ini bukan hanya digunakan untuk peribadahan
semata-mata. Lebih dari itu, masjid beliau sejak pertama kali didirikan
digunakan untuk membina umatnya. Beliau mengajarkan kembali wahyu Allah Swt.
yang turun kepadanya kepada para sahabat secara rutin di masjid ini. Paling
sering kegiatan ini dilakukan selepas shalat Maghrib menjelang Isya; atau bisa
juga pada waktu-waktu yang lain. Setelah umat Islam berkembang tidak hanya di
sekitar Madinah, masjid-masjid di berbagai tempat pun digunakan oleh para
sahabat sebagai pusat pengajaran Islam.[xii]
Masih pada zaman Nabi Saw., di samping mesjid
biasanya dibuat bangunan berupa ruangan-ruangan sederhana untuk mengajarkan
kepada anak-anak kecil Al-Quran; juga baca tulis lainnya. Bangunan ini dikenal
dengan nama kuttâb. Kuttab yang pertama didirikan pada zaman Rasulullah
Saw. adalah yang dibuat di Mesjid Nabi Saw. sendiri. Pendiriannya diawali
dengan peristiwa pembebasan tawanan Perang Badar. Rasulullah Saw.
mempersyaratkan kepada mereka untuk mengajar membaca dan menulis masing-masing
sepuluh orang anak. Di antara yang belajar baca-tulis kepada tawanan Perang
Badar ini adalah Zaid ibn Tsabit. Tidak hanya untuk anak, Rasulullah Saw. juga
membuat ruangan khusus di samping masjid untuk mereka yang secara khusus ingin
belajar dari Nabi Saw. Tempat ini dikenal dengan nama al-shuffah sehingga
para pelajar yang berada di sana sering disebut ashhâb al-shuffah. Di
antara pelajar yang dikenal di sini adalah Abu Hurairah.[xiii]
Atas dasar praktik pengembangan ilmu yang
dicontohkan oleh Nabi Saw. ini, maka seiring dengan menyebarnya Islam ke
berbagai penjuru dunia, didirikan pula mesjid-mesjid di seluruh pusat-pusat
Islam baru. Sama juga seperti Masjid Nabi Saw., masjid-masjid baru inipun
digunakan sebagai pusat berkumpulnya pada ulama dan ahli-ahli ilmu untuk
belajar dan mengajarkan kembali ilmu-ilmu mereka. Bila masjid sudah tidak
memadai, maka dibuat bangunan-bangunan di sampingnya. Di antara masjid-masjid
yang dikenal dalam sejarah Islam yang juga merupakan pusat-pusat ilmu antara
lain: Masjid Al-Haram di Mekah, Masjid Al-Aqsha di Palestina, Masjid Al-Azhar
di Mesir, Masjid Qairuwan dan Masjid Zaitunah di Tunisia, Masjid Qarawiyyin di
Maroko, Masjid Umawy di Damaskus, Masjid Naisabut di Iran Timur, Masjid Herat
di Afghanistan, Masjid Cordova di Andalusia dan lainnya. Masjid-masjid ini
dalam perkembangannya kemudian menjadi universitas-universitas yang besar dan
disegani di dunia.[xiv]
Selain wakaf yang asalnya hanya masjid yang
kemudian dikembangkan menjadi sekolah-sekolah dan universitas-universitas, ada
juga madrasah-madrasah yang khusus didirikan untuk pusat pengembangan dan
penyebarluasan ilmu. Madrasah yang mula-mula dibangun di luar masjid adalah
Madrasah Nizhamiyyah. Madrasah ini didirikan pertama kali atas wakaf dari wazir
Bani Abbasiyah Nizhamul-Muluk. Setelah diinisiasi oleh Nizhamul Muluk, kemudian
penguasa-penguasa lain di berbagai belahan dunia Islam pun ikut meniru
mewakafkan sebagian kekayaan mereka untuk mendirikan sekolah-sekolah Islam
seperti Nuruddin Zanki di Mesir yang mendirikin Madrasah Zankiyah dan
Shalahuddin Al-Ayyubi yang mendirikan Madrasah Ayyubiyah di Damaskus.[xv]
Bukan hanya madrasah, pusat ilmu dan
pendidikan juga berupa perpustakaan yang menghimpun banyak sekali buku-buku
yang sangat penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Tradisi perpustakaan
ini sudah ada sejak zaman Umar ibn Khattab.[xvi]
Akan tetapi yang secara khusus membuat perpustakaan besar dan membiayai
pengadaan buku serta riset-riset di sana adalah Harun Al-Rasyid seorang
khalifah terkenal bani Abbasiyah. Ia mewakafkan hartanya untuk membangun
Perpustakaan Baitul Hikmah di Baghdad.[xvii]
Perpustakaan ini dianggap sebagai prototipe awal universitas Islam yang
modelnya dikembangkan di berbagai belahan dunia Islam.
Dalam hal wakaf untuk pengembangan ilmu dan
pendidikan ini perlu diperhatikan bahwa wakaf bukan hanya untuk mendirikan
bangunan-bangunannya. Dalam pendidikan, bangunan menjadi tidak ada gunanya sama
sekali tanpa para guru (ulama) yang mengajar dan murid-murid yang belajar serta
sumber-sumber belajar berupa buku-buku. Oleh sebab itu, dalam sejarah Islam,
pembiayaan untuk pendidikan juga meliputi jaminan kehidupan untuk para guru,
murid-murid, para penulis buku, hingga pencetakan buku-buku. Semua dibiayai
dari wakaf-wakaf khairi dalam berbagai bentuk. Umat Islam mengumpulkan
wakaf mereka di suatu lembaga khusus pengelola wakaf untuk kemudian digunakan
sepenuhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Inilah yang menyebabkan ilmu pengetahuan dalam
Islam berkembang sangat pesat. Hampir semua orang yang memiliki harta
memberikan perhatian pada lembaga-lembaga pengembangan ilmu dan pendidikan ini
dengan menyerahkan wakafnya untuk tujuan ini. Dengan wakaf inilah para ulama
yang mengkhususkan hidupnya untuk menggali ilmu dapat dibiayai kebutuhan hidup
mereka sehari-hari. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmu pun, asal punya
keinginan kuat dan kemampuan, dapat memilih ulama atau madrasah mana saja yang
ia ingin datangi tanpa khawatir tidak bisa membayar. Sebab, umumnya
sekolah-sekolah yang ditopang oleh wakaf kaum Muslim tidak memungut bayaran
dari murid-murid. Para penulis buku pun bisa berkonsentrasi untuk terus membuat
karya-karya baru tanpa harus memikirkan bagaimana dia bisa menutupi kebutuhan
hidup sehari-hari. Wakaf juga diperuntukkan bagi para penulis buku.
b. Wakaf untuk
Kegiatan-Kegiatan Sosial
Selain untuk kegiatan pendidikan yang memakan
porsi paling besar dalam sejarah pendayagunaan wakaf dalam Islam, wakaf juga
digunakan sebagai “jaring pengaman sosial”. Wakaf digunakan untuk membiayai
berbagai kegiatan sosial yang sifatnya charity (kebaikan untuk sesama).
Salim Hani Mansur mencatat beberapa jenis pedayagunaan wakaf untuk kepentingan
sosial yang ia dilakukan di berbagai negeri Muslim sebagai berikut. Di Maghrib
(Maroko dan sekitarnya) sudah menjadi kebiasaan mengumpulkan wakaf untuk
menikahkan orang-orang fakir yang telah cukup umur.[xviii]
Alasan utama di balik penggunaan dana wakaf ini adalah sulitnya anak-anak orang
miskin untuk menikah, terutama karena biaya mahar untuk calon istri yang sangat
mahal. Oleh sebab itu, untuk menjaga kerusakan masyarakat karena tersebarnya
perzinaan yang diakibatkan sulitnya sebagian anak muda untuk menikah.
Bentuk wakaf-sosial yang lain adalah pembagian
makanan pokok seperti roti dan gandum bagi fakir-miskin. Model ini dilakukan di
berbagai negara, terutama yang tingkat ekonomi masyarakatnya sangat rendah.
Makanan pokok merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Oleh
sebab itu, menjadi sangat penting menjamin sebagian masyarakat miskin agar
mereka dapat makan setiap hari sehingga kerawanan sosial berupa pencurian dapat
dihindarkan.
Model pendayagunaan lain yang dilakukan di
Beirut Libanon adalah wakaf untuk mengganti perabotan yang pecah. Model ini
dibuat karena banyak kasus para pembantu yang tidak sanggup mengganti perabotan
majikan mereka. Ini sangat memeberatkan mereka. Mereka harus bekerja lebih
keras untuk bisa mengganti perabotan-perabotan mahal yang mereka pecahkan.
Untuk itu, ada lembaga-lembaga wakaf yang menyiapkan wakaf untuk keperluan itu.[xix]
Bentuk wakaf sosial lainnya yang tercatat dalam sejarah antara lain: pembagian
baju-baju untuk yang tidak berpunya, wakaf pekuburan, wakaf jalan, wakaf rumah
sakit, wakaf jaminan para pengungsi, wakaf haji bagi yang tidak mampu biayanya,
dan sebagainya.
Secara singkat, bila kita perhatikan model
pendayagunaan sosial ini dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat di
lingkungan masing-masing. Sistem sosial apa yang menjadi beban masyarakat,
dalam bentuk itulah wakaf didayagunakan. Tujuannya adalah untuk menjamin
keamanan sosial. Sebab, bila ada sebagian anggota masyarakat yang kebutuhan
dasarnya tidak terpenuhi akan sangat berpotensi menimbulkan kriminalitas dan
kerawanan sosial lainnya. Oleh sebab itu, wakaf dalat dijadikan salah satu
isntrumen untuk menanganinya.
c. Wakaf untuk
Kepentingan Politik dan Militer
Peran wakaf dalam menunjang kegiatan-kegiatan
politik sesungguhnya sangat besar. Di antara tujuan politik adalah mewujdukan
kesejahteraan masyarakat. Wakaf tentu saja sangat membantu tujuan ini melalui
fleksibilitas pendayagunaannya. Para penguasa yang peduli kepada masyarakatnya
akan sangat terbantu meringankan tugas-tugas negara dengan didayagunakannya
wakaf. Bahkan bagi masyarakat sendiri, wakaf ini secara tidak langsung
memberikan perlindungan politik kepada masyarakat sendiri dari
kesewenang-wenangan penguasanya. Wakaf mampu memperkuat posisi politik
masyarakat di hadapan penguasanya. Dengan wakaf, masyarakat dapat menjadi lebih
mandiri sehingga para penguasa tidak dapat sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
Dalam hal ini tentu saja politik menjadi lebih sehat.
Wakaf itu sendiri dapat digunakan untuk
kepentingan-kepentingan politik yang positif. Salah satu bentuknya adalah wakaf
yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan organisasi kemasyarakatan dan organisasi
keulamaan. Organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam di seluruh negara Islam
hidup sepenuhnya dengan topangan wakaf. Begitu juga para ulama dijamin
kehidupan mereka oleh wakaf dari masyarakat. Memang ada organisasi atau ulama
yang kehidupannya dijamin oleh penguasa jumlahnya, tetapi jumlahnya tidak dominan.
Inilah yang menyebabkan di dalam Islam kekuatan masyarakat masih dapat
diharapkan untuk mengendalikan arah kekuasaan menjadi lebih baik. Para pemimpin
umat Islam dan para ulama akan semakin independen dari kekuasaan karena
mendapatkan sokongan sepenuhnya dari masyarakat. Mereka akan dapat menjadi
penyambung lidah rakyat yang efektif.[xx]
Sementara itu, wakaf juga dalam sejarahnya
sejak zaman Rasulullah Saw. banyak juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan
militer. Pada masa Rasulullah Saw. wakaf-wakaf untuk kepentingan militer ini
bentuknya cukup banyak. Ada sahabat yang mewakafkan senjatanya seperti pedang,
tombak, perisai, dan baju besi. Senjata-senjata itu kemudian disimpan oleh
petugas-petugas khusus untuk digunakan dalam setiap pertempuran. Ada pula yang
mewakafkan hartanya untuk kepentingan logistik lain yang dibutuhkan oleh para
tentara yang akan perang. Semuanya dikumpulkan untuk dikelola secara khusus
oleh lembaga-lembaga yang menangani wakaf militer ini. Model-model ini juga
terus berkembang pada era kekhalifahan Islam selanjutnya.[xxi]
Oleh sebab itu, keterlibatan masyarakat dalam rangka bela-negara menjadi lebih
intens dan muncul dari kesadaran masyarakat sendiri.
Kesimpulan
Demikian uraian singkat mengenai pendayagunaan
wakaf dalam lintasan sejarah Islam. Penjelasan singkat ini tentu saja tidak
dapat menjelaskan secara detail bagaimana wakaf digunakan. Akan tetapi, secara
umum penjelasan singkat di atas dapat memberikan gambaran kepada kita mengenai
beberapa hal penting. Pertama, wakaf merupakan salah satu bentuk sedekah
yang disyariatkan dalam Islam yang pengelolaannya khas, tidak seperti sedekah
lain yang tidak ada ketentuan dalam pengelolaannya. Kekhasannya terletak pada
posisi wakaf yang tidak boleh menjadi milik perorangan, melainkan harus menjadi
milik Allah Swt. menurut pendapat jumhur ulama. Wakaf juga
dipersyaratkan pokoknya tidak boleh berubah. Oleh sebab itu, pengelola wakaf
bukanlah pemiliknya, akan tetapi bertanggung jawab penuh untuk menjaga agar
nilai pokok dari wakaf yang dititipkan padanya tidak berkurang. Ketentuan ini
tentu saja berbeda dengan sedekah lainnya yang dapat diperlakukan secara bebas,
bahkan dapat dihabiskan oleh penerima sedekah.
Kedua, wakaf yang nilai pokoknya tidak boleh berubah
dengan demikian harus dikembangkan atau minimal dijaga pokonya agar tetap dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat. Ketentuan ini menimbulkan konskwensi kepada
pengelola wakaf bahwa ia harus memelihara dengan baik dan mengembangkan wakaf
tersebut agar produktif. Wakaf tidak boleh dibiarkan secara pasif sehingga
tidak berdaya guna untuk kepentingan-kepentingan masyarakat.
Ketiga, bila wakaf ini sudah dipelihara dengan baik,
maka pendayagunaan wakaf ini harus juga direncakan sedemikian rupa untuk
melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat, terutama wakaf khairi yang
tujuannya memang untuk kesejahteraan umum. Wakaf harus dirancang dapat menjamin
pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan sosial lainnya. Wakaf juga dapat digunakan
untuk kepentingan politik dalam rangka menguatkan dan menyehatkan politik di
suatu negara agar berjalan menuju tujuannya yang ideal. Wakaf juga dapat
digunakan untuk menopang kebutuhan-kebutuhan militer yang sangat penting untuk
menjaga keamanan dan pertahanan suatu negara. Wallahu A’lamu bi Al-Shawwâb.
[i]
Muhammad Abu Zahroh. Muhâdharât di Al-Waqf. (tk.: Maktabah Ali
Mukhaimarah, 1959) hal. 7
[ii]
Salim Hani Mansur. Al-Waqf wa Dauruhu fî Al-Mujtama’ Al-Islâmî Al-Mu’âshir. (Beirut:
Mu’assasah Ar-Risalah Nasyirun, 2004) hal. 17-18; Muhammad Abu Zahrah. Ibid.
hal. 9
[iii]
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi,
Imam An-Nasa’I, dan Imam Ibnu Majah semuanya dari Ibnu Umar. lihat: Salim Hani
Mansur. Ibid. hal. 21
[iv]
Hadis riwayat Imam Ahmad dan Imam An-Nasa’I dari Abu Hurairah. Lihat: Salim
Hani Mansur. Ibid hal. 21
[v]
Hadis riwayat Imam Al-Bukhori dar Anas ibn Malik. Lihat: Salim Hani Mansur. Ibid.
hal. 22.
[vi]
Monzer Kahf. Al-Waqf Al-Islâmy: Tathawwuruhu, Idâratuhu, Tanmiyatuhu. Jil.
I (tk: tp., tt.) hal. 15
[vii]
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Bab I,
pasal 1 (b).
[viii]
Monzer Kahf. Op. Cit. Jil. I hal. 18.
[ix]
Jaih Mubarok. Wakaf Produktif. (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008)
hal. 14
[x]
Jaih Mubarak. Ibid. hal. 14
[xi]
Mengenai posisi harta wakaf dengan pemiliknya terdapat perbedaan pendapat di
antara para ulama mazhab. Menurut ulama Hanafiyah pewakaf hanya menahan
benda yang dimiliki oleh pewakaf (tidak dimanfaatkan lagi oleh pewakaf) dan
menyedekahkan hasilnya. Pewakaf sendiri boleh menarik kembali wakafnya dan
menjualnya. Sementara menurut para ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah yang
juga merupakan pendapat sebagian besar ulama, termasuk sebagian ulama dari
mazhab Hanafiyah wakaf merupakan “penghentian kepemilikian” dari pewakaf bukan
hanya oemanfaatan jenis hartanya. Oleh sebab itu, harta wakaf tidak boleh
diminta kembali, dijual, ataupun diwariskan. Harta ini berubah menjadi harta milik
Allah Swt. Sementara itu, menurut para ulama mazhab Malikiyah ketentuan
pemanfaatan wakaf dari tangan pewakafnya tidak mesti selamanya. Wakaf dapat
saja ditentukan waktunya, tidak perlu selamanya. Lihat: Salim Hani Mansur. Op.
Cit. hal. 18-19
[xii]
Said Ramadhan Al-Buthi. Fiqh Sîrah An-Nabawiyyah ma’a Mûjiz min Târîkh
Al-Khilâfah Al-Rasyîdah. (Beirut: Dar El-Fikr El-Mu’ashir, 1991) hal.
211-213
[xiii]
Muhammad Mahmud Kalu. Daur Al-Waqf fî Ta‘zîz Al-Ma‘rifah. (tanpa
keterangan terbitan) hal. 12
[xiv]
Muhammad Mahmus Kalu. Ibid. hal.10-11
[xv]
Ahmad Sjalabi. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
hal. 130
[xvi]
Abdul Hayyi Al-Kattani. Târîkh Al-Maktabât Al-Islmiyyah wa Man Allafa min
Al-Kutub. (Rabat: Maktabah Al-Hasaniyah, 2005) hal. 25-26
[xvii]
Ahmad Sjalabi. Op. Cit. hal. 143
[xviii]
Salim Hani Mansur. Op. Cit. hal. 54
[xix]
Salim Hani Mansur. Ibid. hal. 54
[xx]
Salim Hani Mansur. Ibid. hal. 65-78
[xxi]
Salim Hani Mansur. Ibid. hal. 81-84