Kata-Kata Motivasi, Kata-Kata Bijak, Kata-Kata Mutiara, Kata-Kata Cinta, Pantun Nasehat, Pantun Jenaka, Contoh Proposal, Contoh Memo, Kata Kata 2016,

Tuanku Imam Bonjol – Jejak Mujahidin Menuju Kemerdekaan Indonesia (Part I)


Tuanku Imam Bonjol – Jejak Mujahidin Menuju Kemerdekaan Indonesia (Part I)
Mei 30, 2012 

Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat pada tahun 1772. Sebagai seorang ulama dan pemimpin masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Riwayat Jihadnya : Perang Padri
Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya karena kekufuran dan pembangkangannya kepada syari’at Islam.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Raja Pagaruyung Sultan Muning Alamsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan jahiliyah yang tidak sesuai dengan Islam seperti berjudi, sabung ayam, mabuk-mabukan, pesta jahiliyah dll. Bahkan Imam Bonjol dan kawan-kawan Ulama’nya yang sering memergoki dan menumpas mereka (kaum Adat) yang suka melakukan maksiat sering difitnah sebagai Wahhabi oleh para pemimpin adat mereka, meski Tuanku Imam Bonjol bukan seorang Salafi Irdja’i yang mudah menyesatkan orang. Sampai saat ini, Wahhabi menjadi tren fitnah nomor wahid yang ditujukan kepada para Ulama’ yang ingin menerapkan Hukum Alloh. sudah sunnatulloh.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Paderi (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Paderi dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung karena penolakannya terhadap syari’at Islam pada tahun 1815, dan pecahlah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Muning Alamsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kafir Belanda dalam perjanjian yang ditaken di Padang, sebagai kompensasi kepada Kafir Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi.
Campur tangan Kafir penjajah Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena “diundang” oleh kaum Adat yang masih kafir.
Atas pertolongan Alloh perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Paderi yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat “Perjanjian Masang” pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi memang sudah watak orang kafir, perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Nagari Pandai Sikek.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat  dan kaum Paderi melawan Kafir Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Kafir Belanda karena pihak Adat telah mau mengikuti Syari’at Islam dengan idzin Alloh. Bersatunya kaum Adat dan kaum Paderi ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur’an)).
Tuanku Imam Bonjol berkata “Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?)
Jihad heroik Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) juga dapat menjadi apresiasinya akan kepahlawanannya menentang penjajahan, serta rincian laporan G. Teitler yang berjudul Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837.
Penyerangan benteng kaum Paderi (Ulama) di Bonjol oleh kafir Belanda dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon yang pengkhianat. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) yang pengkhianat seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Paderi.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Penangkapan dan Pengasingan Hingga Wafat
Setelah datang bantuan dari Batavia, maka kafir penjajah Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit, suatu negeri yang indah dikarenakan memakai hukum Alloh dalam kehidupan bermasyarakatnya. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Bonjol dapat dikuasai (dengan izin Alloh) setelah sekian lama dikepung.
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut. Beliaulah mujahid dimasanya. Semoga Alloh menerimanya. Dan kita dapat memetik hikmah dan pelajaran darinya.
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. ****

Facebook Twitter Google+
Back To Top