Wajah Barat
Mei 27, 2012
Jika umat Islam ingin maju seperti Barat, maka ia akan
menjadi seperti Barat dan bukan seperti Islam
Suatu hari David Thomas, Pendeta dan
Professor teologi di Selly Oak College, Universitas Birmingham, Inggris ditanya
seorang mahasiswanya yang Muslim.
“Are you happy with the Western
civilization?” “No, not at all” jawabnya tegas.
“Why?” tanyanya. Sebab, paparnya,
Barat dan orang-orang Barat maju dan berkembang bukan karena Kristen.
Bos pabrik cokelat Cadbury, katanya
mencontohkan, menyumbang dana jutaan Poundsterling untuk membangun perpustakaan
Selly Oak bukan karena ia seorang Kristen, tapi karena ia kaya dan punya dana
sosial lebih.
Jawaban Thomas mengungkap fakta
sejarah. Barat bukan Kristen. Sejarawan Barat seperti Onians, R.B, Arthur,
W.H.A, Jones, W.T.C, atau William McNeill, umumnya menganggap “Ionia is the
cradle of Western civilization” dan Bukan Kristen. Agama Kristen malahan telah
ter-Baratkan. Thomas sepertinya ingin mengatakan bahwa Barat tidak lahir dari
pandangan hidup Kristen.
Sosoknya mulai nampak ketika marah
dan protes terhadap otoritas gereja. Agama dipaksa duduk manis di ruang gereja
dan tidak boleh ikut campur dalam ruang publik. Diskursus teologi hanya boleh
dilakukan dengan bisik-bisik. Tapi orang boleh teriak anti agama. Hegemoni
diganti dengan hegemoni. Barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup.
Teriakan Nietzsche “God is dead”
masih terdengar hingga saat ini. Dalam The Gay Science ia mengatakan, “ketika
kami mendengar “tuhan yang tua itu mati” kami para filosof dan “jiwa-jiwa yang
bebas” merasa seakan-akan fajar telah menyingsing menyinari kita”.
Kematian tuhan di Barat ditandai
oleh penutupan diskursus metafisika tempat teologi bersemayam. Tuhan bukan lagi
supreme being (Maha Kuasa). Tidak ada lagi yang absolute. Semua relatif. Kalau
anda mengklaim sesuatu itu benar maka orang lain berhak menghakimi itu salah.
Tuhan tidak lagi bisa diwakili. Ia telah mati. Barat adalah alam pikiran dan
pandangan hidup.
Mengapa tuhan perlu dibunuh? Kalau
Marx menganggap agama sebagai candu masyarakat, Nietzsche menganggap tuhan
sebagai tirani jiwa (tyrant of the soul). Beriman pada tuhan tidak bebas dan
bebas berarti tanpa iman. Sebab beriman berarti sanggup menerima perintah,
larangan atau peraturan yang mengikat. Barat adalah alam pikiran pandangan
hidup.
Sejarah Barat adalah sejarah
pencarian “kebenaran”. Tapi mencari kebenaran di Barat lebih penting dari
kebenaran itu sendiri. Mencari untuk mencari, ilmu untuk ilmu, seni untuk seni.
Sesudah “membunuh tuhan” Barat mengangkat tuhan baru yakni logocentrisme atau
rasionalisme. Tidak puas dengan tuhan baru mereka mengangkat liberalisme. Namun
kini liberalisme seperti moncong bedil. Pandangan-pandangan yang tidak “setuju”
harus keluar atau berhadapan. “You are with us or against us”.
Liberalisme membawa gagasan
kepelbagaian (multiplicities), kesamarataan, (equal representation) dan
keraguan yang menyeluruh (total doubt). Barat kini adalah sosok yang tanpa
wajah. Atau seperti kata Ziauddin Sardar wajah yang tanpa kebenaran (no truth),
tanpa realitas (no reality), tanpa makna (no meaning). There is no comfort in
the truth. Setting alam pikiran Barat ini dihukumi Francis Fukuyama sebagai
akhir dari sejarah (the end of History).
Diskursus tentang God-man &
God-world relation di abad pertengahan kini sudah tidak relevan. Humanisme
telah mendominasi dan menyingkirkan theisme. Akibatnya, teologi tanpa
metafisika, agama tanpa spiritualitas atau bahkan religion without god. Teologi
(theos dan logos) secara etimologis tidak lagi memiliki akar ketuhanan. Istilah
teologi pembebasan, teologi emansipasi, teologi menstruasi dsb. tidak lagi
berurusan dengan Tuhan. Agama bagi postmodernisme tidak lebih dari sebuah
narasi besar (grand narrative) yang dapat diotak-atik oleh permainan bahasa.
Makna realitas tergantung kepada kekuatan dan kreatifitas imaginasi dan
fantasi. Feeling is everything kata Goethe.
Kebenaran itu relatif dan menjadi
hak dan milik semua. Kebenaran adalah illusi verbal yang diteima masyarakat
atau tidak beda dari kebobongan yang disepakati. Etika harus di globalkan agar
tidak ada orang yang merasa paling baik. Baik buruk tidak perlu berasal dari
apa kata Tuhan, akal manusia boleh menentukan sendiri.
Barat adalah alam pikiran pandangan
hidup. Seperti juga Barat, Kristen, Islam, Hindu, bahkan Jawa adalah sama-sama
pandangan hidup. Meski sama namun kesamaan hanya pada tingkat genus, bukan
species. Masing-masing memiliki karakter dan elemennya sendiri-sendiri. Jika
elemen-elemen suatu pandangan hidup dimasuki oleh elemen pandangan hidup lain,
maka akan terjadi con-fusion alias kebingungan. Margaret Marcus (Maryam
Jameelah), malah mengingatkan jika pandangan hidup Barat menelusup kedalam
sistim kepercayaan Islam, tidak lagi ada sesuatu yang orisinal yang akan
tersisa. Benar, ketika elemen-elemen Barat yang anti Kristen dipinjam anak-anak
muda Muslim, maka mulut yang membaca syahadat itu akan mengeluarkan pikiran
atheis. Tuhan yang Maha Kuasa, bisa menjadi “tuhan yang maha lemah”, Al-Quran
yang suci dan sakral tidak beda dari karya William Shakespear, karena ia
sama-sama keluar dari mulut manusia.
Jika ummat Islam ingin maju seperti
Barat maka ia akan menjadi seperti Barat dan bukan seperti Islam. Dan suatu
hari nanti akan ingat keluhan David Thomas atau tangisan Tertulian yang sudah
lapuk “Apalah artinya Athena tanpa Jerussalem”.