Sunda
dan Islam
Mei 6, 2012
Oleh,
Tiar Anwar Bachtiar
(Ketua
Umum PP Pemuda Persatuan Islam)
Tatar
Sunda adalah wilayah tempat bermukimnya suku Sunda. Tatar Sunda umumnya
disamakan dengan daerah Jawa Barat. Sebelum daerah Jawa bagian barat terpecah
menjadi provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat seluruh wilayah ini dianggap
sebagai bagian dari etnik Sunda. Oleh sebab itu, ketika membicarakan sejarah
Sunda, selalu saja Cirebon, Banten, dan Jakarta menjadi wilayah yang dianggap
menjadi bagian dari Sunda.
Akan
tetapi, kini Jakarta diklaim sebagai tempat bermukim etnik khusus bernama
“Betawi”, dan orang-orang Banten menganggap mereka bukan Sunda, melainkan
“Banten”. Sebentar lagi, Cirebon ingin berpisah dari Jawa Barat karena mereka
merasa bukan “Sunda”. Mereka adalah etnik tersendiri.
Sesungguhnya,
kalau yang dilihat adalah perbedaan-perbedaan, tentu akan semakin banyak
wilayah yang ingin membentuk provinsi sendiri karena alasan etnisitas seperti
kasus Banten dan Cirebon. Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa sungguh-sungguh
Banten, Cirebon, dan Betawi benar-benar bukan bagian dari “Tatar Sunda”, karena
pada kenyataannya, pada wilayah-wilayah itulah populasi masyarakat Sunda
tersebar. Oleh sebab itu, bila berbicara “Tatar Sunda” dalam sejarah, tentu
wilayah-wilayah itu tetap merupakan bagian di dalamnya.
Sama
seperti etnis Jawa yang umumnya berdiam di wilayah Jawa bagian tengah dan
timur, etnis Sunda pun mengalami proses sejarah yang panjang yang umumnya tidak
terlampau berbeda dengan yang dialami oleh etnis Jawa. Salah satu fase sejarah
yang paling penting adalah proses Islamisasi. Proses ini, sampai saat ini
merupakan proses yang memberikan kesan paling penting dam mendalam bagi
masyarakat Sunda. Paling tidak, secara nominal, mayoritas suku Sunda menganut
Islam. Islam bahkan hampir menjadi bagian dari identitas kesundaan. Dengan kata
lain, kalau tidak Islam, agak aneh bahwa dia adalah orang Sunda, sekalipun pada
kenyataannya ada saja orang Sunda yang tidak Islam.
Membicarakan
Sunda dengan Islam tentu menjadi semakin menarik apabila pendekatan yang
dipakai adalah kebudayaan. Islam sebagai agama yang berwatak membentuk
peradaban, tantu yang akan paling terlihat dampaknya dari keberadaan Islam adalah
basis dari peradaban itu sendiri, yaitu kebudayaan. Sejarah proses Islamisasi
menjadi semakin dapat dimengerti dengan baik apabila yang dipertimbangkan
adalah faktor kebudayaan ini. Tulisan berikut ini akan secara singkat memotret
hubungan Islam dan Sunda dari sudut pandang sejarah dan kebudayaan.
Islam
dan Falsafah Hidup Urang Sunda
Untuk
memahami bagaimana intensifnya hubungan Islam dan Sunda pada masa kini, akan
amat penting apabila kita menggali bagaimana falsafah yang dianut masyarakat
Sunda kiwari. Apabila falsafah hidup yang dianut ternyata mendapat
pengaruh kuat dari Islam, maka hampir dapat dipastikan bahwa Islam telah
meresap menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat Sunda. Inilah
yang akan digali pertama pada tulisan ini.
Menggali
falsafah hidup tentu saja harus diambil dari keseharian kehidupan masyarakat
Sunda. Jejak-jejak budaya yang hidup sehari-hari-lah yang akan memberikan
banyak informasi mengenai bagaimana urang Sunda mendefinisikan kehidupannya dan
bagaimana mereka harus menjalaninya. Salah satu jejak budaya yang cukup
representatif untuk menggambarkan mengenai falsafah hidup yang dianut urang
Sunda adalah warisan peribahasa dan pepatah yang hidup di tengah masyarakat.
Dalam bahasa Sunda yang demikian disebut paribasa dan babasan.
Di
balik peribahasa dan pepatah itu tentu tersimpan suatu pandangan hidup tertentu
(worldview). Pandangan hidup inilah yang menjadi kerangka dasar masyarakat yang
bersangkutan melihat dan menafsirkan berbagai realitas yang dihadapinya. Di
sini pula dengan segera akan ditemukan sejauh mana Islam berpengaruh membentuk
pandangan hidup masyarakat Sunda.
Berkait
dengan peribahasa, ada dua buku penting yang dapat dijadikan rujukan, yaitu
buku Mas Natawisastra berjudul Saratus Paribasa jeung Babasan (cet. I
thn. 1914; cet. II 1978) terdiri atas lima jilid. Buku lainnya ditulis Samsoedi
Babasan jeung Paribasa Sunda yang terbit tahun 1950-an. Dalam kedua buku
tersebut termuat lebih dari 500 peribahasa Sunda. Seluruhnya mewakili apa yang
berkembang di tengah masyarakat Sunda.
Menurut
Ajip Rosjidi, dari lebih 500 peribahasa, yang secara langsung kosakatanya
meminjam peristilahan Islam hanya ada sekitar 16 peribahasa. Sisanya tidak
meminjam peristilahan khusus Islam. Di antara babasan yang ada kaitan
langsung dengan Islam antara lain: Kokoro manggih Mulud, puasa manggih
Lebaran (Orang melarat bertemu perayaan Maulid Nabi, yang berpuasa bertemu
dengan Lebaran), Jauh ke bedug (Jauh ke suara bedug di mesjid), dan
sebagainya.[1] Sementara peribahasa lain umumnya menggunakan
peristilahan yang umum dalam masyarakat Sunda dan tidak kaitannya secara
langsung dengan Islam contohnya antara lain: cul dog-dog tinggal igel
(menari tanpa diiringi lagi musik pengiring), kandel kulit beungeut (tebal
kulit muka), dan sebagainya.
Berdasarkan
bacaan Rosjidi, sekalipun peribahasa dan pepatah yang dibuat tidak secara
langsung menyerap istilah yang ada kaitan dengan kebudayaan Islam seperti tajug
(mesjid), mulud (perayaan Maulid Nabi), lebaran, puasa, dan semisalnya bukan
berarti makna yang terkandung di dalamnya juga tidak ada kaitan dengan Islam.
Justru setelah keseluruhan pepatah dibaca dan beberapa sampel pepatah
dicontohkan, Rosjidi menyimpulkan:
Dengan
demikian walaupun jumlah peribahasa yang tampak Islami tidak banyak, namun kalau
diteliti lebih lanjut, kebanyakan peribahasa Sunda ternyata mengandung
nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, pendapat yang
pernah dikemukakan oleh almarhum H. Endang Saifudin Anshari, MA bahwa “Islam
teh Sunda, Sunda teh Islam” tidaklah bertentangan dengan hasil pengamatan
terhadap peribahasa Sunda.[2]
Dalam
kesimpulannya Rosjidi setuju dengan pendapat Endang Saefudin Anshary bahwa
sesungguhnya antara Islam dengan Sunda tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan yang
hidup di tengah masyaraqkat Sunda adalah kebudayaan yang telah mendapat
sentuhan Islam sangat kuat hingga ajaran-ajaran Islam, sekalipun tidak harus
dieksplisitkan ayat dan hadisnya, telah membentuk pandangan hidup masyarakat
Sunda. Tentu saja Sunda yang dimaksud adalah kebudayaan Sunda kontemporer yang
telah mengalami Islamisasi amat intensif.
Sebagai
contoh, ada peribahasa dalam bahasa Sunda mun teu ngarah moal ngarih, mun
teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngoprek moal nyapek (kalau tidak berusaha
takkan mungkin mengangi nasi, kalau tidak menggunakan akal tak nanti menanak
nasi, kalau tidak bekerja tidak akan mungkin bisa makan). Perihabasa ini
mencerminkan bagaimana orang Sunda mengajarkan bahwa hidup harus dihadapi
dengan usaha dan ikhtiar, tidak boleh berpangku tangan. Sekalipun kata-kata
yang digunakan tidak menggunakan istilah Islam, namun pepatah ini amat sesuai
dengan ajaran Islam yang memerintahkan untuk berusaha dan berikhtiar.
Akan
tetapi, dalam kenyataan keseharian kehidupan masyarakat Sunda, ada saja adat
yang kelihatannya tidak mencerminkan perilaku yang dipengaruhi Islam. Bisa jadi
adat tersebut maih dipengaruhi oleh ajaran-ajaran pra-Islam. Hal demikian
adalah wajar mengingat proses Islamisasi adalah proses “menjadi” yang mungkin
saja di satu tempat sudah berubah sementara di tempat lain belum. Karya H.
Hasan Mustapa, Adat Istiadat Sunda.[3]Dalam buku ini, Mustapa yang tokoh
intelektual Muslim Sunda abad ke-19, memberikan penjelasan mengenai berbagai
adat kebiasaan yang dikerjakan masyarakat Sunda mulai adat saat melahirkan,
mengkhitan, menikahkan, menanam, kematian, dan sebagainya.
Dalam
penjelasannya Mustapa menunjukkan apa pengaruh dan falsafah yang ada di balik
kebiasaan itu. Ada adat yang memang berkenaan dengan kepercayaan pra-Islam, ada
pula yang sudah menunjukkan pengaruh ajaran Islam. Sebagai seorang intelektual
Muslim, Mustapa secara proporsional menempatkan adat kebiasaan urang Sunda yang
dituliskan dalam kerangka pandangan hidupnya sebagai Muslim.
Dari
sisi sumber intelektual, sebetulnya karya Mustapa ini juga sudah menunjukkan
secara tidak langsung bahwa tokoh-tokoh intelektual Sunda seperti dirinya pada
abad ke-19 sudah memiliki pengaruh yang kuat dari Islam. Ini berarti bahwa
Islam sudah menjadi salah satu referensi inetelektual yang penting sehingga
adat kebiasaan yang berlaku pun ditimbang dalam kerangka Islam.
Mengenai
persoalan ada sebagian masyarakat yang lebih memegang adat daripada pengajaran
baru, di dalam falsafah masyarakat Sunda sendiri sudah disadari sejak awal. Ini
tercermin dari peribahasa kuat adat batan warah (lebih kuat adat
daripada pengajaran). Ini menunjukkan bahwa adat bukanlah harga mati. Bisa
jadi, dengan datangnya pengajaran baru adat haru berubah. Namun seringkali
orang yang sudah telanjur memagang adat tidak dapat dengan mudah meninggalkan
kebiasaan-kebiasaannya hanya karena ada pengajaran baru.
Islamisasi
Tatar Sunda
Sudah
menjadi kebiasaan dalam historiogri kolonial bahwa Islamisasi akan dibenturkan
dengan pertahanan adat masyarakat lokal. Umpamanya ketika sejarawan-sejarawan
kolonial menceritakan proses Islamisasi di wilayah kebudayaan Jawa. Islamisasi
yang sesungguhnya adalah proses kebudayaan kemudian digambarkan dengan
pristiwa-peristiwa politik. Jadilah kemudian perang antara Demak dengan
Majapahit (1526 M) sebagai diartikan perang antara Islam dengan Hindu; atau
Islam dengan kebudayaan Jawa. Dalam hal ini, Demak disimbolkan sebagai wakil
tradisi Islam sementara Majapahit disimbolkan sebagai wakil kebudayaan Jawa.
Bila
melihat hubungan antara Islam dengan kebudayaan setempat seperti demikian, maka
akan dapat disimpulkan bahwa Islam datang untuk menghancurkan “kebudayaan”
masyarakat tempatan. Padahal, sejatinya proses Islamisasi, apalagi menyangkut
kebudayaan adalah proses yang damai, normal, dan wajar tanpa kekerasan. Orang
dengan sukarela menjadi Islam atau tidak. Sementara persoalan politik
sesungguhnya lebih banyak berkaitan dengan kepentingan kekuasaan, daripada
dengan kepentingan mempertahankan kebudayaan.
Hal
yang sama juga akan ditemukan saat menceritakan hubungan antara Sunda dengan
Islam. Hubungan ini, dalam sejarah selalu dikaitkan dengan ingatan perang
antara Maulana Hasanudin dari Banten dengan kerajaan Sunda di bawah pimpinan
Ratu Samiam tahun 1579 yang berakhir dengan hancurnya kerajaan Sunda. Perang
ini seolah memberikan pertanda bahwa Islam dengan Sunda adalah seteru, sesuatu
yang tidak dapat dipersatukan. Oleh sebab adanya pandangan demikian, ada yang
sengaja mencari “jati diri” kasundaan dengan melewatkan Islam.[4]
Islam
datang ke Tatar Sunda seiring dengan datangnya Islam ke Tanah Jawa pada
umumnya. Sama seperti di wilayah Jawa yang lain, puncak keberhasilan dakwah
Islam adalah pada masa Wali Songo. Di Tatar Sunda, anggota Wali Songo yang
menjadi penyebar Islam tersohor, bahkan sampai berhasil mendirikan kerajaan
Islam di Cirebon dan Banten adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Namun demikian, Sunan Gunung Jati bukan orang pertama yang membawa Islam.
Dalam
sumber-sumber lokal-tradisional dipercayai bahwa orang yang pertama kali
memeluk dan menyebarkan Islam di Tatar Sunda adalah Bratalegawa. Bratalegawa
adalah putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang
Bunisora, penguasa Kerajaan Galuh. Ia memilih hidupnya sebagai saudagar besar.
Karena posisinya itu, ia tebiasa berlayar ke Sumatera, Cina, India, Srilangka,
Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat
bernama Farhana binti Muhammad.
Melalui
pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam, kemudian menunaikan ibadah haji dan
mendapat julukan Haji Baharudin. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan
ibadah haji di kerajaannya, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa. Ia kemudian
menepat di Ciberon Girang yang saat itu berada di bawah kekuasaan Galuh. Bila
cerita ini menjadi patokan, dapat disimpulkan bahwa Islam pertama kali dibawa
ke Tatar Sunda oleh pedagang dan pada tahap awal belum banyak pendukungnya
karena masih terlampau kuatnya pengaruh Hindu.[5]
Ada
pula naskah tradisional lain yang menyebutkan cerita tentang Syekh Nurjati dari
Persia. Ia adalah ulama yang datang pada sekitar abad ke-14 bersama 12 orang
muridnya untuk menyebarkan Islam di daerah jawa Barat. Atas izin penguasa
pelabuhan tempat ia mendarat, ia diperbolehkan menetap di Muarajati (dekat
Cirebon) dan mendirikan pesantren di sana. Kisah ini terdapat dalam naskah
Carita Purwaka Caruban Nagari.[6]
Ada
lagi kisah tentang ulama yang datang dari Campa (sekitar Vietnam) bernama Syekh
Quro. Ia singgah di Karawang bersama-sama dengan kapal Laksamana Cheng Ho.
Sementara
Cheng Ho melanjutkan misinya, Syekh Quro memilih tinggal di Karawang dan
menikah dengan Ratna Sondari putra penguasa Karawang. Ia diizinkan untuk
mendirikan pesantren hingga ia dapat menyebarluaskan ajaran Islam secara lebih
leluasa.[7]
Sumber-sumber
tradisional ini, sekalipun dalam perspektif sejarawan Barat dianggap sebagai
sumber yang tidak otoritatif, namun untuk tidak dipercayai secara keseluruhan
pun bukan perkara yang tepat. Oleh sebab itu, sebagai informasi permulaan apa
yang ditulis dalam sumber-sumber tradisional di atas patut dipertimbangkan.
Bila
sumber-sumber ini kita pegang, dapat disimpulkan bahwa Islam telah datang ke
Tatar Sunda sejak abad ke-12 atau ke-13. Akan tetapi, sebagaimana umumnya
pengembangan agama secara damai, tersebarnya Islam untuk sampai menjadi anutan
mayoritas membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, bila pada abad
ke-16, Kerajaan Sunda runtuh, bukan berarti bahwa Islam yang menghancurkannya.
Kehancuran
Kerajaan Sunda adalah karena kekuatannya secara politik semakin merosot
sehingga mudah untuk dihancurkan. Hanya saja, saat itu yang berhadap-hadapan
dengan Kerajaan Sunda adalah Kerajaan Banten sehingga banyak yang secara
simplisistik menyebutkan bahwa hancurnya simbol “kasundaan” adalah ketika Islam
datang.
Catatan
Kaki
[1] Ajip Rosjidi, Mencari Sosok Manusia Sunda, Pustaka
Jaya Jakarta, 2010, hal. 39-40
[2] Ibid, hal. 50
[3] Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul
yang sama oleh M. Maryati Sastrawijaya diterbitkan terakhir oleh PT Alumni
Bandung tahun 2010.
[4] Salah satu yang berusaha untuk melakukan itu adalah
budayawan Katolik ahli Sunda, Jakob Sumardjo. Dalam tiga jilid bukunya yang
berjudul Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda (diterbitkan Penerbit Kelir Bandung
tahun 2009), Sumardjo berusaha mengaitkan jati diri kasundaan dengan
mengembalikannya pada kepercayaan Sunda yang dipengaruhi animisme dan
dinamisme; atau Hindu-Budha. Dalam jilid ketiga yang secara khusus mengenai
pantun-pantun Sunda, tafsiran istilah pada pantun itu ia kaitkan dengan
kepercayaan lama yang bukan Islam, padahal dalam konteks kekinian, pandangan
hidup Sunda tidak dapat dipisahkan dari Islam.
[5] Nina Herlina, dkk. Sejarah Tatar Sunda. Satya
Historika Bandung, 2003: hal. 164-165
[6] Ibid. hal. 166
[7] Ibid. hal. 167