PERSPEKTIF
HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA
April 16, 2012
Lembaga kepala negara dan pemerintahan diadakan sebagai
pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pengangkatan
kepala Negara untuk memimpin umat Islam adalah wajib menurut ijma`.
[Imam
Al-Mawardi, Ahkaamus-Sulthaniyyah wal-Wilaayaatud-Diiniyyah]
Negara
menurut KBBI adalah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Mengadakan suatu Negara atau
mengangkat pemerintahan wajib hukumnya berdasarkan akal dan syariat. Meskipun
manusia berbeda pendapat tentang dasar kewajiban mengangkat pemerintahan dan
mengadakan suatu Negara. Mereka yang mendasarkan pada akal berpendapat bahwa
manusia memiliki kecenderungan untuk menyerahkan kepemimpinan kepada seseorang
yang dapat menghalangi kedzaliman dan menuntaskan perselisihan serta permusuhan
di antara mereka. Sementara mereka yang mendasarkan kepada syariat menegaskan bahwa
pemerintah memiliki tugas-tugas agama dan didorong oleh syariat untuk
menegakkannya. Boleh jadi tugas-tugas ini ditentang atau tidak didorong oleh
akal — yang seringkali absurd dalam mendefinisikan keadilan dan kebenaran.
Allah SWT mewajibkan kita untuk taat kepada ulil amri kita (Lihat,
an-Nisaa`: 59).
Banyak
sekali dalil dalam fiqh Islam yang mengafirmasi ketaatan kita kepada ulil
amri. Bahkan kewajiban ini tetap berlaku meskipun ulil amri
melakukan kedzaliman kepada kita. Mutlaknya ketaatan kepada pemerintah dan
absolutnya kekuasaan mereka terhadap rakyat bukan berarti sistem kenegaraan dan
pemerintahan kita bersifat despotik, dan tidak demokratis.
Dalam
perspektif Islam kedudukan dan perilaku setiap orang senantiasa ditimbang dan
terikat oleh syariat. Ketaatan terhadap ulil amri (pengusa) yang berlaku
dzalim bukan berarti menerima kedzalimannya. Sebelum itu, jika kita mengangkat
seseorang sementara ada orang selain dia yang Allah lebih ridho kepadanya, kita
dianggap telah mengkhianati Allah, Rasul dan Kaum Muslimin. Bahkan pada keadaan
tertentu kita wajib mengganti atau memerangi penguasa. Semuanya memiliki
timbangan yang jelas dalam kaidah-kaidah ilmu fiqh. Ketaatan kepada ulil
amri merupakan bentuk ibadah kita kepada Allah SWT. Sebab ketaatan adalah
bagian dari agama (al-diin) dan ibadah. Bahkan persoalan ketaatan ini
termasuk dalam perkara, yang oleh para Ulama masa kini (mu`ashir)
disebut dengan tawhid al-hakimiyyah (salahsatu cabang tawhid
uluhiyyah- ubudiyyah).
Negara
dan Agama
Hubungan
antara agama dan negara seringkali menimbulkan pro-kontra. Kalangan Islamis
tentunya akan selalu mendasarkan setiap persoalan -termasuk negara pada-
pijakan agama. Sementara kalangan Sekularis walau bagaimanapun tidak bisa
membuang agama dalam kehidupannya. Bahkan, betapa pun sempitnya ruang untuk
agama yang diberikan oleh kalangan Sekularis, undang-undang (wadl`iyyah)
tetap membutuhkan agama dan ketuhanan untuk mengambil kesaksian atau sumpah
jabatan kepala negaranya. Hal ini menunjukan bahwa manusia tidak bisa meninggalkan
ghorizah tadayun (hasrat glorifikasi) terhadap Tuhan dan agama.
Dalam
perspektif Islam, posisi agama terhadap keberadaan negara adalah mabda`
(dasar/ ideology) dan ma`ad (tujuan/ vision) secara sekaligus.
Negara diadakan karena keimanan kepada Allah SWT dan kepatuhan kita terhadap
Undang-undang-Nya. Demikian pula Negara diselenggarakan untuk mencapai
mendapatkan pahala (ajr-l hasanah) dan keridhoan Allah SWT. Istilah hadith
untuk keadaan ini biasa disebut ‘imanan wa-htisaban’. Sementara itu,
menurut ush-l fiqh negara diadakan sebagai wasilah (sarana) atas
dasar kaidah “maa layatimul wajib illa bihi fahuwal wajib”. Oleh karena
itu, pengadaan dan penyelenggaraan suatu Negara menuntut 2 hal: al-ikhlas
lil-Llahi ta`ala dan al-ittiba` lis-sunnatin-nabi.
Abu
Hamid Al-Ghazali dalam Al-Iqtishad fil I`tiqad menyimpulkan bahwa
lembaga agama (nidzam al-diin) tidak akan baik kecuali dengan lembaga
dunia/ negara (nidzam al-dunya). Bahkan beliau menjadikan nidzamu
al-dunya sebagai syarat (shartun) kepada nizdami al-diin.
Betapa erat dan terkaitnya hubungan diantara agama dan negara.
Madinah:
Tegaknya Agama
Ketika
sampai pada diskursus “negara dalam perspektif islam” kaum muslimn terbagi
menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah yang mewajibkan berdirinya Negara
Islam. Sedangkan kelompok kedua menganggap tidak ada kewajiban mendirikan
Negara Islam. Kedua kelompok tersebut merujuk pada Sirah Nabawiyah yang sama
dan mereka semua meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW telah melakukan hijrah dari
Mekkah ke Yastrib. Kemudian sejarah telah mencacat perubahan nama Yastrib
menjadi Madinah. Pada perspekif Sirah Nabawiyah inilah perdebatan muncul.
Perdebatan
yang sering muncul adalah masalah penerjemahan istilah Madinah secara
kontekstual dan politis. Kelompok pertama menyatakan bahwa apa yang disebut
sebagai Madinah adalah sebuah ‘negara modern’ dalam pengertian kekuasaan
konstitusional. Sementara kelompok kedua mengusung istilah ‘masyarakat madani’
dan mengasimilasikannya dengan konsep ‘civil society’. Tulisan ini tidak bermaksud
menjelaskan secara rinci perdebatan tersebut. Melanjutkan pembahasan diatas
tentang hubungan antara Negara dan Agama, cukuplah kita berpegang pada
kesepakatan istilah ‘Madinah’ (tanpa penambahan istilah negara atau masyarakat)
dan berupaya memahaminya.
Manusia
telah sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya telah melakukan
hijrah dari negeri tempat asal mereka. Mereka mencari sebuat tempat baru bukan
untuk mencari lapangan kerja atau mengundi nasib. Bukan pulsa hijrah mereka itu
karena takut atau diusir. Akan tetapi motivasi pertama dan utama mereka adalah iqamatud-diin
(menegakkan agama). Dalam sebuah hadith disebutkan: “Aku bermimpi
bahwasanya aku berhijrah dari Mekkah ke suatu tempat/ negeri yang banyak
ditumbuhi kurma, maka dugaanku tertuju kepada Yamamah atau Hajar, ternyata
negeri itu adalah Yastrib.” [R.Bukhari&Muslim]
Dalam
konteks hijrah, Yastrib adalah mahjar (tempat tujuan hijrah), sedangkan
tujuan hijrah mereka menuju mahjar adalah untuk iqamatud-diin. Oleh
karena itu menjadi tepatlah ketetapan Nabi Muhammad SAW untuk menamakan mahjar
mereka sebagai Al-Madinah. Lalu apa makna nama Madinah dan ketetapan
Nabi Muhammad SAW untuk mengganti nama Yastrib dengannya?
Jika
dikatakan bahwa Madinah bermakna kota, tentunya Mekkah pun adalah kota Nabi.
Jika dikatakan bahwa Madinah itu negara atau masyarakat, apakah Mekkah bukan?
Tentunya perkataan tersebut menjadi kurang tepat dan tidak bermanfaat karena
hanya menggunakan tinjauan sosiologis-geografis. Padahal penggunaan
nama/istilah Madinah bukanlah penamaan yang bersifat sosiologis atau geografis.
Nama tersebut ditetapkan oleh Nabi Muhammad berdasarkan wahyu iLaahi yang
artinya “ism al-makan”. Mengingat Dan tentu saja makna lengkap dari Madinah
adalah nama suatu tempat diterapkan dan disempurnakannya al-diin.
Kesimpulannya,
ketika agama (diin) diterapkan secara sempurna di suatu tempat atau
wilayah maka tempat tersebut adalah negaranya (madinah). Mafhum
mukhalafah-nya, negara adalah sebutan atau lambang dari kesempuraan
penerapannya suatu agama. Jika ini persoalan mabda` dan ma`ad, agama apakah
yang diterapkan oleh Madinah Indonesia? Waallahu a`lam!