Penulisan
Sejarah Islam, Sebuah Pembutaan Umat
Seorang
bajak laut ditangkap oleh Alexander Agung. Terjadilah dialog.
“Mengapa
engkau mengacau lautan?” tanya Alexander Agung.
“Mengapa
engkau mengacau seluruh dunia?” jawab si pembajak. “Hanya karena aku melakukannya
dengan sebuah perahu kecil, aku disebut maling. Kalian karena melakukannya
dengan armada kapal besar, disebut kaisar.”
Anda
tidak akan menjadi sejarawan hanya dengan mengisahkan peristiwa atau kehidupan
rakyat kecil. Sejarah adalah kisah yang berkesesuaian dengan niat si
penulisnya. Proses keilmuan dalam penelitian sejarah memang dipenuhi.
Sayangnya, pada tingkat tafsir dan penyajian senantiasa berpihak kepada
kekuasaan.
Awalnya
Diponegoro konflik dengan penguasa Mataram yang tidak menjalankan syariat
Islam. Raja meminta bantuan Belanda maka Perang Diponegoro menjadi perang
melawan kolonialis Belanda, lantas Diponegoro mendapat gelar Pahlawan Nasional.
Gelar itu membanggakan sekaligus mengecilkan arti perjuangan Diponegoro.
Diponegoro adalah pahlawan Islam dan pantas disebut mujahid. Sebutan mujahid
berasal dari Alquran, jauh lebih mulia daripada gelar pahlawan bikinan manusia.
Sesuatu yang bahkan diakui dan ditulis FVA Ridder de Stuers (1847) yang
menegaskan, Perang Diponegoro (1825-1830) adalah perjuangan menegakkan hukum
Islam bagi orang Jawa. Saya berharap sejarawan mengubah literatur perlawanan
Diponegoro menjadi perlawanan Islam dan menjadikannya sebagai bagian dari mata
pelajaran sejarah dalam dunia pendidikan kita.
Hal
serupa terjadi pula dengan apa yang disebut perang Palembang (1658-1851)
tatkala Kesultanan Palembang selama dua ratus tahun berjihad melawan Belanda.
Kesultanan Bone berperang selama 130 tahun melawan Belanda tidak dalam konteks
NKRI, melainkan dalam rangka penegakan syariat Islam. Bukti lain bisa
disebutkan Perang Padri (1821-1837), Perang Aceh (1873-1942), Perang Riau
(1782-1784). Tidak heran jika Dr. H. Ruslan Abdulgani, seorang nasionalis
memuji Islam sebagai satu-satunya ideologi yang mampu berfungsi sebagai
pemersatu sekaligus merupakan lambang bagi pemisahan dan tantangan yang paling
nyata terhadap penjajah asing.
Dekonstruksi
sejarah
Sahabat
Reza D. Dienaputra dengan bagus memperkenalkan ilmu sejarah yang dalam
prosesnya menggunakan dua konstruk. Pertama, sejarah dalam arti objektif
sebagai peristiwa. Kedua, dalam arti subjektif sebagai suatu kisah. Konstruk
sejarah itu ditulis panjang seakan-akan tulisan saya sebelumnya menyerang
metodologi keilmuan sejarah. Padahal, yang saya kemukakan lebih kepada
substansi faktual ihwal produk sejarah di sektor hilir yang sarat rekayasa.
Sebenarnya, saya ingin mengatakan itu sebagai efek domino dari politik sejarah
yang semula direkonstruksi berdasarkan metodologi keilmuan, tetapi kemudian
dipelintir menjadi sebuah dekonstruksi yang tidak membuat bangsa ini melek
sejarah.
Adhian
Husaini, Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia mengatakan, sejak zaman VOC,
sebenarnya Belanda mengakui hukum Islam di nusantara. Dengan adanya Regerings
Reglemen (1855), Belanda mempertegas perlakuannya terhadap hukum Islam di
Indonesia. Pengakuan ini diperkuat lagi oleh Lodewijk Willem Christian yang
mengemukakan teori “Receptio in Complexu” yang intinya menyatakan “untuk orang
Islam berlaku hukum Islam”. Sampai akhir abad IX, teori ini masih berlaku.
Snouck Hurgronye mengubah teori ini dengan teori “Receptie” yang menyatakan
hukum Islam baru diberlakukan untuk orang Indonesia, bila diterima oleh hukum
adat. Pakar hukum adat dan hukum Islam UI, Prof. Hazairin menyebut teori
“Receptie” Snouck Hurgronye ini sebagai teori Iblis.
Inilah
awal dekonstruksi sejarah Islam nusantara yang menyakitkan. Setelah hampir 64
tahun kita merdeka, pelajaran sejarah sepertinya melanjutkan tradisi Snouck
Hurgronye. Kita tidak pernah sungguh-sungguh mempersoalkan kebenaran sejarah tentang
alasan Bung Hatta yang meminta pencabutan tujuh kata dalam mukadimah UUD 45.
Siapa perwira Jepang yang diutus Laksamana Maeda untuk menyampaikan ancaman
Indonesia bagian timur akan memisahkan diri dari NKRI dan apa kepentingan
Jepang tentang diberlakukan dan tidak diberlakukannya syariat Islam dalam
konstitusi kita?
Mengapa
Pertamina sampai hari ini tidak pernah transparan melaporkan neraca
keuangannya? Mengapa Bank Indonesia tidak mencetak uang sendiri atas nama
Republik Indonesia? Benarkah ini semua merupakan kelanjutan dari “hadiah
kemerdekaan” yang sebenarnya hanya kelanjutan dari penjajahan dengan cara lain?
Pertanyaan saya, apa yang menjadi alasan hukum dan sejarah untuk membenarkan
proklamasi kemerdekaan yang diucapkan dua orang mengatasnamakan seluruh bangsa
Indonesia?
Jawaban
dari sejarawan dan pakar hukum tata negara sangat penting untuk membikin melek
rakyat Indonesia seperti yang dikehendaki sahabat saya, Reza D. Dienaputra.
Pertanyaan itu tetap relevan walaupun kita tidak bisa memutar balik jarum
sejarah. Meskipun demikian, kemerdekaan ini tetap merupakan anugerah Allah yang
patut disyukuri.
Berawal
dari politik
Tidak
ada yang bebas nilai dalam segala hal. Reza benar bahwa bukan hanya ilmu
sejarah yang mengalami dekonstruksi akibat intervensi kekuasaan. Doktrin
Clinton tentang Tata Dunia Baru mengajarkan ide globalisasi, ekonomi pasar, dan
perdagangan bebas yang diklaim paling aktual dan paling relevan di abad ke-21.
Semua pemerintahan negara dunia termasuk negara-negara Muslim serempak menerima
globalisasi sebagai keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Sebagai ideologi,
globalisme justru menganggap Islam sebagai penghalang. Di sinilah letak
permasalahannya, tatkala Islam kemudian berhadapan dengan pemerintahannya
sendiri.
Sekali
lagi, saya ingin membenarkan sahabat Reza bahwa orisinalitas ilmu pengetahuan
bisa diragukan karena campur tangan penguasa. Tengok saja hukum dan
perundang-undangan, bahkan doktrin militer pun sebenarnya lebih berpihak kepada
kaum pemodal. Namun, sebenarnya kapitalisme telah gagal dan dipercaya sebagai
biang dari kehancuran dunia. Dalam beberapa periode ke depan kita akan
menyaksikan runtuhnya kapitalisme global. Tidak heran Jusuf Kalla dalam World
Islam Economic Forum, Jakarta (1/3) mengatakan, ekonomi syariah lebih unggul
daripada ekonomi pasar yang kita anut sekarang ini. Sayangnya, kesadaran itu
muncul setelah kebijakan privatisasi (1991 s.d. hari ini) telah merampas begitu
banyak kekayaan nasional dan menjadikannya milik asing.
Islam
akan menjadi alternatif. Perubahan ke arah sana memang harus dimulai dari
politik. Definisi perubahan apa pun yang ditawarkan oleh kandidat pemimpin
nasional tidak akan berarti apa pun tanpa menyertakan Islam. Saatnya para
sejarawan memperkuat inspirasi perubahan ini melalui pelurusan sejarah. Sebagai
penutup, saya berharap semua bisa terjawab dan jangan sampai “saya tanya,
sejarawan jawab dan saya bingung” layaknya komedi tawa sutera. Wallahualam. ***