Gender
April 10, 2012
“Tidak adil” dan “tertindas” adalah dua bekal gerakan
feminism dan kesetaraan gender. Wanita diseluruh dunia ini dianggap tertindas
dan diperlakukan secara tidak adil. Wajah peradaban umat manusia memang
diwarnai oleh dua kata tersebut. Tapi masing-masing peradaban memiliki solusi
masing-masing.
Islam
lahir disaat peradaban jahiliyah tidak dan salah menghargai wanita. Anak wanita
yang tidak dikehendaki harus dikubur hidup-hidup. Tapi wanita saat itu juga
berhak menikah dengan 90 orang suami. Keperkasaan Hindun, otak pembunuhan
Hamzah, sahabat Nabi, adalah bukti keperkasaan wanita.
Itulah
sebabnya tidak ada alasan bagi Islam untuk menyamakan hak laki dan wanita
secara mutlak 50-50. Misi Islam tidak hanya membela wanita tertindas tapi juga
mendudukkan wanita pada tempatnya. Meletakkan sesuatu pada tempatnya, dalam
Islam, disifati sebagai adil. Islam justru meneguhkan hubungan laki dan wanita
dengan merujuk pada watak dasar biologis dan implikasi sosialnya.
Barat
lahir disaat wanita ditindas dan diperlakukan secara tidak adil. Sebutan
feminis, konon memiliki akar kata fe-minus. Fe artinya iman, minus artinya
kurang. Feminus artinya kurang iman. Terlepas dari sebutan itu, yang pasti
nasib wanita di Barat sungguh buruk. Mayoritas korban inquisisi adalah wanita.
Wanita dianggap setengah manusia. Contoh kasus penindasan tidak sulit untuk
ditelusur lebih lanjut.
Dari
negara-negara Barat solusi tidak lahir dari ajaran agama. Solusinya datang dari
tuntutan masyarakat wanita, berbentuk gerakan feminisme. Mulanya hanya ingin
memberantas penindasan dan ketidak adilan terhadap perempuan. Tapi, tidak puas
dengan itu, para feminis di London tahun 1977 merubah strategi. Mungkin
mengikuti teori Michael Foucault, feminism bisa menghemoni dunia dengan menjual
wacana gender (gender discourse). Persis seperti Amerika memberantas
teroris. Biaya meliberalkan pikiran umat Islam lebih murah dibanding biaya
menangkap teroris.
Nalarnya
cemerlang, penindasan dipicu oleh pembedaan dan pembedaan disebabkan oleh
konstruk sosial, bukan faktor biologis. Jadi, target wacana gender adalah
merubah konstruk sosial yang membeda-bedakan dua makhluk yang berbeda itu.
Konon,
gender juga membela laki-laki yang tertindas, tapi ketika wacana ini masuk PBB
tahun 1975 konsepnya berjudul Women in Development (WID). Sidang-sidang
di Kopenhagen (1980), Nairobi (1985), dan Beijing (1995) malah meningkat
menjadi Convention for Eliminating Discrimination Against Women (CEDAW),
bukan CEDAM. Namun, ketika dijual ke pasar internasional programnya diperhalus
menjadi Gender and Development. Dan ketika menjadi matrik pembangunan menjadi Gender
Development Index (GDI). Suatu Negara tidak bisa disebut maju jika peran
serta wanita rendah. Untuk mengukur peran politik dan social lain wanita
dibuatlah neraca Gender Empowerment Measure.
Indonesia,
tak ketinggalan segera ikut arus. Pemerintah lalu membuat Inpres
No.9/2000 tentang pengarus utamaan Gender dalam pembangunan. Kini bahkan sudah
akan menjadi undang-undang. Padahal enam Peraturan Pemerintah, empat Peraturan
dan satu Instruksi Menteri serta satu kebijakan Kementerian tidak berjalan.
Tidak semua wanita menginginkan kesetaraan.
Memang
preseden historis gerakan ini memang hanya di Barat. Gerakan seperti ini tidak
pernah ada dalam sejarah Islam. Tapi, wacana ini tiba-tiba menjadi universal
dan menjelma menjadi gerakan internasional dan wajib diikuti oleh umat
Islam. Bahkan ketika wacana kesetaraan gender ini disorotkan kepada
agama-agama semua agama seperti diam. Semua agama bias gender. Nyatanya
memang dalam Islam tidak ada Nabi wanita, dalam Katholik tidak pernah ada Paus
wanita. Juga sami dalam Hindu, Bhiksu dalam Buddha adalah laki-laki.
Ketika
Negara-negara di dunia diukur prosentase kesetaraan gendernya, tidak ada satu
negarapun yang dapat mencapainya secara sempurna. Jika pun tercapai tidak
menjadi indikasi bahwa Negara itu maju. Keterlibatan wanita di negara Cuba
dibanding Jepang terbukti lebih tinggi, tapi tidak terbukti Jepang lebih
mundur. Bahkan Indonesia lebih besar dari Jepang atau sama, tapi tidak ada
pengaruh pada kemajuan.
Di
Indonesia wanita-wanita di kampung dianggap tertindas karena mereka mengerjakan
kerja laki-laki. Tapi di Pakistan, khususnya di kawasan utara, wanita tidak
boleh bekerja dan hanya tinggal dirumah. Ini pun dianggap tertindas.
Masyarakat
Islam secara konseptual maupun historis tidak menjunjung konsep kesetaraan
50-50. Dihadapan Tuhan memang sama, tapi Tuhan tidak menyamakan cara bagaimana
kedua makhluk berlainan jenis kelamin ini menempuh surgaNya. Meski tidak
berarti peran wanita dalam Islam dikalahkan oleh laki-laki, Islam mengatur
peranaan sosial wanita dari aspek yang paling mendasar yiatu biologis. Sebab
dalam konsep Islam aspek biologis terkait erat dengan aspek psikologis dan
bahkan saling mempengaruhi.
Bahkan,
seperti dikutip Ratna Megawangi, Time edisi 8 Maret 1999 memuat artikel
berjudul The Real Truth About Women Bodies. Ide pokoknya wanita secara
alamiyah, biologis dan genetik memang berbeda. Tidak mudah merubah factor ini
dalam kehidupan social wanita. Maka dari itu perjuangan meraih kesetaraan
gender bukan hanya tidak mungkin tapi juga tidak realistis.
Jika
demikian adanya, kita berhak bertanya. Apakah gerakan pengarus utamaan gender
benar-benar untuk membela kepentingan wanita sesuai aspirasi dan kodratnya?
Ataukah hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan tren kultural dan ideologis
dunia yang kini dibawah hegemoni Barat? Pendek kata apakah wanita benar-benar
memerlukan kesetaraan?
Bagi
Muslim apa yanag salah pada gerakan ini? Salahnya ketika merubah konstruk
sosial, agama tidak diperdulikan. Tafsir-tafsir para pemikir liberal bersifat
sepihak, tendensius dan melawan arus para mufassir yang otoritatif dalam
tradisi ulama Islam. Jika para anggota DPR meluluskan undang-undang ini tanpa
mempertimbangkan dampak keagamaan maka Undang-undang itu dijamin sedang menabur
angin dan segera menuai badai. Wallahu a’lam.
Ditulis
oleh: Hamid Fahmi Zarkasy