”Fa-aina
Tadzhabun” PKS?
April 12, 2012
Demokrasi dianggap sebagai sistem yang terbaik dibandingkan
dengan berbagai sistem pemerintahan lain. Bahkan ada fatwa ulama besar yang
merestui kelompok Islam masuk ke dalam sistem tersebut. Meski dengan
embel-embel “darurat” masuknya Islam dalam sistem demokrasi seakan-akan
membenarkan sistem itu di atas sistem Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah
saw.
Konsep musyawarah lantas dijadikan
rujukan bahwa ajaran demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Padahal ada
tokoh ulama yang menolak demokrasi, seperti Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al
Maqdisiy, Muhammad Abu Nashr yang mensinyalir paling tidak ada 13 hal
kesyirikan demokrasi.
Salah satu ciri kemusyrikan
demokrasi adalah seakan-akan rakyat atau suara mayoritas mereka yang diwakili
di parlemen memiliki hak untuk menentukan hukum dan perundang-undangan di luar
aturan hidup dan hukum Allah yang ditetapkan dalam Al Quran dan As Sunnah.
Sangat penting untuk dikatakan bahwa
keterlibatan Islam dalam partai politik harus tetap memperjuangkan tegaknya
syariat. Itulah sebabnya banyak orang menaruh harapan besar tatkala kelompok
tarbiyah (Ikhwanul Muslimin Indonesia) membentuk partai politik yang bernama Partai
Keadilan.
Harapan itu tidak mengada-ada karena
obrolan pertama penulis dengan Nur Mahmudi, Presiden PK yang pertama, tampak
sekali keinginan untuk menegakkan syariat Islam. Tema-tema kampanye PK-pun
mengangkat isu tathbiqussyariah dan keadilan dalam segala aspek
kehidupan. Disertai dengan komitmen yang kuat dari para pendukungnya kita
saksikan PK tampil di Pemilu 1999 dengan raihan suara yang cukup banyak
walaupun tidak mencapai electoral threshold.
Pada Pemilu 2004, PK yang berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meraih 45 kursi di parlemen. Ini merupakan lonjakan yang sangat dahsyat karena pada Pemilu 1999 PK hanya mendapat tujuh kursi. Kemenangan PKS membangkitkan harapan bahwa gema tentang tegaknya syariat Islam melalui produk perundang-undangan akan semakin menggaung.
tatkala terjadi perebutan posisi
ketua MPR, DPR, komisi-komisi dan lain-lain, PKS memperoleh posisi terhormat
dengan terpilihnya Hidayat Nur Wahid sebagai ketua MPR. Beberapa menit setelah
pelantikan, tiba-tiba harapan dan cita-cita yang sudah lama terobsesi tentang
tegaknya syariat Islam menjadi buyar tatkala Hidayat Nur Wahid secara eksplisit
mengatakan tidak ada niat untuk menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara.
Tentu saja, penulis melakukan
klarifikasi. Beberapa teman yang memiliki posisi penting di PKS pusat maupun
daerah mengatakan bahwa apa yang dikatakan Hidayat Nur Wahid tidak bertentangan
dengan misi partai. PKS tetap bercita-cita menegakkan syariat Islam dengan
catatan partai ini harus meraih suara.
Bagi PKS kemenangan pada pemilu
dengan raihan suara terbanyak adalah persyaratan utama karena dalam sistem
demokrasi sebuah kemenangan akan ditentukan oleh jumlah suara. Oleh karena itu
pernyataan Hidayat wajar dan taktis karena bukankah PKS belum memperoleh kursi
mayoritas di parlemen. Suatu hal yang prematur jika Hidayat mengeluarkan
pernyataan tentang penegakan syariat Islam di saat partai ini tidak menjadi
mayoritas. Namun beberapa kelompok Islam ideologis menilai PKS telah keluar
dari janji dan tema-tema kampanyenya.
Logika yang dibangun PKS tampaknya
sangat rasional. Demokrasi tanpa raihan suara terbanyak hanyalah sebuah kerja
bakti. Dia tidak menentukan dan hanya menjadi kelompok pengekor dari sistem
kekuasaan yang dibangun oleh partai mayoritas. Maka PKS harus menang pemilu
terlebih dahulu, baru menjalankan cita-cita yang terkandung dalam AD/ART-nya.
Inilah hal yang berbeda untuk tidak dikatakan bertentangan dengan kelompok
Islam yang memilih berjuang di luar sistem. Tetapi logika demokrasi tampaknya
akan tetap menjadi pilihan sebuah partai politik tidak terkecuali PKS.
Pertanyaannya adalah apakah benar
PKS akan memenangkan pemilu 2009? Apakah dengan demikian PKS akan menjadi
kekuatan Islam dominan penentu tegaknya syariat Islam? Apakah PKS akan berhasil
meraih suara dari kalangan nasionalis yang saat ini berada dalam tubuh Golkar
dan PDIP? Bukankah jika ingin menjadi pemenang pemilu haruslah menarik para
pemilih yang selama ini berada di kelompok mayoritas? Dan apakah PKS akan
menjadi partai mayoritas tunggal? Bukankah hanya partai mayoritas tunggal yang
bisa menentukan arah negeri ini mau dibawa seperti halnya Golkar di era Orba?
Dalam
pandangan penulis cita-cita PKS seperti itu hanyalah ilusi. Beberapa gejala
menunjukkan bahwa PKS tidak pada posisi yang akan memenangkan Pemilu 2009
bahkan pemilu-pemilu selanjutnya, karena dalam beberapa segi PKS tidak
menunjukkan karakter yang istimewa dibanding dengan partai-partai lainnya.
Meskipun kader PKS relatif lebih
bersih, itu tidak cukup untuk menjadikan PKS sebagai leading party. PKS
sadar benar bahwa kekuasaan uang menjadi faktor yang menentukan kemenangan
dalam demokrasi sekuler. PKS juga tahu bahwa uang itu menumpuk di birokrasi
pemerintahan, maka sebagaimana partai-partai lainnya PKS-pun terlibat secara
intens dalam perebutan kekuasaan di pusat maupun di daerah. PKS melakukan
tawar-menawar politik dengan penguasa dan seperti partai lainnya berupaya
merebut jabatan gubernur, bupati dan walikota dalam setiap pilkada di seluruh
Indonesia.
Pragmatisme PKS sangat tampak pada
proses Pilpres. Konon beberapa kader PKS pada tingkat sekjen dan Dewan Syuro
tanpa rasa sungkan dan risih menemui salah seorang calon presiden, dalam hal
ini perlu tabayyun apakah mereka sengaja mendatangi atau diundang. Meski
perlu pembuktian tetapi beberapa sumber menyebutkan telah terjadi kesepakatan
dukung mendukung dengan calon presiden tersebut, dan kesepakatan itu berarti
sebuah transaksi yang bermuara di angka. Tentu kelihatannya hal itu seperti
sesuatu yang wajar, tetapi untuk sebuah partai yang berbasiskan Islam transaksi
semacam itu -dalam pandangan penulis- tidaklah pantas untuk dilakukan. Fakta
selanjutnya menunjukkan bahwa walaupun konon pula PKS telah menerima dana namun
dukungannya ternyata dialihkan kepada calon presiden yang lain. Dengan cara ini
PKS telah melakukan tindakan wanprestasi politik kepada seseorang karena di
satu sisi dia memperoleh sejumlah dana, tapi di sisi lain tidak ingin
kehilangan citranya untuk tetap mendukung calon presiden dari kalangan Islam.
Pada pilpres putaran kedua PKS tidak
melakukan langkah netral, kendati calon yang didukungnya kalah dalam pemilu.
Tidak seperti halnya PPP dan PAN yang membebaskan pilihan kepada konstituennya,
PKS melakukan kontrak politik dengan pasangan SBY-JK. Atas dukungannya itulah
maka PKS memperoleh posisi di kabinet dengan tiga menteri, antara lain menteri
pertanian, menteri Pemuda dan Olah raga dan menteri Perumahan Rakyat. Gejala
ini menunjukkan bahwa PKS sebenarnya tidak berbeda dengan partai-partai lainnya.
Di dalam proses pilkada, PKS
melakukan gerakan all out untuk memperoleh kekuasaan di daerah.
Tekanannya kepada SBY untuk memenangkan Nurmahmudi di tingkat MA sangat tampak.
Meski tuntutan tersebut memperoleh dukungan masyarakat, tetapi erangan elite PKS
sangat berlebihan di media masa. Ambisi seorang bekas menteri untuk tetap
berkuasa kendatipun di tingkat kota, tampak sekali dalam perjuangan PKS yang
sekarang ini tengah memperjuangkan calon-calonnya untuk memenangkan pilkada di
berbagai daerah. Yang mengherankan adalah sebagaimana halnya partai-partai
lain, pragmatisme politik dipertontonkan oleh PKS secara telanjang. PKS
bersedia berkoalisi dengan partai manapun meskipun secara ideologis sangat
tidak kimiawi. Hal ini ditunjukkan tatkala PKS mendukung calon bupati Cianjur
dan bersedia berkoalisi dengan partai Demokrat. Yang mengherankan, sebagai
partai Islam PKS tidak mendukung konsep Gerbang Marhamah yang dipandang sebagai
upaya penegakan syariat Islam di kabupaten tersebut.
Fakta sejarah juga menampakkan bahwa
apa yang diangan-angankan oleh PKS untuk memperjuangkan Islam lewat demokrasi
dan parlemen adalah sebuah absurditas belaka. Demokrasi yang dibelakangnya
bersembunyi ideologi neoliberal sebenarnya tidak akan pernah mengizinkan Islam
untuk memenangkan pemilu di negeri mana pun. Pada Pemilu 1955 di Indonesia
sebuah penyusupan ke dalam tubuh Masyumi telah membuat NU keluar dan Islam
kalah oleh PNI. Di Aljazair, partai Islam FIS memenangkan pemilu dengan raihan
suara 83%, tetapi dianulir oleh dan dikalahkan pada pemilu berikutnya atas
pesanan Amerika. Partai Islam Rafah pimpinan Necmetin Erbakan di Turki yang
memenangi pemilu, bahkan diintervensi langsung oleh CIA untuk dibatalkan dan
kemudian dibubarkan. Tidak ada sejarahnya Islam menang de1ngan mengikuti proses
demokrasi.
Koalisi, aliansi, kolaborasi atau
apa pun namanya bentuk dari penggabungan Islam dengan non-Islam hasil akhirnya
adalah kemenangan bagi pihak non-Islam.
Tengok saja sejarah gentleman agreement di tubuh PPKI yang telah
mensyahkan tujuh kata dalam Mukadimah UUD 45 bisa hapus begitu saja tatkala
kelompok minoritas dari Indonesia Bagian Timur melakukan penolakan. Semua
produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh sebuah parlemen yang mayoritas
beragama Islam pun bisa dipastikan tidak akan berwarna Islam karena alasan
toleransi dan heterogenitas. Maka gejala PKS yang bersedia berkolaborasi dengan
partai mana pun tanpa didasari ideologi Islam menunjukkan bahwa PKS telah
menyimpang dari cita-cita awalnya. Maka pertanyaan sesuai dengan judul tulisan
ini perlu diulang …. Mau ke mana PKS? Wallahu a’lam.