Boedi
Oetomo Tangannya Freemason
Mei 7, 2012
Setiap 20 Mei pemerintah memperingati Hari Kebangkitan
Nasional (Harkitnas). Peringatan ini mengacu pada organisasi Boedi Oetomo (BO)
yang didirikan pada 20 Mei 1908. Anehnya, kedekatan BO dengan organisasi
Freemason tak pernah diungkap sejarah. Ada apa?
Oleh
Artawijaya*
Het
Jong Javaasche Verbond Boedi Oetomo
atau Ikatan Pemuda Jawa Boedi Oetomo didirikan di Gedung STOVIA (School tot
Opleiding voor Inlandsche Artsen), Batavia, pada 20 Mei 1908.
Tahun
berdirinya BO sama dengan tahun munculnya Gerakan Turki Muda (Young Turk
Moment). Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) yang dipimpin oleh
Mustafa Kemal At-Taturk juga mengadakan revolusi kebangkitan nasional.
Gerakan
ini berhasil menumbangkan kekhilafahan Islam, dan mengganti hukum Islam menjadi
hukum sekular. Aktivis Turki Muda banyak didominasi oleh para sekularis.
Bahkan, At-Taturk sendiri adalah anggota jaringan Freemason yang sangat anti
dengan syariat Islam.
Mengenai
Gerakan Revolusi Turki Muda, pendiri Boedi Oetomo yang juga anggota Theosofi,
dr Soetomo mengatakan,”perkembangan yang terjadi di Turki adalah petunjuk jelas
bahwa “cita-cita Pan-Islamisme” telah digantikan oleh nasionalisme.”Soetomo
adalah tokoh Boedi Oetomo yang banyak melontarkan pelecehan terhadap Islam dan
mengagumi gerakan kebangsaan yang terjadi di Turki.
Nama
Boedi Oetomo diambil dari bahasa sansakerta, ”Bodhi” atau ”Buddhi” yang berarti
keterbukaan jiwa, pikiran, kesadaran, akal, dan daya untuk membentuk dan
menjunjung konsepsi ide-ide umum. Sedangkan Oetomo berasal dari kata ”Uttama”
yang berarti tingkat kebajikan utama.
Jadi,
BO bisa disebut sebagai organisasi yang mengedepankan keterbukaan akal sebagai
tingkat kebajikan utama. Mereka menyebut ”budi” sebagai puncak kegiatan moral
manusia dan mengendalikan akal dan watak seseorang.
Boedi
Oetomo adalah organisasi yang kental dengan nilai-nilai kebatinan.Para
aktivisnya mengaku ingin menyatukan antara kultur dan tradisi Jawa dengan
pendidikan Barat. BO ingin memadukan antara modernisasi Barat dan mistis Timur.
Ki
Wiropoestoko, anggota BO Surakarta mengatakan, “Berdirinya Boedi Oetomo
semata-mata merupakan hasil elit Jawa yang telah memperoleh pendidikan barat.”
Sementara sejarawan Robert van Niels, penulis bukunya Munculnya Elit Modern
Indonesia menyebut BO sebagai organisasi yang mengikuti garis-garis barat.
Ia juga menyebut BO dan Jong Java sebagai organisasi yang bersifat Theosofis
dan agnostik.
Penggagas
organisasi BO, dr Wahidin Soediro Hoesoedo adalah anggota Theosofi,sebuah
perkumpulan kebatinan yang berlandaskan pada tradisi Kabbalah Yahudi yang
didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky.
Selain
Theosofi, para ketua dan aktivis BO juga masuk sebagai anggota Freemason.
Anehnya, tentang kedekatan organisasi ini dengan kelompok Theosofi dan
Freemason tak pernah diungkap dalam buku-buku sejarah di sekolah.
Penulis
buku Api Sejarah, sejarawan Ahmad Mansur Suryangera menyebut BO sebagai
organisasi yang lebih mencerminkan gerakan kejawen yang anti Islam, ketimbang
organisasi yang mengusung nasionalisme.
Sejarawan
yang banyak mengoreksi penyimpangan-penyimpangan sejarah di Indonesia ini juga
menyebut BO sebagai organisasi yang bersifat kedaerahan. Tapi sayang, dalam Api
Sejarah Mansur Suryanegara tak mengungkap hubungan antara BO dengan
organisasi Freemason di Hindia Belanda. Padahal, dokumen-dokumen sejarah yang
mengungkap soal ini begitu banyak.
Dr.
Th Stevens penulis buku Vrijmetselarij en Samenlaving in Nederlands Indie en
Indonesie 1764-1962 (Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda
dan Indonesia 1764-1962) menyebutkan bahwa Freemasonry memperoleh aktualitas
yang besar dengan munculnya gerakan nasionalis modern di Jawa.
Kata
pengantar buku ini menyebutkan dengan jelas, bahwa Freemason menjalin hubungan
dengan satu organisasi politik Indonesia pertama ”Budi Utomo” (Lihat, hal.XVIII
dan hal.331)
Raden
Adipati Surjo sebagai anggota Freemason, berharap pemimpin muda dari gerakan
nasional, seperti Boedi Oetomo dapat dicapai dengan asas-asas Masonik
(doktrin-doktrin Freemason, pen). Tak heran, jika Freemason yang mempunyai
hubungan erat dan BO, memiliki peran yang cukup signifikan dalam gerak
nasionalisme di negeri ini.
Mereka
menginginkan nasionalisme yang muncul adalah nasionalisme yang berlandaskan
humanisme, suatu paham yang menjadi doktrin tertinggi Freemason.Paham humanisme
menempatkan manusia sebagai makhluk ”superior” yang berhak dan bebas menentukan
kehendak, termasuk membuat aturan hukum sendiri.
Freemason
atau dalam bahasa Belanda disebut Vrijmetselarij, pada masa lalu dikenal
oleh masyarakat Jawa dengan sebutan ”Golongan Kemasonan”. Para Yahudi Belanda
yang aktif dalam organisasi ini begitu gencar mempropagandakan doktrin-doktrin
Freemason terhadap elit-elit di Jawa, khususnya kalangan kraton.
Buku
Gedenkboek van de Vrijmetselaren in Nederlandsche Oost Indie 1767-1917
(Buku Kenang-Kenangan Freemasonry di Hindia Belanda 1767-1917) yang diterbitkan
oleh tiga loge besar; Loge de Ster in het Oosten (Batavia), Loge La
Constante et Fidale (Semarang), dan Loge de Vriendschap (Surabaya)
memuat tulisan yang mengajak masyarakat Jawa memahami hakekat organisasi
Freemason atau Kemasonan.
Bahkan,
pemimpin tertinggi Freemason di Hindia Belanda pada 1914-1917, Andre de La
Porte, membuat sebuah artikel berjudul ”De Javaasche Beweging in het Teeken
van de Vrijmetselarij” (Kebangkitan Jawa dalam Gerak Freemason).
Kedekatan
BO dengan Freemason terlihat pada masa-masa awal BO didirikan. Kongres pertama
BO yang berlangsung pada 3-4 Oktober 1908 di Jogjakarta awalnya ingin
dilaksanakan di Loge milik Freemason.
Namun,
karena loge tersebut telah lebih dulu dipakai untuk acara pameran lukisan,
kongres BO yang rencananya diadakan di loge tersebut urung dilaksanakan. ”Adapoen
roemah jang patut akan tempat kongres itu sebetoelnya logegebouw (bangunan loge
Freemasonry, pen) orang Banjak di Djokja menamakan dia “roemah setan”, akan
tetapi sajang pada waktu itoe roemah soedah diizinkan kepada seorang toean,
akan diadakan tentoonstelling (pameran) gambar-gambar…” demikian seperti
dikutip dari buku Pitut Soeharto dan Drs A Zainoel Ihsan, ”Cahaya Di
Kegelapan: Capita Selecta Kedua Boedi Oetomo dan Sarekat Islam.”
Kedekatan
BO dengan organisasi Freemason dan Theosofi juga bisa dilihat setahun setelah
berdirinya organisasi tersebut. Buku Soembangsih Gedenkboek Boedi Oetomo
1908-1918 yang diterbitkan di Amsterdam, Belanda, untuk mengenang 10 tahun
berdirinya BO, memuat laporan bahwa pada 16 Januari 1909, di Loge de Ster in
het Oosten (Loji Bintang Timur), Batavia, ratusan anggota BO berkumpul
untuk mendengarkan pidato umum dari Dirk van Hinloopen Labberton, orang Belanda
yang disebut oleh aktivis BO sebagai ”Bapak Kebatinan” yang kemudian menjadi
Ketua Nederlandsche Indische Theosofische Vereeniging (Theosofi Cabang
Hindia Belanda).
Dalam
pidato berjudul ”Theosofische in Verband met Boedi Oetomo” (Theosofi
dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo), Labberton bicara tentang masalah agama,
tujuan Theosofi, dan hubungannya dengan hari depan bangsa Jawa.
Labberton
mampu membuat para anggota BO untuk tertarik masuk sebagai anggota organisasi
kebatinan Yahudi tersebut. Labberton pada waktu itu adalah anggota Komisi
Bacaan Rakyat (Volks Bibliotheek) yang mempengaruhi berdirnya BO.
Labberton menyebut berdirinya BO sebagai ”kesadaran moral”.
Mengapa
acara ceramah umum (openbare) tersebut diadakan di loge Freemason?
Karena antara Freemason dan Theosofi tak jauh beda. Pada masa lalu, anggota
Freemason juga aktif di Theosofi, begitupun sebaliknya. Yang cukup mengejutkan,
seolah sudah ada yang merencanakan, lokasi tempat diadakannya ceramah umum
Labberton yang dulu bernama Vrijmetselarijweg (Jalan Freemasonry), saat
ini berganti nama menjadi Jalan Budi Utomo.
Selain
Labberton, tokoh lain yang dekat dengan Boedi Oetomo adalah Godard Arend
Hazeau, Penasihat Urusan Pribumi Pemerintah Hindia Belanda. Hazeau datang ke
Indonesia dengan bekerja sebagai guru Willem III Grammar School dan asisten
Snouck Hurgronye. Hal yang menjadi perhatian Hazeau adalah pendidikan yang
netral atau bahkan bercorak Kristen untuk para murid Islam.
Selain
itu, Hazeau juga banyak memberikan masukan terhadap pemerintah kolonial terkait
bagaimana pemerintah bersikap terhadap organisasi pergerakan nasional yang
bercorak Islam, seperti Sarekat Islam, dan organisasi Islam lainnya yang
dipandang fanatik dan ekstrem. Sikap berbeda ditunjukkan Hazeau terhadap Boedi
Oetomo, yang banyak mendapat perhatian lebih, karena kesamaannya dalam
memandang pergerakan Islam.
Bukti
lain mengenai kedekatan BO dengan Freemason bisa dilihat dari kiprah Paku Alam
V, yang merupakan anggota Freemason, yang banyak membantu terselenggaranya
kongres Boedi Oetomo di Surakarta. Kongres yang pernah diadakan di loge milik
Freemason banyak dihadiri oleh para aktivis kebangsaan yang juga anggota
Freemason.
Sejarawan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdurachman Surjomihadrjo, dalam
Kata Pengantar buku ”Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo
1908-1918”, karya peneliti Jepang, Akira Nagazumi, mengatakan, “Paku Alam
memberikan pengaruh pada terselenggaranya kongres-kongres Boedi Oetomo,
khususnya mereka yang ada hubungannya dengan gerakan Mason (Freemasonry).”
Penjelasan
serupa juga ditulis Abdurrachman Surjomihardjo dalam buku ”Budi Utomo Cabang
Betawi” yang menyebut Paku Alam VII mengizinkan Loge Mataram dijadikan
tempat kongres BO kedua.
Fakta
sejarah lainnya mengenai kedekatan BO dengan Freemason dan Theosofi adalah
pertemuan akbar yang dilakukan dalam rangka memperingati 10 tahun berdirinya
Boedi Oetomo pada 20 Mei 1918. Acara peringatan tersebut diadakan di Belanda,
di sebuah loge milik Theosofi.
Mereka
yang berkumpul dalam perayaan tersebut selain para aktivis Freemason Belanda,
juga dihadiri oleh tokoh-tokoh nasionalis-Jawa seperti Ki Hadjar Dewantara dan
Goenawan Mangoenkoesoemo. Surat Kabar Oedaya pada 1923 memuat foto para aktifis
BO dan Theosofi dengan tulisan ”Masyarakat Indonesia Memperingati 10 Tahun
Boedi Oetomo di rumah (loge, red) Theosofi, Mei 1918 di Negeri Belanda.”
Kedekatan
BO dengan Freemason juga bisa dilihat dalam paper berjudul The Freemason in
Boedi Oetomo yang ditulis oleh C.G van Wering pada 1979. ven Wering menulis
tentang elit power atau intelektual dari kalangan priayai Jawa, yang kebanyakan
aktifis BO, sekaligus anggota Freemason. Tulisan van Wering ini dikutip dalam
buku buku biografi Dr Radjiman Wediodiningrat berjudul ”DR. K.R.T Radjiman
Wediodiningrat Perjalanan Seorang Putra Bangsa 1879-1952.”
Para
Ketua BO Adalah Anggota Freemason
Ketua
BO yang sangat kental dengan pemikiran Freemason dan Theosofi adalah Radjiman
Wediodiningrat. Radjiman menjadi ketua BO pada periode 1914-1915. Ia masuk
menjadi anggota Freemason pada 1913, selain juga aktif dalam perkumpulan
Theosofi.
Radjiman
adalah orang pribumi yang mendapat kehormatan dari Freemason Hindia Belanda
dengan dimuatnya artikel karyanya berjudul ”Een Broderketen Volks (Persaudaraan
Rakyat)” dalam buku ”Kenang-Kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917”.
Tentu,
jika bukan bagian dari orang-orang penting dalam jaringan Freemasonry, tulisan
Radjiman tak mungkin dimasukkan dalam buku yang menjadi bukti sejarah
keberadaan para Mason di Hindia Belanda ini.
Radjiman
adalah seorang Mason yang menjadi salah satu the founding fathers negeri
ini, tokoh yang pernah memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dalam
catatan sejarah, persidangan yang dipimpin Radjiman ini tercatat sebagai awal
dari lahirnya dasar negara Indonesia, Pancasila, setelah sebelumnya
masing-masing kelompok berdebat dan mengajukan usulan soal asas negara.
Tokoh-tokoh Islam seperti M Natsir mengajukan Islam sebagai dasar negara,
sedangkan tokoh-tokoh nasionalis-sekular mengajukan ideologi Pancasila.
Para
ketua BO lainnya juga adalah anggota Freemasonry, seperti R.A. Tirtokoesoemo,
ketua BO pertama (1908-1911) yang juga pernah menjadi bupati Karang Anyar,
Pangeran Ario Notodirodjo (Ketua BO kedua tahun 1911-1914), dan R.M.A
Soerjosoeparto alias Mangkunegara VII (Ketua BO keempat tahun 1915-1916). RM
Tirtokoesoemo dan Pengeran Ario Notodirodjo adalah anggota Freemasonry Loge
Mataram Yogyakarta.Ketua BO selanjutnya, meski tak menjadi anggota Freemason,
tetapi menjadi anggota Theosofi, seperti M Ng Dwijo Sewojo (1916), dan R.M.A
Woerjaningrat (1916-1921).
Dalam
perjalanan sejarahnya kemudian, BO makin terlihat tidak berpihak kepada umat
Islam. Karena itu, masa-masa yang genting dari organisasi ini adalah ketika
berhadapan dengan umat Islam yang merasa keberadaan dengan sikap BO yang selalu
meminggirkan aspirasi umat Islam.Karena itu, di beberapa daerah yang menjadi
basis umat Islam seperti Batavia, Boedi Oetomo sulit untuk mendapatkan
pengaruh.
Upaya
untuk mengajak BO agar berpihak pada umat Islam bukan tak pernah
dilakukan.Mohammad Tohir, seorang anggota organisasi ini bahkan pernah mengusulkan
kepada BO untuk membantu masjid-masjid agar bisa meraih simpati umat Islam.
Namun, usulan ini ditolak dan organisasi ini tetap pada pendiriannya yang
“netral agama”. Usaha untuk menarik simpati umat Islam ini ditentang oleh
Radjiman Wediodiningrat.
Tokoh
BO lainnya, Tjipto Mangoenkoesoemo, juga begitu sinis dalam memandang
Pan-Islamisme. Pada tahun 1928, Tjipto berkirim surat kepada Soekarno yang
isinya mengingatkan kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang
menjadi agenda tersembunyi H.Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto. Tjipto khawatir,
para aktifis Islam yang disebut akan mengusung Pan-Islamisme itu bisa menguasai
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jika mereka berhasil masuk ke
dalam PPKI, Tjipto mengatakan, cita-cita gerakan kebangsaan akan hancur.
Menggugat
Sejarah
Sejarah
memang ditentukan oleh mereka yang berkuasa. Jika pada masa lalu, kelompok
nasionalis-sekular yang berada dalam pengaruh Freemason dan Theosofi, didukung
oleh elit-elit kolonial, berhasil menentukan siapa aktor dan tokoh dalam
panggung sejarah di negeri ini, maka sudah saatnya ketika umat Islam memiliki
akses ke jantung kekuasaan, mempunyai ikhtiar untuk meluruskan sejarah yang
penuh selubung dan distorsi ini. Fakta sejarah harus diungkap dengan tinta emas
berlapis kejujuran, bukan dengan tinta hitam yang sarat kepentingan.
Jika
BO didirikan pada 1908, maka jauh sebelum itu, pada 1905 sudah berdiri Sarekat
Dagang Islam (SDI) di Surakarta yang didirikan oleh Haji Samanhoedi. SDI jelas
mempunyai arah perjuangan memajukan ekonomi pribumi dan melawan hegemoni asing.
SDI bercorak Islam dan nasionalis, tidak tersekat-sekat dalam kedaerahan yang
sempit. SDI yang kemudian pada 10 September 1912 menjadi Sarekat Islam (SI),
meletakkan dasar perjuangannya atas tiga prinsip dasar, yaitu: Pertama,
asas agama Islam sebagai dasar perjuangan. Kedua, asas kerakyatan
sebagai dasar himpunan organisasi. Ketiga, asas sosial ekonomi sebagai
usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang umumnya berada dalam taraf
kemiskinan dan kemelaratan.
Mengenai
alasan menjadikan Islam sebagai asas gerakan, baik H. Samanhoedi ataupun para
tokoh Sarekat Islam lainnya, beralasan agar ruh Islam menyatu dalam setiap
langkah pergerakan. Selain itu, hal ini juga untuk menunjukan sikap kepada
Belanda, yang berupaya menjauhkan Islam dari politik. (Lihat: M.A. Gani, Cita
Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam, hal. 15)
SDI
yang kemudian menjadi SI lebih jelas mengedepankan kepentingan
Islam-nasional-pribumi dan tidak dibentuk oleh kepentingan kolonial. Bahkan, SI
jelas-jelas menolak segala pelecehan terhadap Islam yang ketika itu marak
dilakukan oleh kelompok Boedi Oetomo. Karena itu, menjadikan BO sebagai
organisasi yang melandasi kebangkitan nasional adalah sebuah distorsi sejarah,
bahkan bisa disebut sebagai “de-islamisasi” fakta sejarah.
Usaha
untuk menjadikan sejarah berdirinya SDI sebagai Harkitnas pernah diusulkan oleh
umat Islam. Pada Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan tahun 1956, umat
Islam mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan tanggal berdirinya SDI
sebagai Harkitnas berdasarkan karakter dan arah perjuangan SDI. Sayang, usulan
itu sampai saat ini belum jadi kenyataan.
Kritik
terhadap dijadikannya BO sebagai landasan kebangkitan nasional tak hanya datang
dari umat Islam. Peneliti Robert van Niels juga mengatakan, “Tanggal
berdirinya Budi utomo sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau
Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu
kelompok saja. Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu
terjadi…Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat.Bagi
dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukan wajah barat.” (Robert van
Niels, Munculnya Elit Modern Indonesia, hal. 82-83).
Tulisan
ini adalah ikhtiar untuk mengungkap sejarah dengan fakta-fakta yang terang dan
apa adanya. Fakta-fakta sejarah ini, mungkin pada masa lalu tertutup selubung
kekuasaan yang mempunyai kepentingan untuk memutus mata rantai peran umat Islam
dalam pentas nasional di negeri ini.
Upaya
memarginalkan peran umat Islam dalam kiprah pergerakan nasional berujung pada
“de-islamisasi fakta sejarah”. Ironisnya, sampai hari ini umat Islam masih
memahami sejarah dalam kaca mata buram penguasa!
*Penulis
buku “Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara” dan “Gerakan
Theosofi di Indonesia”, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.