Bharatayudha
versi Bung Karno versus Kartosoewirjo
April 15, 2012
Sesungguhnyalah, republik ini berdiri atas sokongan berbagai
aliran ideologi. Sesungguhnyalah, aktivis-aktivis beraliran kiri, kanan,
tengah, bahkan liberal sekalipun, ikut andil dalam perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan. Hingga puncak proklamasi 17 Agustus 1945, mereka
bersatu padu.
Bulir
masalah baru menampakkan diri setelah proklamasi. Aliran liberal menghendaki
Indonesia menjadi negara Uni Belanda dan menerapkan sistem demokrasi ala Barat.
Para pejuang kiri, berusaha menjadikan komunisme menjadi ideologi negara.
Sementara aktivis kanan, menghendaki lahirnya negara Islam.
Bung
Karno? Proklamator dengan endapan banyak ideologi, mulai dari marxis, das
capital, komunis, bahkan kajian Alquran dan hadits, Injil, Weda dan
berbagai kitab lain… Bapak Bangsa yang jatuh hati terhadap kultur dan budaya
Nusantara dari Aceh hingga Papua, sama sekali tidak menghendaki Indonesia
liberal, Indonesia negara Islam, Indonesia menjadi negara komunis, atau
bentuk-bentuk negara lain.
Pancasila
adalah ideologi yang ia tawarkan. Pancasila adalah ideologi yang tumbuh dari
bumi pertiwi. Pancasila adalah hasil endapan pergulatan batin, intelektual dan
budaya luhur bangsa ini. Terlebih, manakala ia tawarkan Pancasila pada pidato 1
Juni 1945, tidak satu pun tokoh bangsa ini yang menolak.
Jika
kemudian Sukarno melangkah dengan panji Pancasila, itu karena ia meyakini,
Pancasila saja yang paling pas dan cocok buat bangsanya. Ia pun mengayuh biduk
Indonesia Raya ke samudera ganas. Ia dihantam ombak komunis, ia diterjang ombak
kapitalis-imperialis, ia digoncang ekstrim kanan.
Beruntun
percobaan pembunuhan terhadap dirinya, adalah suatu konsekuensi dari sikap yang
kuat, demi tegaknya panji-panji NKRI di bawah ideologi Pancasila. Bahkan untuk
prinsipnya, ia harus berseberangan dengan dua sahabat, Muso (kiri) dan
Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo (kanan). Keduanya memberontak, keduanya
ingin menumbangkan Sukarno dan pemerintahan proklamasi.
Aktivis
pro Barat yang beraliran internasionalisme, pernah mencoba-coba membuat
proklamasi tandingan di Cirebon. PKI pernah memberontak dan membentuk
pemerintahan komunis poros Soviet di Madiun tahun 1948. Tak terkecuali,
Kartosoewirjo pun memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya
pada tanggal 7 Agustus 1949.
Harus
diakui, “kawan yang menjadi lawan” paling tangguh bagi Sukarno adalah
Kartosoewirjo. Dengan semangat dan jiwa militan, ia bahkan bisa melebarkan
gerakan dan pengaruhnya hingga ke sebagian Pulau Jawa, Aceh, dan Sulawesi
Selatan. Bersamaan dengan itu, Kartosoewirjo dengan DI-TII-nya memilih
hutan-hutan di pegunungan Jawa Barat sebagai basis perjuangan melawan
pemerintahan Sukarno.
Delapan
alinea di atas, kiranya cukup buat mengantar ke inti masalah, ke saat-saat
dimana prajurit TNI berhasil mendesak DI/TII, dan membuat Kartosoewirjo tak
berdaya saat “dijemput” di Gunung Geber, Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Sisa
pasukan carut-marut tanpa imam besar yang sudah tertangkap.
Ada
satu yang menarik. Sandi operasi penumpasan gerakan DI/TII oleh pasukan TNI
adalah “Bharatayudha”. Sebuah sandi yang sarat makna. Dalam epik Mahabharata,
perang Bharatayudha adalah perang antaradua kelompok bersaudara: Pandawa dan
Kurawa. Mereka sama-sama keturunan Bharata. Satu kelompok adalah putra Pandu
Dewanata, sang pewaris tahta Kerajaan Astina. Kelompok ini dinamakan Pandawa.
Kelompok yang lain adalah para putra Destarata, adik Pandu Dewanata.
Akan
halnya Bung Karno dan Kartosoewirjo. Keduanya adalah satu tumpah darah, darah
Ibu Pertiwi bernama Indonesia. Jika Pandawa dan Kurawa sama-sama berguru kepada
Begawan Drona, maka Bung Karno dan Kartosoewirjo pun sama-sama pernah berguru
kepada HOS Cokroaminoto di Surabaya.
Konflik
bathin dan pesan moral yang tinggi menyelimuti peperangan akbar itu. Bagaimana
ketika seorang putra harus tega menghabisi nyawa pamannya. Bagaimana ketika
seorang adik harus tega menghabisi nyawa kakaknya. Wejangan-wejangan Bathara
Kresna kepada Arjuna agar menegakkan dharma kesatria, bahkan diabadikan dalam
Kitab Bhagawad Gita.
Tak
terkecuali ketika Bung Karno harus membunuh sahabat karibnya sendiri, saudara
seperguruan, teman seperjuangan, Kartosoewirjo. Sebab, pengadilan memang memutuskan
hukuman mati baginya. Bung Karno selaku Presiden harus menandatangani berkas
vonis mati bagi kawannya.
Di
sinilah batinnya berperang. Sejak ditangkap hingga tiga bulan kemudian, Bung
Karno selalu menyingkirkan berkas kertas vonis mati atas diri Kartosoewirjo.
Keesokan hari, manakala di antara berkas yang harus ditandatangani bertumpuk di
atas meja kerja, dan ia dapati kembali berkas vonis mati bagi Kartosoewirjo, ia
pun menyingkirkannya. Begitu berulang-ulang, hingga klimaksnya Bung Karno
begitu frustrasi dan ia lempar berkas vonis tadi ke udara dan bercecer di
lantai ruang kerjanya.
Adalah
Megawati sang putri, yang secara khusus dipanggil pulang dari Bandung. Kepada
sang ayah, Megawati bertutur laksana Kresna kepada Arjuna. Ia menggambarkan
luhurnya hakikat pertemanan sejati. Mega pula yang menyadarkan sang ayah, agar
menepati dharmanya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan serta tidak
mencampur-adukkan antara hakikat persahabatan dengan tugas dan fungsinya
sebagai kepala negara.
September
1962, terpekur lama Bung Karno di meja kerjanya. Ia melambungkan memori masa
muda di Surabaya, saat berasyik-ceria menebar canda bersama Kartosoewirjo. Ia
mengingat hari-hari pergerakan menentang penjajahan Belanda maupun Jepang
bersama-sama. Ia terngiang diskusi-diskusi politik, agama, kebangsaan dan apa
saja yang begitu hangat.
Hari
itu, ia harus menggoreskan tanda tangan di atas berkas vonis. Coretan tanda
tangannya, sama arti dengan akhir dari kehidupan Kartosoewirjo. Ia pandangi
kembali selembar foto Kartosoewirjo. Ia tatap berlama-lama, sambil berlinangan
air mata. Dan benar adanya, ketika ia menerima laporan ihwal tertangkapnya
Kartosoewirjo beberapa bulan sebelumnya, satu pertanyaan Bung Karno adalah,
“Bagaimana matanya?”
Ketika
tidak ada satu pun yang bisa menjawab, maka keesokan harinya, petugas
menyodorkan foto Kartosoewirjo. Demi melihat foto sahabat yang memusuhinya,
Bung Karno tersenyum dan berkata, “Sorot matanya masih tetap. Sorot matanya
masih sama. Sorot matanya masih menyinarkan sorot mata seorang pejuang.”
Tegar
hatinya untuk menandatangani berkas vonis mati bagi rekannya. Ikatan batin
keduanya, kedalaman spiritual keduanya, bahkan abadi hingga hari ini. (roso
daras)