Kritik
Tajam Terhadap Demokrasi
April 13, 2012
Ketika demokrasi yang kafir menyerang negeri kita dan
disambut gembira oleh para intelektual yang rusak pemikirannya lagi tak
bermoral, dan ketika demokrasi begitu dipuji oleh orang-orang yang sesat dan
takluk di hadapan peradaban Barat, justru Anda akan melihat bahwa para ahli
politik Eropa telah melancarkan kritik yang tajam terhadap demokrasi,
sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya oleh Plato. Di bawah ini sebagian
kritikan dari mereka.
Michael Stewart dalam bukunya
Sistem-Sistem Pemerintahan Modern hal 459 mengatakan :
”Kaum komunis bersikeras bahwa hukum demokrasi yang tegak di atas dasar kebebasan berkreasi, berpendapat, bertingkah laku dan berkepribadian, hanyalah sebuah prinsip yang kotor dan rusak. Mereka berargumentasi bahwa demokrasi kapitalisme telah mentolelir pengrusakan masyarakat –khususnya para pemudanya– melalui film-film dan bioskop-bioskop serta penyebaran kemungkaran serta kekejian.”
”Kaum komunis bersikeras bahwa hukum demokrasi yang tegak di atas dasar kebebasan berkreasi, berpendapat, bertingkah laku dan berkepribadian, hanyalah sebuah prinsip yang kotor dan rusak. Mereka berargumentasi bahwa demokrasi kapitalisme telah mentolelir pengrusakan masyarakat –khususnya para pemudanya– melalui film-film dan bioskop-bioskop serta penyebaran kemungkaran serta kekejian.”
Benjamin Constan berkata :
”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”
”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”
Barchmi berkata :
“Prinsip kedaulatan di tangan rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa kedaulatan rakyat dianggap selalu mewujudkan kebenaran dan keadilan. Paham ini mengklaim bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat sumbernya. Atas dasar ini maka setiap aspirasi yang muncul dari kehendak rakyat, dianggap telah memenuhi parameter kebenaran dan keadilan. Aspirasi rakyat itu juga dianggap tak perlu diragukan dan diperdebatkan lagi dari segi ini (memenuhi kebenaran dan keadilan-penerj.), bukan karena argumentasinya kuat, melainkan karena ia muncul dari kehendak rakyat. Jadi prinsip kedaulatan rakyat ini memberikan sifat maksum (mustahil keliru/dosa) kepada rakyat. Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat akan membawa rakyat (atau para wakilnya) berpeluang melahirkan kekuasaan absolut, yaitu kesewenang-wenangan (kediktatoran). Karena apabila kehendak rakyat dianggap kehendak yang legal hanya karena muncul dari rakyat, maka dengan demikian dari segi legislasi undang-undang, rakyat akan dapat berbuat apa saja. Jadi rakyat pada dasarnya tidak perlu lagi mendatangkan justifikasi-justifikasi terhadap apa yang diinginkannya.”
“Prinsip kedaulatan di tangan rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa kedaulatan rakyat dianggap selalu mewujudkan kebenaran dan keadilan. Paham ini mengklaim bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat sumbernya. Atas dasar ini maka setiap aspirasi yang muncul dari kehendak rakyat, dianggap telah memenuhi parameter kebenaran dan keadilan. Aspirasi rakyat itu juga dianggap tak perlu diragukan dan diperdebatkan lagi dari segi ini (memenuhi kebenaran dan keadilan-penerj.), bukan karena argumentasinya kuat, melainkan karena ia muncul dari kehendak rakyat. Jadi prinsip kedaulatan rakyat ini memberikan sifat maksum (mustahil keliru/dosa) kepada rakyat. Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat akan membawa rakyat (atau para wakilnya) berpeluang melahirkan kekuasaan absolut, yaitu kesewenang-wenangan (kediktatoran). Karena apabila kehendak rakyat dianggap kehendak yang legal hanya karena muncul dari rakyat, maka dengan demikian dari segi legislasi undang-undang, rakyat akan dapat berbuat apa saja. Jadi rakyat pada dasarnya tidak perlu lagi mendatangkan justifikasi-justifikasi terhadap apa yang diinginkannya.”
Dougey berkata :
”Sesungguhnya teori kedaulatan rakyat, meskipun ia adalah teori buatan, ia telah menjadi teori yang layak didukung andaikata ia dapat menafsirkan hakikat-hakikat dan fakta-fakta politik pada masa modern, dan andaikata hasil-hasilnya praktisnya cukup baik. Akan tetapi kenyataannya ternyata bertolak belakang dengan apa yang kita ramalkan.”
”Sesungguhnya teori kedaulatan rakyat, meskipun ia adalah teori buatan, ia telah menjadi teori yang layak didukung andaikata ia dapat menafsirkan hakikat-hakikat dan fakta-fakta politik pada masa modern, dan andaikata hasil-hasilnya praktisnya cukup baik. Akan tetapi kenyataannya ternyata bertolak belakang dengan apa yang kita ramalkan.”
Orientalis
Polandia bernama Boogena Giyanah Stchijfska mengatakan :
“Hukum-hukum positif buatan manusia yang lahir dari konsensus-konsensus demokratis tidaklah bersifat tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan atau melarang sesuatu secara mutlak, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan tanggung jawab pribadi. Semua itu didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu selalu berganti dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh dalam sejarah hukum-hukum positif buatan manusia, bahwa hukum yang terakhir akan bertentangan dengan hukum yang pertama dalam rincian-rinciannya. Demikian pula yang dibenci dapat berubah menjadi disukai, yang dilarang dapat berubah menjadi boleh, dan yang ganjil dapat berubah menjadi wajar.”
“Hukum-hukum positif buatan manusia yang lahir dari konsensus-konsensus demokratis tidaklah bersifat tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan atau melarang sesuatu secara mutlak, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan tanggung jawab pribadi. Semua itu didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu selalu berganti dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh dalam sejarah hukum-hukum positif buatan manusia, bahwa hukum yang terakhir akan bertentangan dengan hukum yang pertama dalam rincian-rinciannya. Demikian pula yang dibenci dapat berubah menjadi disukai, yang dilarang dapat berubah menjadi boleh, dan yang ganjil dapat berubah menjadi wajar.”
Ulama-ulama Islam yang mengkritik
demokrasi yang kafir antara lain adalah Dr. Fathi Ad Darini, salah
seorang ulama besar dalam fiqih siyasah. Dalam kitabnya Khasha`ish At Tasyri’
Al Islami fi As Siyasah wa Al Hukm halaman 370 Dr. Fathi Ad Darini berkata :
”Sesungguhnya sistem-sistem
demokrasi Barat, dalam substansinya hanyalah merupakan ungkapan dari politik
tersebut (sekularisme—penerj.) dan sudah diketahui bahwa demokrasi –pada
asalnya— bersifat individualistis dan etnosentris.
Bahwa demokrasi bersifat
individualistis, dikarenakan tujuan tertinggi demokrasi adalah individu dan
pengutamaan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Sudah banyak
koreksi-koreksi yang diberikan pada prinsip ini pada abad XX M.
Bahwa demokrasi bersifat
etnosentris, dikarenakan demokrasi itu sendirilah yang telah melakukan
penjajahan politik dan ekonomi dalam berbagai bentuknya sejak abad XV M sampai
abad XX M. Dahulu Inggris misalnya mempunyai departemen yang bernama Departemen
Wilayah Jajahan dan mempunyai pula menteri yang mengelola urusan-urusan
penjajahan, yaitu Menteri Wilayah Jajahan. Hal ini masih ada hingga beberapa
waktu yang lalu.
Demikianlah. Politik ini didasarkan
pada prinsip-prinsip yang ringkasnya adalah sebagai berikut :
1. Memisahkan politik dari morak dan agama, dan menegakkan politik di atas dasar prinsip-prinsip khusus.
1. Memisahkan politik dari morak dan agama, dan menegakkan politik di atas dasar prinsip-prinsip khusus.
2. Etnosentrisme,
yaitu paham bahwa manusia Eropa adalah manusia yang terunggul.
3. Menjadikan
sistem perwakilan sebagai cara dalam mengatur pemerintahan.
4. Menerapkan
prinsip “kebebasan umum/masyarakat” dalam pengertiannya yang individualistis,
tradisional, dan absolut.
5. Kebebasan
ekonomi, sebagai cabang dari kecenderungan prinsip individualisme yang ekstrem.
6. Sesungguhnya
demokrasi politik adalah sistem yang membiarkan, bukan sistem yang meluruskan.
Artinya demokrasi mendekati mayoritas rakyat dengan membiarkan mereka dalam
keadaan apa adanya dan memperlakukan mereka mengikuti asas ini atas nama
kebebasan.”
Syaikh Abul A’la Al Maududi dalam
kitabnya Al Islam wa Al Madaniyah Al Haditsah halaman 36 mengatakan :
“Telah saya katakan sebelumnya bahwa pengertian demokrasi dalam peradaban moderen adalah memberikan wewenang membuat hukum kepada mayoritas rakyat (hakimiyah al jamahir). Artinya, individu-individu suatu negeri dapat secara bebas mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat dan bahwa undang-undang negeri ini mengikuti hawa nafsu mereka. Demikian juga tujuan dari pembentukan pemerintahan –dengan bantuan struktur organisasinya dan potensi-potensi materilnya— bukanlah untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat, berkebalikan dengan apa yang seharusnya diwujudkan…
“Telah saya katakan sebelumnya bahwa pengertian demokrasi dalam peradaban moderen adalah memberikan wewenang membuat hukum kepada mayoritas rakyat (hakimiyah al jamahir). Artinya, individu-individu suatu negeri dapat secara bebas mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat dan bahwa undang-undang negeri ini mengikuti hawa nafsu mereka. Demikian juga tujuan dari pembentukan pemerintahan –dengan bantuan struktur organisasinya dan potensi-potensi materilnya— bukanlah untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat, berkebalikan dengan apa yang seharusnya diwujudkan…
Maka dari itu, kita menentang sistem
sekuler yang nasionalistis-demokratis baik yang ditegakkan oleh orang-orang
Barat maupun Timur, muslim ataupun non muslim. Setiap kali bencana ini turun
dan di mana pun dia ada, maka kita akan mencoba untuk menyadarkan hamba-hamba
Allah akan bahayanya yang besar dan akan mengajak mereka untuk memeranginya.”
Muhammad Yusuf Musa dalam kitabnya
Nizham Al Hukm fi Al Islam halaman 245 berkata :
“Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem demokrasi, baik dalam pengertiannya menurut kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang moderen.”
Muhammad Asad dalam kitabnya Minhaj Al Islam fi Al Hukm halaman 52 mengatakan :
“Adalah merupakan penyesatan yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam pada pemikiran dan peraturan/sistem Islam.”
“Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem demokrasi, baik dalam pengertiannya menurut kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang moderen.”
Muhammad Asad dalam kitabnya Minhaj Al Islam fi Al Hukm halaman 52 mengatakan :
“Adalah merupakan penyesatan yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam pada pemikiran dan peraturan/sistem Islam.”
Utsman Khalil, meskipun telah
menulis kitab yang diberinya judul Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah (Demokrasi
Islami), namun sebenarnya dia sendiri menentang demokrasi. Utsman Khalil
berkata dalam kitab Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah halaman 8 :
“Sesungguhnya sistem-sistem demokrasi modern yang diimpor dari Barat, di negara-negara Barat sendiri dianggap sebagai hal baru yang diada-adakan pada abad ke-20 ini.”
“Sesungguhnya sistem-sistem demokrasi modern yang diimpor dari Barat, di negara-negara Barat sendiri dianggap sebagai hal baru yang diada-adakan pada abad ke-20 ini.”
Jadi demokrasi adalah bid’ah dalam
hal pemikiran dan politik yang diimpor dari Barat.
Di antara sedikit pemikir yang
membongkar perbedaan-perbedaan substansial antara demokrasi dan sistem politik Islam
adalah Anwar Al Jundi. Karena pentingnya, kami kutipkan secara panjang lebar
pendapatnya dalam kitabnya Sumum Al Istisyraq wa Al Mustasyriqun fi Al Ulum Al
Islamiyah halaman 96. Anwar Al Jundi mengatakan :
“Pemikiran
politik Islam berbeda dengan pemikiran demokrasi Barat dalam beberapa segi :
1. Pemikiran
politik Islam lebih menekankan kesatuan aqidah daripada kesatuan wilayah.
2. Pemikiran
politik Islam menekankan pandangan yang menghimpun secara sempurna aspek yang
material dan yang spiritual.
3. Pemikiran
politik Islam bersandar pada landasan akhlaq (moral). Jadi terdapat standar
moral bagi setiap aktivitas politik.
4. Jika kedaulatan
dalam sistem demokrasi Barat terletak di tangan rakyat secara total, maka umat
Islam dalam pemikiran politik Islaminya mengaitkan kedaulatannya dengan
hukum-hukum Syariat Islam yang jauh dari hawa nafsu manusia.
5. Pemikiran
politik Islam tidak dapat dinamakan sebagai pemikiran demokratis, atau
pemikiran sosialistis-diktatoris. Sebab ia bertolak belakang dengan semua
pemikiran itu. Jadi pemikiran politik Islam sangat jauh dari sikap ekstrem,
memaksa, atau mendominasi.
6. Kedaulatan
dalam sistem politik Islam bukanlah di tangan umat –seperti sistem demokrasi–
juga bukan di tangan kepala negara –seperti sistem kediktatoran–, melainkan ada
dalam penerapan Syariat Islam. Dengan demikian sistem politik Islam sangat jauh
berbeda dengan sistem apa pun yang telah menyimpang itu.
7. Pemikiran
politik Islam menetapkan bahwa masyarakat itu penting demi untuk kelestarian
kehidupan individu, dan bahwa masyarakat tidak mungkin berjalan dengan lurus
kecuali dengan adanya kekuasaan yang bertanggung untuk mewujudkan kemajuan dan
kestabilan.
8. Negara dalam
pemikiran politik Islam berdiri di atas dasar Undang-Undang Islami (Syariah)
dan bahwa segala perundang-undang yang digunakan untuk mengatur masyarakat
tidak akan dapat berlaku efektif kecuali bila mempunyai sifat sebagai penerapan
dari As Sunnah An Nabawiyah dan ijtihad-ijtihad Ahlul Halli wal Aqdi. Negara
harus mengawasi perilaku individu sebab negara bertanggung jawab untuk
mewujudkan kebahagiaan pihak lain serta kebahagiaan dan kesatuan umat
seluruhnya. Negara juga bertanggung jawab menjaga ajaran-ajaran dan
tujuan-tujuan Islami.
9. Islam tidak
mengakui adanya penguasa yang absolut. Sebaliknya yang diakui adalah penguasa
yang dapat dipercaya (amanah) sesuai pedoman :
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk
(manusia) dalam maksiat kepada Al Khalik.”
Penguasa harus melepaskan diri dari
hawa nafsu, berpegang teguh dengan kebenaran dan keadilan. Umat mempunyai
kebebasan untuk memilih penguasa dan mengoreksinya jika penguasa menyimpang
dari kebenaran atau berbuat salah.
10. Pemikiran
politik Islam menetapkan adanya kebebasan berpikir dan kebebasan beragama. Maka
setiap orang –tentu harus tetap sesuai Syariat Islam— berhak untuk
meyakini pemikiran apa saja yang dikehendaki dan tak ada seorang pun yang dapat
memaksanya untuk meninggalkan pemikirannya itu.
11. Sistem
konstitusi Islam diambil dari sumber Al Qur`anul Karim dan As Sunnah An
Nabawiyah dengan tiga asas, yaitu keadilan, musyawarah, dan rahmah (kasih
sayang). Dalam hubungannya dengan undang-undang internasional, Al Qur`an Al
Karim dipandang sebagai hukum pertama yang menyerukan persamaan di antara umat
manusia.
12. Sesungguhnya
keluwesan Syariat Islam dan kemungkiannya untuk berkembang, harus tetap
berpegang pada dasar-dasar syariat (ushul syar’iyah), tujuan-tujuan syariah
(maqashid asy syariah), dan prinsip-prinsip umum syariah (kulliyatu asy
syariah). Jadi jelas ada perbedaan antara yang konstruktif dan yang destruktif,
antara perkembangan dengan penyesuaian (dengan hawa nafsu). Tidak diragukan
lagi bahwa ada bagian dari hukum-hukum Syariat Islam yang tidak menerima
perkembangan dan bahwa hukum yang telah ditetapkan dalam nash tidak boleh
ditinggalkan atau diganti penerapannya sampai kapan pun. Jadi
pemeliharaan terhadap kemaslahatan bukanlah perkara yang tidak mempunyai
batasan, melainkan harus tetap berpatokan dengan dasar-dasar syariat (ushul syar’iyah).
Secara umum dapat dikatakan bahwa jika dalam suatu hukum terdapat nash, maka
nash itu wajib diikuti. Jika hukum itu berupa perkara yang diqiyaskan (pada
suatu hukum), maka kita terikat dengan qiyas itu. Tetapi jika tidak terdapat
nash, kita mempertimbangkan kemaslahatan yang ditunjukkan syara’ (mashalih asy
syar’i) dengan tetap berpegang pada prinsip memelihara lima tujuan syariat yang
dharuri (penting, harus) (dharurat al khams), menolak kesulitan (daf’ul haraj),
dan mewujudkan manfaat (tahqiq al manafi’).
13. Sistem politik
Islam berbeda dengan dengan dua sistem politik lainnya, yaitu kapitalisme dan
sosialisme. Sebab sistem kapitalisme membatasi tujuannya pada pemeliharaan
kebebasan individu dan hak-hak pribadi, sedang sistem sosialisme membatasi tujuannya
pada pencegahan perjuangan kelas dan ekspolitasi kelas.
14. Pemikiran
politik Islam tidak memberikan hak/otoritas dalam kekuasaan kepada penguasa,
tetapi sebaliknya kekuasaan dianggap sebagai hak umat semata melalui syura yang
Islami oleh Ahlul Halli wal Aqdi. Islam tidak melarang perempuan untuk turut
berpendapat dalam masalah-masalah umum (publik). Namun Islam mengharamkan budak
untuk berperan serta dalam menyampaikan pendapat dan bermusyawarah.
15. Pemikiran
politik Islam menolak istilah-istilah demokrasi, sosialisme, nasionalisme, dan
tidak mengkaitkannya dengan Islam. Islam memandang pemikiran-pemikiran itu
sebagai aliran-aliran pemikiran (mazhab) yang asing yang sangat jelas
perbedaannya dengan pemikiran Islam yang komprehensif. Ketika Barat menggunakan
istilah-istilah itu, yang hadir dalam benak mereka adalah peristiwa-peristiwa
sejarah Barat, situasi dan kondisi yang terjadi di Barat, dan
tantangan-tantangan yang dihadapi Barat.
16. Perbedaan
sifat-sifat khas antara negara Islam dan negara moderen akan mengungkapkan
adanya sistem unik yang khas bagi negara Islam, yang tidak terdapat dalam
sistem mana pun dari sistem-sistem pemerintahan moderen. Pilar utama negara
Islam adalah pengkaitan agama dengan negara
17. Perjanjian
(kontrak) politik Islam adalah kesepakatan politik antara penguasa dengan
rakyat. Perjanjian politik dalam Islam didasarkan pada pemikiran-pemikiran
dasar yang merdeka, yang tidak kalah pentingnya dengan pemikiran-pemikiran
politik moderen, yaitu yang terpenting adalah kemerdekaan untuk memilih
(dari pihak rakyat), dan kesepakatan dari pihak penguasa (atau khalifah) untuk
memegang kekuasaan sebagai wakil dari umat. Dari sini diketahui bahwa teori
perjanjian politik Islam sebenarnya mendahului teori-teori J.J.Rousseau dan
John Locke.