Kezaliman
Dalam Penulisan Sejarah Islam
April 12, 2012
Oleh Y. Herman Ibrahim
Saya
harus minta maaf kepada ilmuwan sejarah untuk mengatakan bahwa sejarah adalah
ilmu yang paling tidak ilmiah. Argumen saya adalah bahwa sesuatu dikatakan
ilmiah pertama-tama harus objektif. Kedua, proses dan hasilnya harus terukur
secara kuantitatif ataupun kualitatif. Ketiga, kebenarannya dapat dibuktikan
secara empiris atau paling tidak secara laboratoris. Sejarah menjadi tidak
objektif karena sejarah ditulis oleh penguasa dan disebarluaskan lewat
kekuasaannya itu. Ukuran kebenarannya paling-paling hanya pada “waktu
terjadinya peristiwa” bukan pada substansi. Juga ada kesulitan dalam menguji kebenaran
sejarah secara empiris maupun laboratoris karena metodologinya sarat
kepentingan kekuasaan.
Dalam
penulisan sejarah nasional yang paling dirugikan dan dizalimi adalah Islam.
Nyaris semua produk sejarah Indonesia yang diajarkan kepada anak sekolah sejak
SD sampai perguruan tinggi adalah sejarah yang anti dan menegasikan Islam. Para
pemuda kita dibutakan atas sejarah masa lalu dari kebesaran Islam. Para ilmuwan
sejarah pun bisu atau membisukan diri atas penulisan sejarah yang tidak
berpihak kepada kebenaran. Determinasi kekuasaan sejak zaman penjajahan Belanda
sampai pemerintahan sendiri sangat kuat, tetapi mereka paranoid terhadap Islam.
Tengok
kisah kebohongan sejarah ihwal pertemuan Kartosoewiryo dengan Westerling di
Gedung Pakuan Bandung. Kisah ini sangat keji karena sumber sejarahnya adalah
pengadilan sandiwara atas kasus Schmidt dan Jungschlaeger. Hal ini ditulis
ulang oleh Her Suganda di Pikiran Rakyat (5/2). Tentu saja Her Suganda
mengambil dari sumber resmi yang dalam hal ini dibuat penguasa pada saat itu.
Haris bin Suhaemi yang dijadikan saksi dan dikutip kesaksiannya dalam tulisan
itu digambarkan sebagai orang yang dekat dengan Imam Negara Islam Indonesia
(NII), S.M. Kartosoewiryo as syahid. Padahal, nama Haris bin Suhaemi tidak
dikenal di kalangan pimpinan tinggi maupun menengah NII.
Di
pengadilan dia membual pernah menyaksikan pertemuan antara S.M. Kartosoewiryo
dan wali negara Pasundan R.A.A. Wiranatakusumah dan bekas kapten Westerling.
Dia juga berkisah melihat kapal selam menurunkan perlengkapan perang, senjata,
dan munisi, serta droping dari pesawat terbang asing untuk melengkapi mesin
perang DI/TII. Anehnya, di tulisan Her Suganda dikatakan bahwa Kartosoewiryo
gagal melaksanakan ambisinya karena lemahnya persenjataan dan kesulitan komunikasi.
Menurut Her Suganda, Kartosoewiryo hanya bisa mengacau di daerah Sukaraja dan
Cikalong, Tasikmalaya Selatan.
Kebohongan
dan fitnah yang dilansir oleh saksi lain di pengadilan tersebut sangat
memojokkan perjuangan Islam NII. Meskipun demikian, harus diakui bahwa NII
memang mengalami fragmentasi yakni NII pro-Proklamasi 17 Agustus 1945 pimpinan
H. Zainal Abidin dan Ajengan Patah, NII pro-Belanda yang dipimpin Sultan Hamid
II yang bersekutu dengan Westerling, serta NII pimpinan S.M. Kartosoewiryo yang
menajiskan berhubungan dengan kaum kafir. Dalam pernyataan bantahan yang
dilansir oleh Komandemen Tertinggi Angkatan Perang NII No. IX/7/1955,
dinyatakan bahwa usaha merangkaikan dan mencampuradukkan (samansmelten)
perjuangan Islam NII dengan gerakan subversif yang dilakukan oleh Westerling
dan sekelompok orang Indonesia adalah sangat absurd dan sama sekali tidak
mengandung kebenaran sedikit pun. Bantahan ini tidak memperoleh tempat di media
karena bias kekuasaan.
Rakyat
Indonesia selalu dicekoki tuduhan seakan-akan gerakan Islam identik dengan
pemberontakan. Kehadiran dan deklarasi NII sebenarnya tidak berada pada posisi
ada negara di dalam negara karena Republik Indonesia berdasarkan Perjanjian
Renville hanya berada di Yogyakarta dan sekitarnya. Lebih tepat dikatakan
kehadiran NII adalah sebuah negara dengan negara yang sejajar jika disandingkan
dengan RI. Lain halnya dengan negara Pasundan yang benar-benar merupakan produk
Belanda. Orang-orang nasionalis bisa tidak sependapat dalam perkara ini, tetapi
kebenaran sejarah tidak bisa ditutupi terus-menerus.
Menurut
Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, M.A., M.Phil., sejarah Islam perlu dipaparkan dengan
jujur dan diinternalisasi terus-menerus untuk membangun semangat perjuangan dan
peradaban. Orang Yahudi sangat berkepentingan memalsukan sejarah Islam karena
mereka paham bahwa sejarah bisa menjadi sumber inspirasi yang tiada habisnya
bagi kemajuan umat manusia. Dengan segala cara mereka melakukan manipulasi
sejarah seakan-akan sumbangan Barat terhadap peradaban manusia lebih hebat
daripada Islam. Banyak contoh, betapa sejarah Islam bukan saja ditutup-tutupi,
tetapi dikisahkan dalam bentuk kekalahan dan ketertinggalan.
Pembodohan
bisa direkayasa lewat sejarah. Lihat sejarah Islam Nusantara yang tidak pernah
sungguh-sungguh menggambarkan kejayaan Samudera Pasai, Ternate, dan Tidore
serta pengislaman Papua oleh Kerajaan Islam Bacan. Anehnya, yang selalu
dibanggakan adalah kisah kejayaan Majapahit dan Sriwijaya yang konon bisa
mempersatukan nusantara. Para ulama yang oleh pujangga Mataram Ronggowarsito
pada abad XIX disebut Walisongo sebenarnya adalah penyebar dan penegak syariat
Islam lewat kekuasaan yang dibangunnya dari mulai Giri, Demak, dan Cirebon. Di
masa Mataram yang telah meramu Islam dengan sinkretisme, para ulama tersebut
dimistifikasi sebagai tokoh-tokoh keramat dan digjaya tetapi pada saat yang
sama direduksi menjadi para pengembang ajaran tasawuf.
Krisis
sejarah berikutnya adalah pengaburan Kebangkitan Nasional yang dimanipulasi
seakan-akan berawal dari berdirinya paguyuban Boedi Oetomo. Bandingkan dengan
Syarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan 25 tahun lebih tua daripada Boedi
Oetomo. Organisasi ini menjelma menjadi Syarikat Islam yang terbuka untuk
seluruh rakyat Indonesia dari segala lapisan yang mayoritas beragama Islam.
Faktanya, pendiri Syarikat Islam H.O.S. Cokroaminoto dan murid-muridnya adalah
kaum pergerakan yang menjadi pejuang politik dan militer.
Hizbullah
adalah laskar Islam yang menjadi inti peristiwa heroik 10 November di Surabaya.
Di Jawa Tengah tatkala TNI di bawah pimpinan Soedirman mengalahkan sekutu
sebenarnya terdiri atas elemen-elemen tentara Islam. Peristiwa yang dikenal
Palagan Ambarawa 15 Desember 1945 dan dijadikan Hari Kartika Eka Paksi (hari
TNI AD) itu sama sekali tidak mengisahkan keterlibatan laskar santri. Menjadi
catatan penting bahwa pemberontakan PKI Madiun lebih banyak dihancurkan oleh
Hizbullah, namun yang ditonjolkan dalam sejarah adalah prestasi Divisi
Siliwangi.
Akhirnya
di hari-hari kehidupan bangsa yang konon telah merdeka selama 63 tahun ini,
umat Islam selalu terpinggirkan. Bangsa ini memilih pendidikan sekuler dan
mengikuti strategi Yahudi yang memisahkan agama dengan politik. Mayoritas umat
Islam terbawa arus pemikiran yang menolak nilai-nilai agama menjadi sumber
hukum positif. Sekarang dengan kecanggihan media yang dikontrol asing,
perlawanan Islam politik pada tingkat tertentu dikategorikan sebagai tindak
terorisme. Hasbunallah wa nimal wakil. Amin.