Dongeng Bahasa Sunda | Kumpulan Dongeng | Kumpulan Dongeng Anak. Para pengunjung blog kata bijak yang bijaksana setia menemani sampai dunia
ini berhenti berputar, terimakasih sebuah penghargaan buat anda semua
karena telah menjadikan situs ini menjadi salah satu media online yang
bermanfaat, mudah-mudahan bisa selamanya dirasakan manfaatnya oleh kita
semua, dan tim admin juga tentunya akan terus berusaha menjadikan situs
ini lebih baik lagi dalam kualitas konten maupun kecepatan loadingnya,
doanya saja dari teman-teman semua.
Pada hari ini alhamdulillah
penulis berada dalam keadaan baik sehat jasmani juga rohani
yaitu berada dalam lindungan Allah SWT, dan ini semua tentunya tidak
lepas dari kebaikan dan do'a kalian semua, saya do'a kan pula semoga
pengunjung setia dari blog ini dan kaum muslimin diseluruh dunia pada
umumnya berada dalam lindungan Allah SWT, terutama selamat dan
terjaganya aqidah dan tauhid kita karena sekarang sudah banyak sekali
warna dan bentuk yang mau mengganggu kemurnian aqidah dan tauhid kita
itu yang terpenting baik dari luar maupun dari dari dalam yang mempunyai tujuan tidak baik
terhadap kita.
Pada kesempatan yang baik ini penulis ingin membahas mengenai dongeng, ada yang tau apa itu yang disebut dengan dongeng ?
Definisi dongeng adalah suatu kisah yang di angkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral, yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan mahluk lainnya. Dongeng juga merupakan dunia hayalan dan imajinasi, dari pemikiran seseorang yang kemudian di ceritakan secara turun-temurun dari generasi kegenerasi. terkadang kisah dongeng bisa membawa pendengarnya terhanyut kedalam dunia fantasi, tergantung cara penyampaian dongeng tersebut dan pesan moral yang disampaikansebuah postingan religi
mengenai surat Alt Falaq yaitu arab latin serta terjemahannya dalam
bahasa Inggris dan Indonesia.
Nah untuk melengkapi pembahasan dari postingan kali ini, penulisan tulis dibawah ini contoh-contoh dongeng, yang mudah-mudahan bisa bermanfaat dan berguna untuk kita semua, selamat membaca :
========================================================================= =========================================================================
Asal Mula Gagak Berbulu Hitam
=========================================================================
Jaman dahulu kala gagak berbulu puith. Kenapa sekarang bulunya hitam....?, begini ceritanya.
Alkisah ada ular sanca sedang membuang air sungai.mulutnya menggigit pohon kayu di sebrang sana, ekornya membelit ke pohon kayu sebelah sini. Dari pagi sampai siang kerjanya hanya membuang air . sungai yang tadinya penuh sekarang airnya berkurang.ikan nya juga sudah banyak yang kelihatan.
Ada seekor gagak yang sedang lapar. Melihat banyak ikan di sungai langsung saja di makan. Awalnya gagak tidak tahu bahwa ikan itu hasil kerja ular. Meskipun gagak tahu, tapi terus saja ikan itu di makan, sampai habis karena lapar. Entah ikannya sedikit atau memang gagaknya rakus, semua ikan di sungai itu habis semua.
Begitu ular tahu ikannya habis, langsung mengejar gagak. Gagak segera terbang terus hinggap di pohon beringin. Ular mengejar naik keatas pohon. Gagak tahu ular naik pohon mengejarnya,langsung terbang lagi sangat jauh. Tapi kemana saja gagak terbang oleh ular dikejar terus, ahirnya gagak merasa sangat lelah sekali.
Waktu gagak terbang di kejar ular, sampai ke sebuah kampung. Kebetulan di kampung itu ada orang yang sedang nyelep pakaian. Nyelep itu merubah warna pakaian. Kalau baju putih ingin jadi hijau dicelep dengan warna hijau. Kalau ingin hitam dicelep dengan warna hitam. Tukang celep dahulu berkeliling k kampung kampung. Waktu itu tukang celep sedang nyelep pakaian warna hitam. Gagak sangat takut oleh ular, masuk kedalam pijanan yaitu tempat untuk nyelep.entah bagaimana masuk dan keluarnya dari pijanan tidak diceritakan apakah waktu itu tukang celepnya tidak ada sehingga gagak keluar masuk dari pijanan, atau tukang celepnya ada tapi waktu gagak masuk dibiarkan! yang jelas begitu gagak keluar dari pijanan rupa nya berubah jadi hitam.
Begitu gagak keluar, datang ular terengah-engah kecapaian. Gagak sangat kaget, tidak menyangka ular mengejar begitu cepat.
Ular sanca nanya sambil marah ke gagak, “ Hey burung hitam! Tidak menemukan gagak? Barusan larinya kesini!”
Gagak sangat takut menjawab nya dengan bahasa melayu, “ Engga! Engga!” katanya.
Begitu ceritanya kenapa bulu gagak warnanya hitam dan suaranya, “ Gaak! Gaak!”
Ada seekor gagak yang sedang lapar. Melihat banyak ikan di sungai langsung saja di makan. Awalnya gagak tidak tahu bahwa ikan itu hasil kerja ular. Meskipun gagak tahu, tapi terus saja ikan itu di makan, sampai habis karena lapar. Entah ikannya sedikit atau memang gagaknya rakus, semua ikan di sungai itu habis semua.
Begitu ular tahu ikannya habis, langsung mengejar gagak. Gagak segera terbang terus hinggap di pohon beringin. Ular mengejar naik keatas pohon. Gagak tahu ular naik pohon mengejarnya,langsung terbang lagi sangat jauh. Tapi kemana saja gagak terbang oleh ular dikejar terus, ahirnya gagak merasa sangat lelah sekali.
Waktu gagak terbang di kejar ular, sampai ke sebuah kampung. Kebetulan di kampung itu ada orang yang sedang nyelep pakaian. Nyelep itu merubah warna pakaian. Kalau baju putih ingin jadi hijau dicelep dengan warna hijau. Kalau ingin hitam dicelep dengan warna hitam. Tukang celep dahulu berkeliling k kampung kampung. Waktu itu tukang celep sedang nyelep pakaian warna hitam. Gagak sangat takut oleh ular, masuk kedalam pijanan yaitu tempat untuk nyelep.entah bagaimana masuk dan keluarnya dari pijanan tidak diceritakan apakah waktu itu tukang celepnya tidak ada sehingga gagak keluar masuk dari pijanan, atau tukang celepnya ada tapi waktu gagak masuk dibiarkan! yang jelas begitu gagak keluar dari pijanan rupa nya berubah jadi hitam.
Begitu gagak keluar, datang ular terengah-engah kecapaian. Gagak sangat kaget, tidak menyangka ular mengejar begitu cepat.
Ular sanca nanya sambil marah ke gagak, “ Hey burung hitam! Tidak menemukan gagak? Barusan larinya kesini!”
Gagak sangat takut menjawab nya dengan bahasa melayu, “ Engga! Engga!” katanya.
Begitu ceritanya kenapa bulu gagak warnanya hitam dan suaranya, “ Gaak! Gaak!”
========================================================================
Asal Mula Ikan Belut Kulitnya Licin
========================================================================
Siapa saja yang yang mencoba memegang ikan belut pasti tahu kulitnya licin. Kalau kita memegang ikan belut seperti memegang ikan pasti lepas, meskipun memegangnya kuat. Apa sebabnya kulit ikan belut dan bogo licin ? Ceritanya begini, kawan!
Pada jaman dahulu, ikan belut dan ikan lubang ada di mana mana. Di sungai, di danau, di rawa, malah di tempat yang airnya sedikit juga ada ikan belut. Waktu itu kulit ikan belut tidak licin seperti sekarang. Oleh karena itu semua mahluk yang suka ikan belut mudah mengambilnya.
Binatang yang paling suka ikan belut yaitu sero. Selain itu bagong, musang, elang, biul atau lasun. Oleh karena itu meskipun ikan belut ada di mana mana, jadi berkurang. Apalagi setelah diketahui oleh manusia, populasi ikan belut sangat berkurang. Karena manusia banyak akalnya. Mengambil ikan belut tidak satu satu tetapi dalam jumlah yang besar, karena manusia menggunakan pandai menggunakan alat. Manusia kalau mengambil ikan belut tidak langsung di makan di tempat seperti binatang lainnya. Melainkan di bawa pulang ke rumah untuk dibuat kere. Oleh karena itu, ikan belut di semua tempat kebingungan.
Raja ikan belut dan raja bogo berdiskusi mencari akal supaya jumlah ikan belut tidak berkurang. Keputusannya semua ikan belut dan bogo harus mandi menggunakan bubudur, yaitu semacam benda yang sangat licin. Selain itu ikan belut dengan bogo jangan bersatu. Ikan belut di air payau sedangkan bogo di sungai. Yang paling penting ikan belut dan bogo harus bisa bersembunyi. Ikan belut di dalam lumpur sedangkan bogo di bawah batu. Dengan cara itu tidak mudah manusia menemukannya
Setelah ikan belut dan bogo melaksanakan keputusan rapat, betul saja kulit ikan belut dan bogo jadi licin sekali. Kalau ditemukan oleh manusia kemudian di pegang bisa lepas. Oleh karena itu banyak ikan belut dan bogo yang selamat. Dan juga menjadi banyak karena terus beranak.
Kalau diambil binatang hanya satu atau dua tidak terlalu berkurang. Meskipun sero punya kuku, kalau memegang ikan belut susah lepas lagi, bangsa ikan belut dan bogo tidak ketakutan.
Begitulah ceritanya asal mula kulit ikan belut dan bogo licin.
Siapa saja yang yang mencoba memegang ikan belut pasti tahu kulitnya licin. Kalau kita memegang ikan belut seperti memegang ikan pasti lepas, meskipun memegangnya kuat. Apa sebabnya kulit ikan belut dan bogo licin ? Ceritanya begini, kawan!
Pada jaman dahulu, ikan belut dan ikan lubang ada di mana mana. Di sungai, di danau, di rawa, malah di tempat yang airnya sedikit juga ada ikan belut. Waktu itu kulit ikan belut tidak licin seperti sekarang. Oleh karena itu semua mahluk yang suka ikan belut mudah mengambilnya.
Binatang yang paling suka ikan belut yaitu sero. Selain itu bagong, musang, elang, biul atau lasun. Oleh karena itu meskipun ikan belut ada di mana mana, jadi berkurang. Apalagi setelah diketahui oleh manusia, populasi ikan belut sangat berkurang. Karena manusia banyak akalnya. Mengambil ikan belut tidak satu satu tetapi dalam jumlah yang besar, karena manusia menggunakan pandai menggunakan alat. Manusia kalau mengambil ikan belut tidak langsung di makan di tempat seperti binatang lainnya. Melainkan di bawa pulang ke rumah untuk dibuat kere. Oleh karena itu, ikan belut di semua tempat kebingungan.
Raja ikan belut dan raja bogo berdiskusi mencari akal supaya jumlah ikan belut tidak berkurang. Keputusannya semua ikan belut dan bogo harus mandi menggunakan bubudur, yaitu semacam benda yang sangat licin. Selain itu ikan belut dengan bogo jangan bersatu. Ikan belut di air payau sedangkan bogo di sungai. Yang paling penting ikan belut dan bogo harus bisa bersembunyi. Ikan belut di dalam lumpur sedangkan bogo di bawah batu. Dengan cara itu tidak mudah manusia menemukannya
Setelah ikan belut dan bogo melaksanakan keputusan rapat, betul saja kulit ikan belut dan bogo jadi licin sekali. Kalau ditemukan oleh manusia kemudian di pegang bisa lepas. Oleh karena itu banyak ikan belut dan bogo yang selamat. Dan juga menjadi banyak karena terus beranak.
Kalau diambil binatang hanya satu atau dua tidak terlalu berkurang. Meskipun sero punya kuku, kalau memegang ikan belut susah lepas lagi, bangsa ikan belut dan bogo tidak ketakutan.
Begitulah ceritanya asal mula kulit ikan belut dan bogo licin.
========================================================================
Sakadang Kuya Jeung Sakadang Monyet Ngala Cau
========================================================================
Anu pundung teh henteu lila. Ngan sapeuting. Isukna, isuk-isuk Sakadang Monyet geus datang deui nyampeukeun ka Sakadang Kuya.
"Sakadang Kuya!"
"Kuk!"
"Keur naon?"
"Ah biasa we keur moyan," tembal Sakadang Kuya anu keur cinutrung dina batu. "Ari tadi peuting sare dimana Sakadang Monyet teh?" Sakadang Kuya malik nanya.
"Diditu, di deukeut kebon Pa Tani."
"Baruk? naha Maneh teu sieun ku Pa Tani?"
"Ah, henteu, da Pa Tani na oge areuweuh. Imahna oge katenjo kasorong. Jigana keur arindit jauh."
"Kade ah, sing ati-ati mun papanggih Pa Tani. Pa Tani teh manusa. Manusa tea hararek jeung sagala beuki deuih!"
"Sing percaya we atuh ka uing!"
Jempe sajongjongan. Pok Sakadang Monyet nyarita deui.
"Lain Sakadang Kuya, uing teh kabita ku Pa Tani."
"Kabita kumaha?"
"Kabita ku cara hirupna, meni asa garenah. Geura bae, mun hayang barangdahar, teu kudu kukuriling heula neangan dahareun cara urang. Beas kari nutu. Atuh deungeunna karai ngala di kebon. Geus puguh sabangsa lalab mah. Asal daek ngalana. Kabeh aya di kebonna."
"Atuh kudu daek ngebon Jang, mun hayang kitu mah."
"Enya, kumaha lamun ayeuna urang ngebon nurutan Pa Tani? Meureun mun hayang baranghakan teh kudu kukurilingan heula cara ayeuna. Kari ngala we di kebon."
"Alus tah Jang, pikirang teh. Ngan melak naon nya anu pantes keur urang?"
"Ku lantaran uing mah karesep teh cau, kumaha upama melak tangkal cau?"
"Hih, da uing oge resep kana cau mah!"
Duanana sapagodos rek melak cau.
"Tapi di mana melakna?" Sakadang moonyet nanya.
"Ah, didinya we tah, di hilir, disisi leuwi. Di dinya aya tanah kosong, meujeuhna mun ku urang dikebonan teh. Tanahna oge alus di dinya," tembal Sakadang Kuya.
"Naha lain di girang we atuh, deukeut ka basisir?"
"Di dinya mah tanahna kurang hade, geus campur jeung keusik."
Sapuk bae rek ngebon cau di tanah kosong sisi leuwi.
========================================================================
Anu pundung teh henteu lila. Ngan sapeuting. Isukna, isuk-isuk Sakadang Monyet geus datang deui nyampeukeun ka Sakadang Kuya.
"Sakadang Kuya!"
"Kuk!"
"Keur naon?"
"Ah biasa we keur moyan," tembal Sakadang Kuya anu keur cinutrung dina batu. "Ari tadi peuting sare dimana Sakadang Monyet teh?" Sakadang Kuya malik nanya.
"Diditu, di deukeut kebon Pa Tani."
"Baruk? naha Maneh teu sieun ku Pa Tani?"
"Ah, henteu, da Pa Tani na oge areuweuh. Imahna oge katenjo kasorong. Jigana keur arindit jauh."
"Kade ah, sing ati-ati mun papanggih Pa Tani. Pa Tani teh manusa. Manusa tea hararek jeung sagala beuki deuih!"
"Sing percaya we atuh ka uing!"
Jempe sajongjongan. Pok Sakadang Monyet nyarita deui.
"Lain Sakadang Kuya, uing teh kabita ku Pa Tani."
"Kabita kumaha?"
"Kabita ku cara hirupna, meni asa garenah. Geura bae, mun hayang barangdahar, teu kudu kukuriling heula neangan dahareun cara urang. Beas kari nutu. Atuh deungeunna karai ngala di kebon. Geus puguh sabangsa lalab mah. Asal daek ngalana. Kabeh aya di kebonna."
"Atuh kudu daek ngebon Jang, mun hayang kitu mah."
"Enya, kumaha lamun ayeuna urang ngebon nurutan Pa Tani? Meureun mun hayang baranghakan teh kudu kukurilingan heula cara ayeuna. Kari ngala we di kebon."
"Alus tah Jang, pikirang teh. Ngan melak naon nya anu pantes keur urang?"
"Ku lantaran uing mah karesep teh cau, kumaha upama melak tangkal cau?"
"Hih, da uing oge resep kana cau mah!"
Duanana sapagodos rek melak cau.
"Tapi di mana melakna?" Sakadang moonyet nanya.
"Ah, didinya we tah, di hilir, disisi leuwi. Di dinya aya tanah kosong, meujeuhna mun ku urang dikebonan teh. Tanahna oge alus di dinya," tembal Sakadang Kuya.
"Naha lain di girang we atuh, deukeut ka basisir?"
"Di dinya mah tanahna kurang hade, geus campur jeung keusik."
Sapuk bae rek ngebon cau di tanah kosong sisi leuwi.
Ari binihna rek ngala di kebon Pa Tani. Kabeneran Pa Tanina keur euweuh. Malah dina ayana oge, moal ambek sugan ari dipenta binih cau mah. Asal ulah diala cauna we, komo anu geus asak dina tangkal mah.
Bring atuh Sakadang Kuya Jeung Sakadang Monyet indit ka kebon Pa Tani.
"Ari Sakadang Kuya rek melak naonana?" Sakadang Monyet nanya.
"Uing mah rek melak anakna we."
"Har, atuh lila kana buahanana ari melak anakna mah."
"Eh da kitu biasana, ari melak cau mah kudu anakna."
"Ah, teu kitu! Uing mah rek melak jantungna we," ceuk Sakadang Monyet.
"Naha?"
"Ari Sakadang Kuya, bodo teh dibeakkeun ku sorangan. Yeuh, ari cau teh asalna tina jantung. Anu matak uing mah arek melak jantungna, ambeh tereh kaala buahna," ceuk Sakadang Monyet bari semu ngece ka Sakadang Kuya.
"Ah, uing mah rek nurutkeun tali paranti we, melak anakna, anak cau."
"Heug atuh, Sakadang Kuya melak anakna, uing melak jantungna. Ayeunamah urang paheula-heula buahan! Pasti pelak uing anu pangheulana buahan mah!" ceuk Sakadang Monyet, yakin pisan.
Caritana etta dua sobat teh gues marelak cau di tanah nu di sisi leuwi tea. Sakadang Kuya melak anakna, anak cau, ari Sakadang Monyet melak jantungna.
Saminggu ti harita, pelak cau teh ditareang.
"Sakadang Kuya, pelak cau teh geus kumaha?" Sakadang Monyet nanya.
"Karak lilir uing mah. Ari nu Sakadang Monyet geus kumaha?"
"Geus beukah, sakeudeung deui oge geura bijil buahna," ceuk Sakadang Monyet, bungah naker.
Samingggu deui ti harita, maranehna nareang deui pelak cauna.
"Sakadang Kuya, pelak cau teh ayeuna geus kumaha?" ceuk Sakadang Monyet.
"Anu uing mah geus bijil pucuk. Ari nu Sakadang Monyet kumaha?"
"Pelak uing mah atung-atung eneh ae," tembal Sakadang Monyet ngabelehem. Maksudna mah jantung-jantung keneh bae.
Selang saminggu, pelak cau teh ditareang deui.
"Ayeuna geus kumaha pelak cau teh," Sakadang Monyet nanya.
"Tuh, geus bijil pucuk tilu. Ari nu Sakadang Monyet?"
"Atung-atung eneh ae."
Beuki lila, pelak cau Sakadang Kuya beuki ngagedean, malah morontod jadina oge, kawantu tanahna subur. Ari pelak jantung Sakadang Monyet mah, tibatan jadi kalah ka buruk.
Nampuyak digembong laleur.
"Ning alah uyuk sia mah!" ceuk Sakadang Monyet bari nalapung pelak jantungna. Sakadang Kuya uruk mesem nenjo kalakuan Sakadang Monyet kitu teh. Na jero hatena mah nyeungseurikeun, bari gegerentes, "Dasar kokolot begog! Henteu umum atuh melak cau jantungna mah!"
Ahirna di dinya teh ngan aya pelak cau anu Sakadang Kuya. Geus kitu mah diarantep we, teu diteang-teang deui. Engke cenah lamun kira-kira buahna geus arasak, rek diteang deui bari sakalian diala.
==========================================================================
Sakadang Monyet jadi Raja Monyet
==========================================================================
Jaman baheula di hiji leuweung aya tangkal buah. Gede jeung jangkung pisan. Daunna mayung kawas tangkal caringin. Teuing buah naon da euweuh nu nyahoeun kana ngaranna, tur tangkal buah kitu teh dimamana ge tara aya. Di eta leuweung ge ngan aya eta we satangkal-tangkalna.
Eta tangkal buah teh dicicingan ku raja monyet katut ra’yatna. Ku raja monyet, sakabet ra’yatna diomat-omatan sangkan ngajaga ulah aya buah nu murag ngacemplung ka walungan. Nu geus asak kudu buru-buru diala, bisi murag manten. Ari sababna mun aya nu murag ka walungan, tangtu palid, mun kapangging ku jelema, terus ku eta jelema teh di dahar, tangtu bakal deudeuieun. Tuluy, eta jelema tangtu bakal neangan dimana tangkalna. Mun kapanggih pasti kabeh monyet diusir, dibuburak, malah bisa jadi sarerea dipaehan. Sarerea pada apal, yen jelema mah sarakah, harawek alah batan monyet.
Tapi tariking cilaka, hiji mangsa mah aya buah nu murag teu kanyahoan. Kecemplung ka cai walungan, terus ngalengleong palid ka hilir. Beuki lila beuki jauh. Tungtungna nepi ka hiji karajaan. Ari pek teh kapanggih ku anak raja nu keur ulin di sisi walungan. Nenjo aya buah aneh ngangkleung , ku anak raja teh dicokoy. Ku sabab pikabitaeun am weh didahar. “Buah naon ieu teh , mana ngeunah-ngeunah teuing....?” ceuk anak raja. Anak raja luak-lieuk nengan tangkal buah nu kitu. Susuganan deukeut ti dinya. Tapi lapur da apan tangkal eta mah ngan aya hiji-hijina saalam dunya.
Lantaran kapanggihna ge keur ngankleung diwalungan atuh ku sarerea kaharti, pasti tangkalna teh jadina di sisi cai. Nya atuh narenganna ge mapay-mapay we ka girang. Ngasryk bari teu reureuh sarurak euyah-euyahan.
Monyet nu keur genah-genah arulin, kacida reureuwaseunnana barang ngadenge sora euyah-euyahan ti kajauhan teh. “kumpuuuul....! kumpppuuull...!. Cilaka....! pasti aya buah murag teu kanyahioan ! Aayeuna, tah sora jelema kadarieu ! pasti rek ngalaan buah urang. Baritangtu urang dipaehan !”. atuh buriak sarerea bubar. Terus brut-bret ngajambretan areuy. Terus ditumbu-tumbukeun nepi ka jadi tambang. Sangges beres, terus tungtung tanbang tina areuy teh dicangreudkeun kana dahan. Ari nu tungtung nuhijina deui di bawa ngojay ku raja monyet ka peuntas ditu. Sangges nepi ka peuntas, gancang raja monyet nerekel mamawa tungtung tambang rek dicangreudkeun kana dahan tangkal nu aya di dinya. Orokaya tambang teh kurang panjang! Kurang seutik deui pisan! Raja monyet ngahuleng, mangkaning sora prajurit geus beuki deukeut. Ahirna tungtung tambang teh di talikeun we kana suku duanana, geus kitu puranteng leungeuna muntang kana dahan.“sookk...geura mareuntas! Ngantai saurang-saurang! Tong paboro-boro bisi ragrag ka walungan! Nu marawa orok kade sina muntang sing parageuh!” Raja monyet gogorowokan marentah ti peuntas. “Kajeun awak kuring ancur, asal salamet we sakabeh ra’yat kuring...” kitu pamikir raja monyet teh. Hiji-hiji ra’yat monyet teh salamet nepi ka peuntas, terus naraek kana tangkal. Beuki lila beuki rea nu salamet. Tapi sabalikna, beuki lila beuki rea tulang tonggong rajana nu parotong. Ahirna salamet we kabeh!
Ra’yat monyet hareraneun naha rajana teu buru-buru lumpat? Srog sawatara monyet nyalampeurkeun. Sangges srog kakara sidik, sihoreng raja monyet teh geus teu walakaya, ukur empes-empesan. Beuki lila beuki leuleuseun, sirahna beuki ngulahek, panonna peureum, ketug jajantungna beki ngendoran, tungtungna mah les weh raja monyet teh paeh. Tonggongna ancur lantaran teu kuateun ditarincakan ku ratus-ratus urang ra’yatna. Segruk weh monyet nu nyalampeurkeun teh careurik nyengceurikan rajana nu geus ngorbankeun nyawana sorangan demi kasalametan ra’yatna.
===========================================================================
Sakadang Kadal
===========================================================================
Jaman baheula, aya kadal nu humandeuar bae. Manehna teu tumarima kana takdir ti Gusti. Malah nganggap Gusti teu pilih kasih. “Batur-batur dipaparin nasib hade, ari kuring ukur kieu. Awak leutik, sisitan, pakarang teu boga, gawe ukur kekeceprekan dina leutak. Pan batur mah geura, maung dibere sihung, gajah dibere tulale, uncal dibere tanduk, oray dibere peurah, biruang dibere panyakar, manuk dibere jangjang, kuya dibere batok, ari kuring dibere naon?” kitu ceuk jero hatena.
Tuluy manehna neneda ka Nu Kawasa, ku panteng-pantengna neneda, nya panedana teh dikabul. Jleg manehna jadi uncal. Atuh teu kira-kira bungahna. Sapopoe teh gegedenbrengan we nembong-nembong tandukna. Disebutna ge sato pangkasepna saleuweung.
Tapi dina hiji poe, basa manehna keur nyatuan di tegalan jeung nu sejen, jeger teh aya sora bedil ! manehna babarengan kaburna teh jeung embe. Asruk-asrukan nyorang rungkun jeung rerembetan. Embe mah labas-labas we lumpatna teh, tapi manehna mah teu bisa kitu, da tandukna nu ranggaek tikakarait bae.
Sangges ngalaman kitu, manehna mikir, geuning tanduk ranggaek teh matak tugenah. Genah keneh tanduk sauted kawas embe. Atuh dekul deui manehna ngadu’a sangkan dijadikeun embe bae. Dasar Gusti welas asih, jleg manehna jadi embe. Tapi dina hiji poe manehna ngawangkong jeung marmot. Ceunah kudu ati-ati jadi embe mah, sabab babari pisan ditekuk maung. Dekul deui ngadu’a hayang jadi marmot. Panedana dikabul deui. Tapi can sapoe-poe acan, manehna nyaksian marmot nu kamari ngawangkong jeung manehna teh beunang ku careuh, sarta dihakan nepi ka beak. Sanajan lumpat kana liangna ge, tapi da geuning careuh mah bisaeun kokorobet kna liang leutik ge.
“Mun kitu mah mending keneh jadi careuh atuh !” ceuk pamikir kadal. Atuh jleg manehna teh jadi careuh ayeuna mah. Hiji poe manehna ngarasa lapar. Koloyong weh ka kebon, rek ngintip hayam bogana patani. Barang kaciriaeun ku patani atuh puguh we dibuburak, diudag-udag bari ditenggoran ku batu. Malah kabeunangan sakali tarangna, nepi ka buncunur sagede endog puyuh!
“Geuning teu genah jadi careuh ge. Sigana nu genah mah jadi kerak. Pan ku patani ge batan sakitu diogona. Saban poe diurus, dimandian, diinuman, diparaban.” Jaba boga jangjang deuih kerak mah. Laksana deui we kahayang kadal teh. Clek jadi kerak. Kakalayangan we gawena teh ngapung mayung kaluhur. Orokaya dina hiji poe mah, basa manehna keur unclag-anclog bri pucak-pacok dina galeng, logodor teh oray sawah ngabongohan, hiuk notog rek nyapluk....bis weh beunang! Untung kaburu ngagiwar, ngacleng kaluhur tuluy ngabur ka awang-awang. “Ah geuning geuning adi kerak ge aya pibahayaeun. Mun kitu mah mendingan keneh jadi oray sawah atuh.”
kitu jeung kitu we paripolah kadal teh. Terus-terusan boga pamenta. Geus dikabul nu sarupa, boga deui pamenta sejen. Tungtungna mah hayang jadi hayam adu. Pedah resep cenah sok padangalalajoan, sok jadi bentang kalang mun diaduna meunangan. Tapi lila-lila mah karasa tugenahna. Mun poe ieu kakara tas diadu, awak nyareri keneh, beungeut bariocok keneh, isukna atawa pagetona geus gapruk di adukeun deui. Sangges ku manehan karasa, yen geuning manusa nu kawasa pisan mah, prak manehna tapa deui. Lila tapana teh, aya welas peutingna. Tapi sakali ieu mah panedana teh teu dikabul. Tibatan laksana jadi jelema mah, kalah janggelek we mulang ka asal, jadi deui kadal. Tereleng, kucuprak weh ka sawah kawas bareto.
=======================================================================
Sireum jeung Gajah
=======================================================================
Sireum keur ngarariung dina liang. Sarerea saredih ku yana kajdian tadi isuk-isuk. Babaturannana nu keur ngagonyok dina sayangna paraeh lantaran katincak gajah. Lain saeutik-saeutik jumlahna teh, tapi aya rebuna nu pejetna ge. Acan nu caracad, aya nu pinced, aya nu kengkong, aya nu lolong, malah nu lumpuh ge rea, da sukuna parotong kabeh.
Keur kitu, torojol raja sireum, “Dengekeun nya ku sarerea....! urang sarerea ngalaman kacilakaan teh lain kakara sakali dua kali, tapi geus mindeng. Geus puluhan rebu dulur urang nu paeh kaleyek ku sakadang gajah nu kejam tya rarasaan. Lamun urang cariring bae, teu ihtiar neangan akal, tangtu kajadian kieu teh bakal terus-terusan kaalaman. Ku kituna, sok atuh ayeuna mah urang badami, kumaha akalna sangkan urang bisa maehan gajah. Tong sieun, sanajan gajah sakitu badagna ge lamun dikoroyok mah ku sarerea, pasti bakal eleh. Asal urangna sauyunan! Kumaha satuju....?”
“satujuuuuuuuu....!” ceuk nu ngariung, sorana mani ngaguruh. Sarerea pada ngaluarkeun usul katut pamanggihna. Sangges rada lila, ahirna mupakat rek nyieun pitapak, nyaeta mangrupa lobang nu gede tur jero di palebah liliwateun gajah. Dasarna lobang teh rek diceceban ku awi sareukeut. Engke lamun gajah ngaliwat ka dinya, tinangtu tigebrus sarta katiir ku seuseukeut awi, moal bisaeun hanjat deui. Geus kitu mah rob weh rek dikoroyok, dicarocoan ku sarerea.
Geus kitu mah, der weh gawe nyieun lobang teh dimimitian. Sanajan awakan lalembut, tanagana halengker, tapi kalah ku dikeureuyeuh, digotong royong ku sarerea mah, lobang nu aya badag nya jero teh, teu burung anggeus sapoe oge. Sangges lobangna jadi, pek dicarecaban awi beunang nyeukeutan. Geus kitu, luhurna ditumpangan malang-mulintang ku pangpung beunang mulungan. Geus marerenah terus luhurna dirungkupan ku jukut, dirarapih sina rata jeung taneuh. Atuh barang geus anggeus teh teu kaciri meueus-meueus acan, yen didinya aya lobang.
Buriak weh sireum teh bubar, terus nyarumput buni teu jarauh tidinya. Sarerea ngarintip, sarerea deg-degan, sarerea teu sabar ngadagoan gajah ngaliwat. Teu kungsi lila geblig, geblig....geblig datang! Awakna can katembong ge, gebleg-gebleg lengkahna mah geus kadenge. Taneuh geus karasa eundeurna. Juringkang! Juringkang! Gjah mimiti katembong. Beuki lila beuki deukeut .....srog ka lebah sireum nyarumput....geblig!.... geblig!.....gebrus! gajah tigorobas kana lobang, sorana mani ngagorobas! Pangpung, jujukutan, dangdaunan, taneuh, racleng kaplecengkeun ku nu tigebrus!
“Oeeeek.....Oeeeekk....oeeeek....” gajah gugurubugan, tulalena bubak babuk, sirahna teuteunggar. Tapi sanajan adug lajer ge, gajah teu bisa hanjat. “serbuuuu....!!” raja sireum ngagorowok ngomando. Burudul sireum kaluar ti panyumputannana. Gajah beuki motah, awakna pinuh di tapuk ku sireum. Aya nu pating sulusup kana ceulina, sawareh kana panonna, akan sungutna, sawareh kana liang tulalena, bari teu reureuh patingjeletot nyarocoan. Puguh we kanyeri gajah teh lain rasa-rasakeuneun. Tungtungna rumpuyuk nambru di jero lobang. Empes, empes....les weh gajah teh paeh.
Geeerrr....sireum surak bari patingalajrug! Tah, ti harita mah ka sireum tara aya nu ngaganggu, boh gajah deui, boh sato sejen. Da meureun pabeja-beja, yen sireum mah najan leutik tapi sauyunan. Singsaha nu ngaganggu pasti dikerepuk.
======================================================================
Monyet Anu Hawek
======================================================================
Dina hiji poe, sawatara sasatoan keur ngariung handapeun tangkal kiara nu iuh. Nu aya teh hayam, kelinci, marmot, beurit, manuk cangkurileung, jeung embe. Maranehna keur ngawarangkong nyaritakeun kalakuan sakadang monyet. Sarerea ngarasa keuheul ka sakadang monyetteh, tina kalakuanna nu sok ngarugikeun batur.
“hawek pisan sakadang monyet teh ! sok rerebut ka bangsa kuring mah da pedah leutik meureun. Nyaho moal wanieun ngalawan!” ceuk sakadang marmot. “kuring ge kungsi direbut hui! Rek am pisa n di huapkeun harita teh, na kerewek teh direbut...terus mangpret dibawa lumpat!” sakadang kelinci nyaritakeun pangalamanana. “kitu puguh ge nu jahat ma, sok pinter pisan ngbongohan” ceuk sakadang cangkurileung.
“watir mah sakadang kuya, hese cape melak cau sakadang kuya teh. Diurus saban poe. Diceboran, digemuk, dikored,mani tulaten naker. Na ari lagu ek diala. Beak dipaling tah ku si monyet hawek teh! Mangkaning geus jangji harita tah, cangkang rek keur kuring....!” ceuk sakadang embe siga nu keuheuleun pisan.
“Heup, heup, heup....moal aya gunana ari ukur kurukulutus mah! Anggursi urang pikiran kumaha carana ngawarah si eta sangkan ulah ngarugikeun bae batur...tuman diantep mah!” sarerea jarempe, sarerea unggut-unggutan tanda panuju, sarerea kerung malikir. Beurit nu pinter jeung rea akal nyelangkeung. “Gampang lah...! urang sina ditapuk kusakadang engang! Sina disareureud!”ceuk sakadang beurit bari ngeprokkeun dampal leungeunna tanda atoh nimu akal.
“Nya tangtu bakal barareuh di seureud engang mah....ngan kumaha carana sangkan sakadang engang daek ngoroyok sakadang monyet?” ceuk cangkurileung. “Tuh, ditonggoh lebah rungkun salira aya sayang engang. Tah, di dinya urang eupanan ku kabeuki monyet. Engke pasti ku si monyet hawek pasti dicokot, da si eta mah sok sologoto pisan apan kana dahareun teh....! tangtu sakadang engang ambeukeun mun sayangna aya nu ngadeukeutan teh, da samarukna rek diganggu. Pasti ngabreng ngoroyok ka si monyet hawek! Keun sina disareureudan!” ceuk beurit nerangkeun panjang lebar.
Sangges srerea nyatujuan, bring weh bubar muru ka imahna masing-masing. Maksud rek nyarokot bungbuahan saboga-bogana. Teu kungsi lila jul-jol deui daratang. Bring atuh sarerea muru ka palebah rungkun nu dipake nyayang ku engang. Mani keukeuteuyeupan nareundeunna ge da sieun kanyahoan ku sakadang engang. Mangkaning engang mah kacida garalakna. Mun sayangna kaganggu teh sok rabeng ngoroyok. Sorana barangeongan matak geupeur!
Sakadang monyet nu harita aya di imahna, barang nenjo ringkang-ringkang nu daratang. Buru-buru manehna turun ti imahna. “Rek kamarana yeuh? Mani ngabring!”pokna. “Rek ngabejaan, tuh di ditu deukeut rungkun, rea dahareun kabeuki maneh wungkul! Jig buru-buru, bisi aya nu nyokot manten!” ceuk sakadang hayam. “Tapi naha atuh kalah dituduhkeun ka kuring? Naha teu didahar bae ku maraneh?” ceuk sakadang monyet rada heraneun.
“apan geus seubeuh! Sarerea teh bieu teh tas ngadalahar, ngan teu beak da rea teuing dahareunana!”ceuk sakadang kelinci. “Heuh atuh!” ceuk sakadang monyet bari tibuburanjat lumpat muru kana rungkun panuduhan embe tea. Barang sakadang monyet nepi ka deukeut rungkun, atuh atoh sarta teu antaparah deui ngan kedewek weh bungbuahan nu aya di dinya teh diweswes bangun nu ni’mateun pisan. Lung, lung, cangkangna teh dipiceunan, ka mana wae ngalungkeunana teh sadaekna. Atuh cacangkangan teh rea patinggalepruk ninggang kana sayang engang. Mani utey bakat ku rea. Sarta barang kacirieun nu ngaganggu sayangna teh monyet, breng haliber, terus weh ngoroyok, nyareureud jeung nyarocoan!
Atuh puguh we sakadang monyet teh mani nepi ka guguliungan bakat ku hayang lesot tina koroyokan engang nu kacida garalakna! Lantaran lulumpatan bari teu tolih kana nanaon, brus teh sakadang monyet tigebrus ka walungan. Kerelep ti teuleum. Hadena leungeunna kaburu muntang kana jukut nu jadi di sisi cai. Sakadang engang teu waranieun alancrub ka walungan mah, sabab jangjangna bakal baraseuh. Atuh bring weh baralik deui kana sayangna.
Sangges engang arindit, kakara monyet hanjat. Mani kakarayapan bakat ku leuleus sarta nyareri. “kieu geuning rasana nu hawek teh. Batur nyarerieun hate, ngarewaeun, nepi ka padangakalakeun,” ceuk pikirna monyet bari ku rasa kaduhung. Ti harita mah monyet teh kapok. Jadi bageur jeung tara haweuk, kana dahareun tara makmak-mekmek teuing, jeung batur sok daek silihagehan.
=======================================================================
Sakadang Peucang Jeung Maung
=======================================================================
Dina hiji poe, wanci ahneut moyan, peucang keur nyatuan bari moyan. “Geunaheuuuun pisan! Awak seger kapoyanan, hakaneun raweuy sakuriling bungking, harejo ngemploh bangun nu arami. Atuh lain ponyoeunana”, ceuk peucang teh. Sangges seubeuh, brek depa dinu poyan bari hantem guyam gayem. Bakat ku genah, lila-lila lengguuut, lengguuut....nundutan! Hanjakal....gaur teh sora maung! Leuweung eundeur! Kabeh sato rarewaseun! Manuk rabeng. Monyet rajleng, marmot tipaparetot, kelinci tipaparatit, oray pating goloyor, sarerea lalumpatan neangan kasalametan. Ngan sakiceup kaayaan di dinyajadi jempling, da pangeusina bubar katawuran.
Peucang mah teu kaburu ngejat, kaberedeg! Keur nundutan atuda! Barang gok jeung maung teh, ukur bisa curinghak. Rek kabur teu kaburu, mun lumpat bakal kaudag. Ukur sagajlengun atuda anggangna teh. Tapi dasar peucang mah boga lalakon! Sok loba akal deuih. Sieunna ukur sakeudeung. Hatena gancang ditenang-tenangkeun. Utekna muter neangan akal, kumahaa....carana sangkan salamet?
Da enya, peucang teh kalah gogoleran! Atuh maung teh nepi ka gogodeg bakting ku heran. Les we poho rek ngarontok ge, da haben wae gogodeg! Ari peucang bari gogoleran teh, am ngahuapkeun daun jati tea, terus diweswes-dibeuweung. Apan daun jati mah mun direbus ge sok beureum, komo atuh dicapek mah. Sungut peucang mani burahay beureum kawas lamokot ku getih. Ongkoh da dihajakeun sina ngabulaeh. Malah sina lutah-luteh kana beungeutna. Geus kitu mah celegeneng peucang nangtung. “Tah geuning! Kabeneran yeuh datang maung sasiki deui! Yap kadieu urang hakan, malaur kuring can seubeuh....!” ceuk peucang bari nyentak.
Maung kalah pok nanya, “naon maneh teh, peucang? Dedengean teh urang hakan-urang hakan kitu...? can seubeuh-can seubeuh kitu....naon?”
“bener! Bieu kuringtas ngahakan maung hiji.... yeuh tenjo beungeut kuring nepi ka beureum kieu, kaceretan ku getihna ieu teh....!”ceuk peucang bari ngalengkah ngadeukeutan sarta ngasrogkeun beungeutna, “Teu seubeuh geuning ukur hiji mah, sukur maneh datang, keur nyeubeuhkeun.....heug seug ka dieu!” maung mundur nenjo peucang ngeteyep ngadeukeutan teh. “Na ti iraha maneh beuki maung, Cang....?” maung ngadegdeg. “Heueuh! Boa alo maneh nu bieu dihakan ku kuring teh? Aya alusna, sasarap ku alona, nyeubeuhkeun ku emangna. Maneh teu percaya ka kuring? He maung goreng patut, mun maneh teu percayakuring tas ngahakan maung, tuh tempo disumur aya keneh huluna! Teuas! Dikokos ge kuriak punglak huntu....lung weh dialungkeun...., jig tempo hulu alo maneh! Tuh dijero sumur!” Nempo peucang siga nu napsu pisan, maung beuki sieun. Tapi hatena panasaran, hyang nempo hulu maung di jero sumur.
Pek enya we di jero sumur teh aya hulu maung, peresis sagede manehna deuih! “Boa-boa heueuh alo kuring?” ceuk pikirna. Sarta teu antaparah deui belenyeng weh maung kabur mani mangprung, gogorobasan sagala didupak. Mani asa sageup-geupeun awakna dikerekeb ku peucang. Dasar maung bodo, manehna teu sadareun, yen hulu maung nu katempo di jero sumur teh, lian ti kalangkang hulu manehna sorangan. Peucang ngagakgak ningali kabodoan maung. “Dasar sato bodo! Kalahkah we huntu ranggeteng!” ceuk peucang bari teu eureun-eureun seuseurian.
========================================================================
Sakadang Sapi
========================================================================
Jaman baheula di leuweung sakadang sapi keur ngahuleng, siga nu boga kasusah. Di pkir saliwat mah asa teu pantes, awak badag, tanaga rosa, tanduk seukeut, tapi naha beut nguyung siganu aral subaha. Tah, ayeuna ge, sakadang sapi hulang-huleng bae teh keur mikir, kumaha carana sangkan hakaneun teu kasoro ku batur. Pangpangna dina usum katiga, jukut jeung dangdaunan teh mani gararing.
Sangges ngahuleng lila naker, serengeh sakadang sapi seuri. Manehna manggih akal nu hade kumaha carana sangkan jukut jeung dangdaunan di eta leuweung jadi boga manehna kabeh. “Kuring kudu jadi sobat maung sangkan batur sarieuneun”. Kitu ceuk sapi sajeroning hatena. Geus mikir kitu mah, gidig weh sakadang sapi teh ngagidig rek nepungan maung.
Poe harita keneh, sakadang maung mapay-mapay nu rea jukutan. Kabeh sato di ancam, yen singsaha nu wani nyatuan di eta leuweung, pinasti baris pinanggih balai. Atuh puguh we, kabeh sato ge sieun ku ancaman sakadang maung mah. Kabeh nyaringkah sarta nareangan hakaneun ngalasruk ka jero leuweung nu moal kasaba ku maung. Tangtu we jadi sarakah. Tapi dalah di kumaha tibatan jadi korban mah. Seuri we sakadang sapi mah nenjo batur sangsara teh. Dirina senang malang-mulintang baranghakan euweuh nu ngarewong. Unggal poe manehna mawa batur saurang, aya embe, aya kuda, aya munding, aya domba, atawa naon we kumaha pamenta maung. Carana teh di bibita, diolo, dibawa ka tempat nu rea jukut. Puguh we atoheun dibawa ka tempat parab teh, da hese apan neangan jukut saeutik ge ayeuna mah. Teu nyaho am-ari gabrug we dirontok ku maung, terus digusur dibawa ka dungusna.
Mimitina mah euweuh nu nyahoeun kana akal jahat sapi teh. Sarerea teu nyarangka, yen sapi tega marab-marabkeun batur sorangan pikeun kapentingan dirina pribadi. Tapi laun-laun mah kanyahoan, yen geuning sapi teh sakitu jahat, telenges, jeung hawekna. Atuh puguh we sarerea ngarewaeun pisan ka sapi teh. Malah rea diantarana nu ngancam rek males. Mindeng sato nu sejen, pangpangna sato nu laleutik patingrariung badami neangan akal ngahukuman ka sakadang sapi.
Tapi susah da sakadang sapi salawasna di tangtayungan ku sakadang maung nu mangrupa raja eta leuweung. Saha atuh nu wani ngalawan raja ? tibatan beunang di arah mah, sakadang sapi kalah beuki sakawenang-wenang, boga rasa euweuh nu wani ngaganggu. Sapi ngarasa kawasa. Padahal sarerea ge gimir teh lain ku sapina, tapi ku maungna. Tapi da Gusti mah Maha Adil. Teu burung datang wawales kanu telenges teh.
Hiji poe datang rombongan paninggaran ka eta leuweung. Patingkedepruk sapatuna, patingharaok corowokna, patingjaledor bedilna. Sasatoan paburisat lumpat nyalametkeun dirina. Tapi aya sawatara nu beunang, di antarana sakadang maung. Teu walakaya geuning sang raja teh nyanghareupan takdir Gusti mah. Sakadang maung katembak meneran jajantungna pisan. Atuh jungkel, kerejet-kerejet, hos weh paeh!
Sangges nu maroro marulang, sasatoan tingrariung aya embe, kuda, gajah, jarapah, domba, munding, banteng, jeung nu lainna. “sakadang maung geus paeh, sakadang sapi ayeuna mah moal aya nu mangmeunangkeun, hayu ayeuna mah urang hukuman ku sarerea!” ceuk sakadang domba. Manehna manehna kacida ambekna ka sakadang sapi, lantaran anak-incuan beak diparabkeun ka sakadang maung.
Lantaran sakanyeri, sakapeurih, bring atuh sarerea ngajorag ka imah sapi. Sapi teu walakaya, nepi ka paehna pada ngaraponan. Malah ku sakadang munding mah, imahna ge diruksak diburak-barik. Awahing ku ijid!
======================================================================
Sakadang Peucang Jeung Buhaya
======================================================================
Jaman baheula di hiji leuweung, wanci tengah poe ereng-erengan, sakur sasatoan keur ngariuhan. Kacaritakeun peucang, manehna pohara ngarasa halabhabna. Kolonyong peucang ka walungan nu pareunahna teu anggang ti dinya. “Ah, rek ngalekik nginum saseubeuhna ”, kitu ceuk pikirna. Karek ge dua-tilu leguk, gep teh sukuna aya nu ngegel. Peucang reuwas lain meumeueusan, tapi teu bisa ngejat lantaran sukuna pageuh kacakep. Boro-boro ngejat, ngajerete ge hese! Peucang jaba reuwas jaba nyeri, jaba kaduhung deui dirina teu ati-ati. Bakat ku halabhab atuda, sologoto kana cai we, buhaya mah nu keur nangoh ngadodoho, teu katenjo.
Tapi dasar peucang mah pinter. Sakolepat ge geus manggih akal sangkan dirina salamet. Sanajan sukuna karasa nyeri digegel ku buhaya nu huntuna sakitu ranggetengna, tapi peucang api-api teu ngarasa we. Luk deui tungkul neruskeun nginum. “Aeh aeh....geuning aya maneh, buhaya! Keur moyan nyah? Hampura nya kuring teu sopan, ngaliwat teu pupuntenan. Boa-boa bieu teh katincak irung? Hampura nya, teu kuat ku halabhab kuring teh!” ceunah.
Ngadenge omongan peucang, buhaya ngarasa heran. Naha peucang mani tenang, kawas nu teu ngarasaeun sukuna digegel? “Tong ngadahar dahan kai atuh, buhaya! Moal ge ngeunah!” ceuk peucang. “Maaaaana dahan kai? Pan ieu mah suku maneh, cang!” ceuk buhaya , ngomongna rada ngosom, da bari barang gegel.
“Emh...watir! mun kuring boga hakaneun mah, meureu dibikeun ka maneh. Tapi naon atuh da kuring mah teu boga nanaon. Boga awak ge apan ieu sakieu leutikna. Jeung barina ge boga uruseun anak pamajikan. Mangkaning pamajikan kuring kamari anyar ngajuru deui, teuing opat teuing lima saborojolan teh” ceuk peucang.
“Cik atuh sing karunya ka kuring, cang! Piraku kuring kudu paeh kalaparan. Cik atuhg menta suku maneh hiji mah, lumayan we tamba paeh langlayeuseun....” buhaya ngomong mani lengas-lengis sangkan dipikarunya.
“Heug atuh ari maksa-maksa teuing mah, watir we kuring mah...ngan pek atuh lepehkeun heula etah dahan kai nu keur diheungheum teh! Terus sungut maneh calawakkeun sing tarik, ngarah buntung sakaligus, da nyeri ari disegetan saeutik-saeutik mah!” ceuk peucang. “Sok ayeuna mah geura calawak sing rubak....!” peucang marentah bari panonna gular-gilir neangan dahan atawa awi nu sakira meujeuhna pikeun metakeun akalna.
Ari buhaya barang karasa kana sungutna aya nu asup, capluk weh nyapluk sataker tanaga! Da samarukna nu asup teh suku peucang sakumaha ceuk perjangjian tea. Atuh puguh we...ari capluk, ari ceb....si haur teh nyeundak kana lalangit sungutna luhur handap, terus nyeceb hese dipukahkeunnana da kapaseuk ku regang nu rungseb dina saban bukuna! Sungut buhaya jadi samutut, rungkang ku regang haur! Kalah ku haben digubag-gabig, laun-laun mah haur teh nungtut narecat tina sungut buhaya. Tungtungna golomong weh lesot sapisan. Arisot ari seot....buhaya ngudag ka sisi cai. Tapi peucang geus mangpret ka tonggoh, lain udag-udageun tukang di cai.
Buhaya ngawakwak nyarekan jeung ngati-ngati. Peucang kalah seuseurian.HaHaHaaaaaa...
========================================================================
Sakadang Kelinci Jeung Domba Adu
========================================================================
Jaman baheula, di hiji leuweung aya kelinci aya kelinci keur nyatuan bangun anu ponyo naker. Keur kitu, torojol domba adu datang. Nempo aya kelinci keur nyatuan, pok domba adu teh nyarita. “Kelinci, maneh mah ari nyatu rampus, ari awak leutik bae. Asa cumah dahar unggal poe ge ukur meakkeun jukut bae, ceunah”
“naha kudu kumaha ari awak kuring? Apan iyeuh lintuh!”tembal kelinci.
“Dasar goreng milik bangsa maneh mah, dikadarkeun boga awak teh ukur sagede kitu! Yeuh tempo kuring, awak jangkung badag, tanduk ranggaek! Bangsa careuh, ajag, oray, moal waraneun ngaganggu ka kuring mah! Coba ka maneh, boro-boro maung, anak ucing wanieun nekuk!” ceuk domba adu mani adigung pisan.
“Ah, na ngahina teuing, Domba! Na teu sieun katulah maneh teh, da goreng-goreng oge kuring teh tunggal ddamelan Gusti. Sanajan bukti oge, teu meunang nganyenyeri kitu, da awak kuring leutik teh, lain kahayang sorangan, geus guratna we. Tong adigung, Domba! Saha nu nyaho hiji waktu mah maneh teh bakal butuh ku pitulung kuring!” tembal kelinci bari nyabar-nyabar maneh.
“Yeuh pitulung nanahaon! Deuk ge maneh nu butuh ku pitulung kuring. Mun aya ajag atawa careuh rek ngerekeb maneh, tangtu moal waranieun mun maneh babarengan jeung kuring mah, da sieuneun di teunggar!”domba adu kalah beuki sombong ngomongna teh.
Keur kitu...gaur, gaur! Sora maung ti kajauhan!
Tereleng weh kelinci mah lumpat, sup sup kana liangna nu teu jauh tio dinya. Orokaya domba adu bingungeun kudu ka mana nya lumpat, sabab maung geus deukeut teuing. Mun lumpat pasti kaberik. Rek milu nyumput kana liang kelinci, moal asup da awakna gede teuing, jaba raridu ku tanduk. Kelinci noong tina langna, ngawaskeun paripolah domba. Mimitina mah hatena mupuas nempo domba nu tadi sakitu ngahinana, ayeuna nyanghareupan marabahaya teh. Tapi dasar kelinci mah bageur, hade hate, nempo domba sakitu bingungeunana teh, jadi ngarasa watir. Tereleng manehna kaluar deui tina liangna sarta pok ngomong ka domba adu “Domba nyumput kana gowok, gigireun liang kuring!” ceunah.
“Ah, katewak meureun ku maung, da maung ge asup kana gowok sagede kitu mah!” ceuk domba adu. Beungeutna mani geus pias bakating ku pohara sieunna.
“Moal! Ke ku kuring dilimpudan ku taneuh, ngarah teu kacirieun ku maung! Sok-sok buru-buru, bisi maung torojol manten!” ceuk kelinci.
Sangges domba merenah nyangkerok dina gowok, gancang kelinci kokoreh kana taneuh ngebul hareupeunana. Sewur...sewur taneuh ngebul teh nutupan gowok. Kelinci naker tanaga, mani pakupis ngorehan taneuh sabab sieun maung kaburu datang. Sangges beres, kelinci tibuburanjat asup deui kana liangna sabab maung geus deukeut pisan.
Kelinci jeung domba adu cricing, jarempe ngadedempes di tempatna masing-masing. Maung kalantang-kulinting keneh, neangan susuganan aya domba, atawa peucang, atawa naon we nu bisa dihakan. Tapi geus sidik euweuh mah, leos we ngaleos bari garam-gerem jeung guar-gaur. Gendok meureun pedah teu beubeunangan nanon.
Sangges sidik maung geus jauh, kurumuy domba adu kaluar tina panyumputanana, mani kuyumut. Terus gigibrig jeung gogodeg, nurunkeun kekebul nu narapel sakujur buluna. “Duh nuhun teuing, Kelinci! Kuring kacida tumarimana kana kahadean maneh. Kumaha petana kuring mulang tarimana?” ceuk domba adu bari kalamas-kelemes semu era.
“Lah, teu kudu mulang tarima sagala, da kawajiban, papada mahluk kudu silih tulungan....” tembal kelinci bari soleh naker, “....ngan pamenta kuring mah, maneh tong sok resep ngahina ka batur teh. Ulah kena-kena awak badag sarta gagah, kanu leutik teh mani embung ngahargaan pisan!” ceuk kelinci leuleuy
“Heueuh, hampura we, rumasa kuring teh salah, gede dosa. Pek cirikeun ti ayeuna ka hareup mah kuring rek ngomean adat, moal daek huna-hina, malah deuk nyaah kanu leutik teh,” ceuk domba adu terus jeung hate. Teu jalir tina jangjina domba adu teh. Enya ti harita mah adat sombongna teh leungit. Ka nu leutik nyaah. Sosobatannana jeung kelinci beuki raket bae.
========================================================================
Manuk Gagak Nu Hayang Kapuji
========================================================================
Aya gagak maling dengdeng ti pamoean. Geleber hiber bari ngaheumheum dengdeng tea kana tangkal dadap sisi lembur. Kabeneran harita katangeneun ku anjing nu kacida kabitaeunana da puguh kabeukina. Kusabab kitu, ku anjing disampeurkeun. Tapi sanggaus anjing aya dihandapeun, boro-boro ditanya teu direret-reret acan.
Anjing mikir piakaleun supaya dendeng tea kapimilik ku manehna. Sanggeus manggih anjing ngomong, Leuh aya manuk alus-alus teuing. Pamatukna panjang bulu hideung tapi mani lemes kitu. Manuk naon nya ngaranna? Kawasna mah moal aya tandingna dibandingkeun jeung cendrawasih ge moal eleh.”
Mimitina mah omongan anjing teh teu didenge . Tapi sanggeus aya omongan moal eleh ku cendrawasih, gagak atoheun pisan. Manehna kungsi beja yen cendrawasih tehmanuk pang hadena. Tapi ceuk anjing manehna moal eleh”. Kitu nu matak manehna ngarasa ngeunah kupamuji anjing. Malah ceuk pikirna deui asa haying ngabagi dengdeng jeung anjing. Ngan kusabab hese meulahna kahayangna teu kalaksanakeun.
Anjing nempo beungeut gagak marahmay sanggeus dipuji ku manehna. Ceuk pikirna pasti usahana hasil. Ceuk pikirna deui naon hesena muji-muji keur ngahontal kahayangna.Kusabab kitu pok deui anjing,”Lamun daekeun mah haying nyobat jeung manuk nu sakitu lucuna. Ngan rumasa sorangan mah sato hina. Saumur-umur kudu ngadunungan, sare digolodog, rajeun manggih hakaneun oge pasesaan. Tapi najan teu bisa nyobat oge jeung manuk lucu, atuh ngadenge-ngadenge sorana. Meureun moal panasaran teuing!”.
========================================================================
Kuya Nyieun Suling
========================================================================
Sakadang kuya manggih tulang maung ti leuweung. Ceuk pikirna alus lamun
dijieun suling. Ngan kusabab menehna mah teu bisaeun ngaliangan, kapaksa menta
tulung kasakadang bangbara. Sanggeus diliangan tulang maung teh bisa ditiup.
“Tret trot tret trot,
suling aing tulang maung,
diliangan ku bangbara,
torotot heong.”
Ngan ceuk pikir kuya masih keneh kurang alus, kudu ditroktrokan heula. Harita
keneh manehna nepungan sakadang caladi. Kabeneran caladi teh daekeun. Sanggeus
ditroktrokan mah suling teh rada alus.
“Tret trot tret trot,
suling aing tulang maung,
diliangan ku bangbara,
ditroktrokan ku caladi,
torotot heong.”
Sakadang kuya ngarasa can sugema, sabab ceuk rasana suling teh tacan sampurna. Keur nyampurnakeunana kudu dipasieup heula. Ceuk dina pikir kuya nu ahli masieup teu aya deui lian ti sakadang sireupeun. Harita keneh kuya indit nepungan sireupeun. Sanggeus dipasieup suling teh ditiup deui.
“Tret trot tret trot,
suling aing tulang maung,
diliangan ku bangbara,
ditroktrokan ku caladi,
dipasieup ku sireupeun,
torotot heong.”
========================================================================
Manuk Gagak Anu Pimter
========================================================================
Kacaritakeun di urang kungsi halodo banget. Nu dimaksud ku halodo banget tehhalodo pisan.Henteu ari nepi ka teu ay amah. Nu ngarala cai kudu jauh sabab din u deukeut mah geus teu aya. Wahangan saat, talaga ngoletrak, sirah cai ge nu biasana ngagelenggeng ka luarna ukur sagede cinggir. Sumawona ledeng jeung sumur geus teu caian.
Waktu halodo banget nu susah kucai teh lain ngan jelema. Sato hewan jeung tutuwuhan ge saenyana susah. Kacaritakeun dina jaman kitu, aya gagak kacida halabhabeunana hayang nginum . Neangan cai ka wahangan jeung talaga mah teu manggih. Ngan kebeneran atuh dina gentong dina hiji saung nu jauh ka ditu ka dieu bet aya cai. Hanjakal caina saeutik ukur sapertiluna meureun.
Si gagak teheuntreup dina biwir gentong tuluy nyoba-nyoba ngarongkong cai ku pamatukna. Ngan hanjakal teu katepi teu antel-antel acan. Ari rek ancrub sieuneun tilelep. Ku sabab kitu gagak tehbati gereget, kieu teu bisa kitu teu bisa, ari cai sidik aya.
Gagak uleng mikiran cara ngala cai tina gentong. Sanggeus kapikir, susuganan cai tea rek dibaledog ku batu. Upama aya nu ngecret gancang dipacok.
Ku cara kitu sugan bisa ngubaran halahabna. Teori eta ku manehna dipraktekkeun. Hanjakal hasilna kurang nyugemakeun.Ku kitu tea mah newak cai nu ngecret ku pamatukna henteu gampang.
Tapi ku mindeng maledogkeun batu kana gentong, beungeut cai naek. Sihoreng saban batu ngalelep. Nyeredkeun cai ka luhur. Tina pangalaman pamaledog, gagak baki getol ngasupkeun batu kana gentong. Teu dibaledogkeun deui kawas tadi, da najan aya nu ngacret ogehese newakna, diasupkeun biasa we.
Sanggeus manehna bulak-balik ngasupkeun batu aya kana ratusan kali, tetla beungeut cai dina gentong naek ka luhur, sarta bisa dirongkong ku pamatukna. Geus kitu mah gagak tehngaleklek we nginum saseubeuhna.Sato-sato sejen mah usum halodo banget harita ripuh neangan cai. Manehna mah alhamdulillah da boga dina gentong.
========================================================================
Wawales Ka Nu Telenges
========================================================================
Hiji mangsa sakadang puyuh kacida sediheunnana, sabab anakna sadua-dua anu karek gumuling teu aya dina sayangna. Padahal can lila diparaban. Sabot indung jeung bapak puyuh ka luar tina sayang rek neangan hakaneun keur anakna, ari balik anakna geus teu aya. Nu aya tehngan ukur getih ucrat-acret. Puyuh curiga ka beurit, sabab cenah geus lila Si Monyong tehulal-elol kawas nu keur ngintip. Malah puyuh meunang beja ti cangehgar nu tara bohong, cenah enya nangenan beuritka luar tina saying puyuh bari sungutna pinuh ku getih. Cangehgar teu bisa nulungan da si Monyong kaburu kabur.
Bakat ku ngenes harita keneh puyuh jalu jeung bikang indit ka sayang alap-alap. Barang geus panggih derekdek puyuh jalu nyaritakeun kasedih hatena.
Alap-alap nyanggupan mangnaurkeun kasedih puyuh, cenah si monyong rek dijejewet.
Ti harita alap-alap sok nyumput dina tangkal teureup, panonna mah teu weleh gular giler ka handap nempoan sugan beurit tea ka luar tina sayangna. Kungsi sakali mah alap-alap nyamber si monyong. Ngan nu disamber rikat nyumput kana sayangna handapan tunggul. Ti harita nu diincer ku alap-alap tehteu ka luar deui.
Ari beurit sanggeus rumasa boga dosa ngahakan anak puyuh, bari dirina ngarasa diancam ku alap-alap, dina hiji peuting kabur. Ngan di perjalanan nyorang wahangan. Manehna teu biasaeun meuntas. Keur huleng jentul di sisi wahangan naha atuh ari gajlok tehbangkong hejo ka hareupeun nana. Puguh we beurit tehkacida reuwaseunana, disangkana alap-alap ngudag, Ceuk beurit, “Alah sampean mah ngareureuwas!” .
“Naha make reuwas sakadang beurit, kawas boga dosa!” ceuk bangkong. “Rek kamana ieu tehwayah kieu geus aya di dieu?” ceuk bangkong deui.
Ngadenge omongan bangkong kitu teh beurit balaham-belehem asa kasindiran. Tungtungna mah beurit waleh hayang dipangmeuntaskeun, sabab cenah aya perlu ka beulah ditu. Bangkong nyanggupan ngan cenah kudu isuk dimana geus caang, sabab harita mah poek keneh.
Isukna bangkong nalian suku beurit beulah hareup. Tungtung tali nu sabeulahna deui ditalikeun kana sukuna beulah tukang. Geus kitu gajlok bangkong ka wahangan atuh beurit kagugusur. Ti dinya mah soloyong we bangkong ngojay ka tengah wahangan. Puguh we bangkong beurateun biasana ngojay sorangan ari harita kudu meuntaskeun beurit.
Barang nepi ka tengah-tengah wahangan, bangkong tehhayangngaheureuykeun beurit. Ti dinya bangkong teh teuleum ka dasar wahangan. Atuh beurit ka bawa. Beurit gogorowokan embung di bawa teuteuleuman da cenah eungap. Tapi ku bangkong teu didenge, lep teuleun deui. Ku sabab sababaraha kali di bawa teuleum, tungtungna mah beurit nepi ka hanteuna, paeh. Geus kitu mah bangkong seuri bari ambang-ambangan.
Keur kitu teu kanyahoan ti tadina, kalayang alap-alap nu ngincer beurit ti kamari, seot nyamber beurit nu geus jadi bangke, ber dibawa hiber ka awang-awang. Atuh bangkong ge ka bawa, roroesan paureun, da tara biasa ngapung.
Mokaha we poe harita alap-alap meunang kauntungan. Sanggeus meakeun beurit nu sakitu lintuhna, bibilasna ku bangkong hejo.
=======================================================================
Kuda Hade Budi
=======================================================================
Aya Maung eukeur mah geus kolot katambah gering, ngalungsar handapeun tangkal kai bari gegerungan. Sato-sato nu kungsi menang kanyeri ti manehna ngarumpul ngariung nu keur gegerungan tea. Ceuk Munding, “Ah siah make gegerungan! Rek nyambat ka saha? Moal aya nu nyaaheun ka sia mah! Sato jahat!” Munding ngomongna kitu bari ngagadil nu keur gegerungan. Nempo kalakuan Munding kitu sakur sato nu harita aya di dinya sareuri akey-akeyan.
Kabeh sato nu aya di dinya ngaheureuykeun Maung nu keur sakarat, kajaba sakadang Kuda. Nempo sato-sato sejen galumbira teh manehna mah ukur gogodeg. Ceuk Domba, “Kunaon sakadang Kuda kalah gogodeg kitu? Lain tejeh tah si Belang teh ku sampean! Lain baheula si Belo ditekuk?” Tembal Kuda, “Kaula mah lain teu ngewa kana kalakuan Maung teh. Ngan waktu ieu kaayaanana pan keur gering parna. Manehna teh keur sakarat, sakeudeung deui oge paeh. Kuduna mah sato nur keur sakarat teh ulah dihareureuykeun kitu. Meureun ceuk batur teh, rajeun aya kawani ka anu keur sakarat!” Sanggeus ngadenge omongan Kuda kitu, sakur sato nu aya di dinya jempe sarta patinglaleos ka leuweung deui.Dicutat tina: Bacaan Barudak “Kuda Hade Budi”
========================================================================
Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet Ngala Nangka
========================================================================
Kacaritaheun sakadang monyet jeung sakadang kuya keur sarare disisi hutan deukeut walungan, dina tangkal kiara. Sakadang kuya mah sare dihandap disela-sela akar, ari sakadang monyet mah sare dina dahan anu panghandapna, teu pajauh. maksud teh ngameh bisa bari ngobrol memeh sare, atawa bisa silih geuingkeun bisi aya nanaon. Dug weh duanana sare mani tibra.
Teungah peuting sakadang monyet nyaring, terus ngahudangkeun sakadang kuya. "Sakadang kuya, sakadang kuya.." ceuk sakadang monyet
"naon sakadang kuya" tembal sakadang monyet
"kuring ngimpi manggih tangkal nangka anu buahna geus arasak, dina mimpi teh katingali deuih tempatna dimana" ceuk sakadang monyet
"dimana ?" ceuk sakadang kuya
"diteungah leuweung" ceuk monyet
"keun atuh isuk wang teang, ayeunamah sare deui we da peuting keneh." tembal kuya
ari geus kitu teh dug weh sakadang monyet mah langsung sare, meni dug sek. ari sakadang kuya mah hulang huleng keneh dan hese sare deui.
Keur hulang huleng kitu, sakadang kuya ngadenge sakadang monyet ngalindur, pokna teh "Ah isukan mah kuurang rek dihakan eta nangka teh kusorangan, keun we da sakadang kuya mah teu bisaeun naek tangkal ieuh,, hahaha"
Ngadenge kitu, sakadang kuya ngahuleung, kapikiran caritaan sakadang monyet keur ngalindur. kapikiran, sok sieun bener. sanggeus rada lila mikiran, akhirna manehna meunang akal. trus dug weh sare.
Isuk-isuk sakadang monyet geus hudang tuluy ngageuingkeun sakadang kuya.
"Kuya, kuya, geura hudang buru, wang teang nangka tea" ceuk sakadang monyet
"Kela atuh tunduh keneh.." tembal sakadang kuya
"Eeh buru, kaburu kubatur" ceuk sakadang monyet bari ngoyag ngoyag awakna ngameh hudang
"Nya hayu atuh ari kitu mah" ceuk sakadang kuya bari lulungu keneh
Arindit weh maranehna teh katempat tangkal nangka nu aya dina mimpi sakadang monyet. Ari pek teh bener, tangkal nangka eta teh aya.
ceuk kuya, "Sok atuh monyet gera naek, da urang mah teu bisa naek tangkal.."
"Kela, urang teu bisa ngabedakeun mana nangka nu asak jeung mana nangka nu atah keneh kuya" ceuk monyet memeh naek
Bari seuri dina hate sakadang kuya ngajawab, "Lamun sorana plek plek plek berarti nangka eta geus asak, lamun sorana pluk pluk pluk berarti nangka eta atah keneh.."
"Oh heug atuh" ceuk sakadang monyet bari langsung nerekel naek. bari gagalantungan neangan nangka, dina jero hate na manehna ngomong, "kuurang mah rek dibere nu atah we sakadang kuya mah, keun we lamun protes naha mere nu atah, rek dititah naek tangkal we. hahaha"
terus weh ngalaan nangka si monyet teh, anu sorana plek plek plek mah diteundeun diluhur keur didahar kusorangan, ari nu sorana pluk pluk pluk mah dialung-alungkeun kahandap. padahal mah nu asak mah lain nu sorana plek plek plek, tapi nu sorana pluk pluk pluk anu dialung-alungkeun ka si kuya.
Nya puguh we pas sakadang kuya ngadahar nangka teh lainna amis, malah narapel si geutahna kana awak jeung kana biwir.
"Uya, aha nanga urang mah atah euningan ? ceuk sakadang monyet bari balelol ngomongna da biwirna pinuh ku geutah.
"Apan maneh anu ngalung-ngalungkeun kahandap mah, urang mah ngan saukur narima hungkul." bari keur ngadahar nangka teh, tereh beak.
"Ah manehmah tega ka babaturan teh, maenya urang dibere anu atah" bari cireumbay da teu ngadahar nangka asak.
Akhirnamah sakadang kuya balik bari wareug, ari sadakang monyet mah indit duka kamana da baeud tea.
=======================================================================
Sangkuriang Jeung Tangkuban Parahu
=======================================================================
Kacaturkeun di hiji leuweung aya bagong putih. Eta bagong teh gawena ngan tatapa bae, geus mangpuluh-puluh taun. Ari anu ditapaan ku manehna, hayang boga anak awewe sarta bangsa manusa.
Dina hiji waktu bagong putih ngarasa hanaang. Manehna indit ka hiji tegalan, deukeut walungan Citarum. Barang datang kadinya, manggih batok balokan, hartina urut anu meulah dawegan. Loba pisan eta batok balokan teh, urut nu moro uncal kadinya. Aya hiji batok balokan urut tuang Kangjeng Prabu. Barang geus marulang, kapanggih ku bagong putih. Lantaran hanaang, leguk bae cai anu ngemplang dina batok teh diinum. Ari geus nginum kawas aya nu nyaliara kana awak bagong putih, kawas nu ngandeg reuneuh bae.
Lila-lila bagong putih teh reuneuh beuki gede. Ari gurbrag orokna jelema sarta awewe geulis. Pohara bae bagong putih teh atoheunana. Anakna diciuman, digalentor bari disusuan.
Eta orok teh tuluy dingaranan Dayang Sumbi.
Nalika geus gede, pok Dayang Sumbi teh nanyakeun bapa, "Ibu, ari bapa kuring teh saha ?
Naha jelema kawas kuring atawa bagong sperti Ibu ?"
"Euh, Nyai anu geulis anak ibu.. Nyai mah henteu boga bapa. Mun enya mah boga bapa, meureun aya didieu." tembal bagong putih.
"Euh, piraku Ibu, sakabeh mahluk ge kapan pada boga bapa, boh manusa boh sato hewan.
Ngan bangsa kakaian anu henteu boga bapa mah."
Lantaran anakna pok deui pok deui nanyakeun saban waktu, ahirna bagong putih teh balaka.
"Bapa hidep mah Kangjeng Prabu, diditu ayana di karaton, " cek bagong putih. Ngadenge kitu Dayang Sumbi pohara reuwaseunana, jeung ujug ujug panasaran, hayang nepungan bapana.
"Lamun kitu mah ayeuna keneh ku kuring rek ditepungan, " cek Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi kebat bae indit, ngajugjug ka karajaan. Ku Kangjeng Prabu tuluy diaku anak, diperenahkeun di hiji tempat sarta dititah diajar ninun ka tukang ninun. Teu lila oge Dayang Sumbi geus maher ninun kaen. Ku Kangjeng Prabu tuluy dipangnyieunkeun saung ranggon anu luhur ditengah leuweung. Ari baturna ngan saukur anjing hideung nu ngaran Si Tumang.
Dina hiji waktu nalika Dayang Sumbi keur ninun, taropongna murag ka kolong saung.
Lantaran seunggah kudu turun, pok bae manehna ngomong sorangan.
"Leuh, mun aya nu daek mangnyokotkeun eta taropong, tangtu bakal diaku salaki ku kuring."
Kabeneran pisan dikolongteh aya si Tumang, anu ngadengekeun omongan Dayang Sumbi. Eta taropong teh dicokot ku siTumang sarta tuluy dibikeun ka Dayang Sumbi.
Karuhan bae Dayang Sumbi pohara reuwaseunana, teu nyangka yen anu mangnyokotkeun taropong teh anjing, lain manusa. Mangkaning manehna geus kedal ucap, rek ngaku salaki.
Dayang Sumbi rumasa geus kapalang kedal ucap. Kawas geus kitu katangtuan ti Dewata, manehna tuluy hirup paduduaan jeung Si Tumang. Tepi ka hiji waktu kakandungan. Brol ngajuru, anak lalaki, dingaranan Sangkuriang.
Sangkuriang sok resep ulin lulumpatan kadua Si Tumang, Sakapeung bari mamawa tumbak. Belewer dilempagkeun, cleb nanceb kana tangkala kai. Sangkuriang sorak sorangan, bungah lantaran tumbakna meneran. Si Tumang dihucuhkeun. Sebrut lumpat, ngudag kana tangkal kai, bangun keur ngudag sato boroan.
Sangkuriang beuki maher bae ngalempagkeun tumbakna. Tuluyna mah lain saukur ulin lulumpatan, tapi mimiti diajar ngasruk ka leuweung, neangan sato boroeun. Moro sato naon bae, careuh, peucang, atawa mencek.
"Jung geura moro ka leuweun, Ibu mah hayang dahar jeung ati mencek," cek Dayang Sumbi hiji waktu.
Sangkuriang tuluy indit ka leuweung, dibarengan ku Si Tumang.
Aneh pisan poe eta mah sasatoan teh henteu aya nu katenjo ngaringkang hiji-hiji acan. Padahal ilaharna mah sok katenjo uncal atawa mencek keur rendang nyarautan di tegalan. Poe harita mah kawas ngaleungit ka mana boa. Sangkuriang geus asruk-asrukan ka saban tempat, ka lamping tegalan. Lapur sasatoan teh teu kasampak tapak-tapakna acan. Ari si Tumang bet ngadak ngadak kebluk deuih, henteu daek lulumpatan neangan sato boroeun. Awahing ku jengkel teu beubeunangan, ngan lekek bae Si Tumang teh dipeuncit ku Sangkuriang. Atina dibawa balik sarta dipasrahkeun ka indungna. Dayang Sumbi puguh bae kacida atohna, dagdag-degdeg ngasakan eta ati. Ngan barang Sangkuriang balaka yen eta ati teh ati Si Tumang lain ati mencek, Dayang Sumbi pohara ambekna. Sangkuriang ditoktrok sirahna ku sinduk nepi kan ngucur getihan.
Sangkuriang tuluy pundung, indit ti imahna ngajugjug ka tebeh wetan. Mangtaun taun leuleuweungan tepi ka ahirna bras anjog ka nagara siluman. Di dinya Sangkuriang guguru elmu kasaktean ka siluman nu wujudna oray naga. Sangkuriang ngulik elmu Tumbul Muda. Jalma anu miboga eta elmu bakal bisa meruhkeun sakumna jin jeung siluman. Sanggeus elmuna kataekan, Sangkuriang dijurungan sina indit deui ngalalana.
Dina hiji waktu manehna anjog deui ka nagara siluman. Lantaran geus boga elmu kasaktean, Sangkuriang bisa ngalelehkeun jin jeung siluman nu aya di eta nagara. Eta mahluk bangsa lelembut teh tuluy tunduk ka Sangkuriang.
Demi Dayang Sumbi, sanggeus ditinggalkeun ku anakna, manehna ngarasa kaduhung kabina-bina, Hirupna estu nunggelis. Manehna tuluy indit ka tebeh kulon, rek neangan Sangkuriang. Ngaprak ngalalana tepi ka anjog ka gunung Halimun. Di dinya Dayang Sumbi patepung jeung raja jin anu keur tatapa. Dayang Sumbi tuluy diajar rupa rupa elmu kasaktean. Sanggeus tamat guguruna, manehna dijurungkeun sina indit deui ka tebeh wetan. Di hiji tempat nu katelah Gunung Bohong manehna nganjrek bumetah.
Kocapkeun Sangkuriang terus bae ngalalana. Mileuweungan migunungan tepi ka puluh puluh taunm tepi ka ahirna anjog ka hiji gunung. Manehna patepung jeung awewe nu kacida geulisna. Sangkuriang bogoh sarta ngajak kawin ka eta awewe, anu saenyana eta awewe teh Dayang Sumbi, indungna sorangan. Dayang Sumbi nya kitu deui, bubuhan geus papisah mangpuluh puluh taun, manehna kalinglap. Meh bae daek diajak kawin. Ngan basa Sangkuriang keur disiaran rek diala kutu, dina sirahna katenjo bet aya ceda. Dayang Sumbi ngagebeg, reuwas lain dikieuna. Manehna kakara inget, moal salah ieu lalaki teh anak aing gerentesna, Snagkuriang anu baheula kungsi ditoktrok sirahna ku sinduk.
Sanajan geus ditetelakeun yen manehna teh anak pituin, Sangkuriang teu percaya sarta keukeuh bae ngajak kawin. Mireungeuh anakna kitu, geuwat wae dayang sumbi nyiar akal.
"Heug kami daek dikawin, asal pangnyieunkeun talaga jeung parahuna keur lalayaran urang papanganten. Eta talaga jeung parahu teh kudu anggeus dijieun sapeuting," ceuk Dayang Sumbi. Ku Sangkuriang disanggupan eta pamenta anu kacida banggana teh.
Harita keneh Sangkuriang tuluy ngabendung walungan Citarum. Digawe teu eureun eureun sapeupeuting, dibantuan ku bangsa jin jeung siluman. Nincak janari, talaga teh geus ngemplang. Kari nyieun parahuna. Kabeneran aya tangkal kai gede, gedok dituar. Kai teh tuuy ditilasan regangna sarta dipapas dijieun parahu.
Dayang Sumbi yakin yen pamentana moal katedunan. Pimanaeun teuing nyieun talaga jeung parahu bisa anggeus sapeuting, cek pikirna. Tapi basa katenjo talaga geus ngemplang jeung parahuna geus ngabagus rek anggeus, manehna kacida reuwasna. Dayang Sumbi bingung liwat saking. Kudu kumaha carana, sangkan aing teu tulus kawin, cek pikirna. Ras manehna inget kana boeh rarang. Geuwat bae eta boeh dicokot tuluy dibawa ka mumunggang. Ku manehna dikebut- kebutkeun, tepi ka bijil cahaya bodas kawas balebat dibeulah wetan. Dadak sakala sasatoan leuweung disarada. Manuk recet. Haam raong kongkorongok. da disangkana geus beurang.
Sangkuriang ngagebeg barang nenjo di wetan geus bijil balebat. Manehna nu keur ngageduk nganggeuskeun parahu tuluy ngahuleng awahing ku reuwas. Bijil balebat tandana geus beurang. Mangka parahuna can anggeus, hartina manehna moal tulus papanganten jeung Dayang Sumbi.
Bakating ku handeuheul kabina bina, ngan jedak bae parahuna ditajong satakerna. Bubuhan jalma sakti, parahu teh mengpeng jauh pisan. Gubrag di hiji tempat, parahu teh nangkub. Jleg salin rupa jadi gunung. Eta gunung teh kiwari katelah Gunung Tangkuban parahu. Ari talaga nu ngemplang ku Sangkuriang didupak tepi ka caina saat ngoletrak. Eta urut talaga teh kiwari jadi padataran Bandung anu nampar lega pisan. Tunggul kai urut nuar Sangkuriang tuluy ngajanggelek jadi Gunung Bukit Tunggul, wetaneun Gunung Tangkuban Parahu. Ari regang kai anu ngahunyud sarta geus rangrang teu daunan, tuluy ngajanggelek jadi Gunung Burangrang di beh Kulon.
=======================================================================
Situ Bagendit
=======================================================================
Di Wewengkon Banyuresmi Kabupaten Garut, aya situ anu neplak lega ngarana. Situ Bagendit. Pamandangan di Situ Bagendit pohara endahna. Nepi ka ayeuna oge sok loba nu ulin ka Situ Bagendit, ngadon lalayaran jeung balakecrakan.
Ceuk ujaring carita, baheulana mah di eta wewengkon eteu aya situ teu sing. Nu aya teh ngaran pilemburan jeung pasawahan wae. Ari dongengna nepi ka aya situ teh kieu.
Di tengah lembur aya imah anu nenggang ti nu sejen. Nenggang soteh lain hartina anggang tapi nenggang bedana ti nu imah nu aya di sabudeureunana. Di lembur eta teu aya deui nu imahna nu mapakan gedena jeung sigrongna salian ti imah Nyi Endit.
Nyi Endit teh randa pangbeungharna di eta lembur. Imahna oge pas sakitu agrengna, atuh pakayana lain ukur lega sawahna jeung kebonna, emas jeung berlian ge dipetian.
Nyi Endit mah lain wae kasohor ku beungharna tapi oge kasohor ku peditna. Sakitu rajakaya ngaleuya, asup kana paribasa "bru di juru bro di panto ngalayah di tengah imah" tapi tara daek barang bere atawa tutulung ka nu butuh. Hasil tatanen kajeun buruk jadi runtuh batan dibikeun ka tatangga mah.
Padahal di eta lembur teh teu saeutik jalama anu sangsara, loba jalma anu dahar isuk henteu sore. Malah teu saeutik anu maot alatan ku kalaparan. Eta oge sok aya anu lahlahan nepungan Nyi Endit niat menta tulung, tapi lain dibahanan ku pangbutuh kalah diusir bari dicarekan.
Teu saeutik jalma anu nyeri hate nepi ka ceurik balilihan kanyenyerian ku Nyi Endit. Loba rahayat anu carinakdak lantaran teu ngeunah ku paripolah Nyi Endit nu taya pisan boga niat nalang ka nu keur susah.
Cunduk dina hiji waktu, aya aki-aki rudin leumpangna jajarigjeugan kundang iteuk. Ku saliwat nu carinakdak lantaran teu ngeunah ku paripolah Nyi Endit anu taya pisan boga niat nulungan nu keur kalaparan. Nu dijugjug ku aku aku teh imah Nyi Endit.
Barang nepi ka buruan gedong teh aki aki usuk salam, Nyi Endit anu kabeneran keur ngadaweung di tepas imah bari balakecrakan lain ditembalan ke kecap nu someah. Nempo aki aki rudin teh Nyi Endit nyirintil bari ngahoak.
"Rek naon datang kadieu, rek barang penta ? Indit! Kami moal rek mikeunan dahareun." Sakitu aki aki lumengis bari nyebutkeun lapar, Nyi Endit boro boro aya rasa karunya kalah popolotot nitah indit.
Memeh ngaleos eta aki aki teh nyarita keneh ka Nyi Endit. "Mangkade anjeun poho, harta banda teh ukur pihapean. Dunya barana mah ngan ukur titipan. Nu ku anjeun dipikaboga mah iwal ti amal hade, jeung kanyaah ka sasama. Lamun nyaah teuing kana dunya urang bisi cilaka!"
Aki aki ngaleos indit tapi samemehna nancebkeun heula iteukna di tengah pakarangan imah Nyi Endit. Nempo iteuk nanceb ku Nyi Endit gancang dicabut bari dibalangkeun. Bet ku aneh, tina urut iteuk nanceb teh kaluar cai. Mimitina mah cai teh ukur ngaburial lila-lila mah mancer tarik pisan.
Cai tina urut iteuk nanceb teu eureun eureun, Mimiti ngan ukur ngumplang dipakarangan, lila-lila leleban caah. Cai beuki ngagulidang, Nyi Endit geumpeur.
Nempo lembur ka keueum ku cai teh Nyi Endit mah lain nyingkah cara batur tapi kalah ngeukeupan peti nu eusina emas berlian.
Teu kungsi lila ti harita lembur salin rupa jadi situ. Lembur jeung harta Nyi Endit kakeueum di jero situ. Ceunah mah ceuk nu nyaho Nyi Endit jadi lentah nu gede nu reunceum ku perhiasan.
Paingan ceuk aki aki tea dunya jeung harta banda ukur titipan. Geuning Nyi Endit ge kalah cilaka ari loba harta bari teu daek amal hade mah.
======================================================================
Si Kabayan Ngala Nangka
======================================================================
Si Kabayan dititah ngala nangka ku mitohana. "Nu kolot ngala nangka teh, Kabayan!" Ceuk mitohana. Kencling Si Kabayan alak-ilik kana tangkal nangka. Manggih nu geus kolot hiji tur gede pisan. Tuluy wae diala. Barang dipanggul kacida beuratna.
"Wah moal kaduga yeuh mawana, "pikir Si Kabayan teh. Tuluy we nangka teh ku Si Kabayan dipalidkeun ka walungan. Jung wae balik tiheula, da geus kolot ieuh!" ceuk Si Kabayan teh nyarita ka nangka.
Barang tepi ka imah, Si Kabayan ditanya ku mitohana.
"Kabayan, meunang ngala nangka teh?"
"Komo we meunang mah, nya gede nya kolot," tembal Si Kabayan.
"Mana atuh ayeuna nangka na?" Mitohana nanya.
"Har, naha can datang kitu? Apan tadi teh dipalidkeun dititah balik tiheula, ceuk Si Kabayan teh.
"Ari maneh, na mana bodo-bodo teuing. Moal enya nangka bisa balik sorangan!" Mitoha Si Kabayan keuheuleun pisan.
"Wah nu bodo mah nangkana, kolot-kolot teu nyaho jalan balik," ceuk Si Kabayan bari ngaleos.
========================================================================
Si Kabayan Ngala Roay
========================================================================
Dina hiji peuting Si Kabayan diajak ngala roay ku mitohana. Isukna, isuk-isuk bral ka haruma, rada jauh ti lemburna. Di jalan taya nu ngomong sakemek-kemek acan, sumawonna Si Kabayan da puguh tunduheun keneh. Tuman hees nepi ka beurang, ari ieu isuk keneh geus digugubrag dititah hudang.
"Teu kaharti ku mitoha," ceuk dina pikirna, kakitu geus kolot na aya kededemes-kadedemes teuing kana dunya teh. Na keur naon dunya ari lain keur nyenangkeun awak? Ari ieu kalah jadi hukuman. Keun sia geura engke..."
Barang nepi ka huma pek ngala roay. Mitohana pohara getolna. Ari Si Kabayan mah meueus-meueus randeg, meueus-meueus janteng, teu kaur beubeunangan balas ngahuleng jeung ngarahuh bawaning sangeuk digawe. Siga-siganamah rada mumuleun Si Kabayan teh.
Luak-lieuk, beh kareret karung wadah roay. Jol aya ingetan pikasenangeun. Gelenyu Si Kabayan imut.
"Mitoha! Mitoha!"
"Heuy!"
"Kula rek ka cai heula ieu mules beuteung. Bisi rada lila, dagoan nya! Ati-ati mun mitoha ninggalkeun!"
"Heug! Ulah lila teuing bae."
"Kumaha engke we, da kasakit mah ari datang kawas kilat, ari undur kundang iteuk."
Bari ngomong teh mitohana tonggoy bae ngalaan roay teu luak-lieuk. Si Kabayan sup asup kana karung wadah roay. Awakna dipurungkutkeun bari ngareumpeukkan maneh ku roay nepi ka teu katembong.
Datang bro mitohana ngabrukkeun roay kana karung, dideuleu karung geus metung, ret ku manehna dicakupkeun dipocong ditalian, dijungjung-jungjung. "Duh beurat naker," omongna. Geus kitu gek diuk ngadagoan Si Kabayan.
Si Kabayan didagoan teh ambleng bae, sedeng poe geus reup-reupan. "Naha Si Kabayan bet ambleung bae?" ceuk mitohana ngomong sorangan. "Moal salah meureun terus balik da gering. Eta mah Si Kabayan, naha aya mangkeluk. Benerna mah bebeja heula ka kolot, rek balik teh. Ieu mah leos bae. Aya jelema."
Rigidig karung roay dipanggul. Edas beurat naker," omongna. "didedet teuing, ieu mani teuas kieu. Bari dirampa-rampa karungna.
Barang datang ka imah, sok diteundeun di dapur dina raranjangan. Tuluy dibuka beungkeutan karung teh ku mitoha awewe, bari ngomong, "Euleuh cukul pelak roay uang teh nya, mani sakieu lobana."
"Hih, tacan kaala kabeh eta ge, da kaburu pinuh, karungna leutik teuing," jawab mitoha lalaki, "Kakara ge saparona meureun, Bari etaeun, manehna, teu ngadenge Si Kabayan, kumaha geringna ?"
"Baruk gering? teu nyaho kaula mah. Panyana jeung andika ka huma."
"Puguh bae tadi isuk, tapi ti dituna balik tiheula, nyeri beuteung."
"Aeh-aeh, kutan! Cik manehna ieu bantuan ngudulkeun roay, beut beurat naker."
Ana bro teh diudulkeun ku duaan, burulu roay bijil sabagian da sereg dina liang karung. Ku sabab mereketengteng karungna dihantem digeujleug-geujleug, na.. ana borengkal teh Si Kabayan ragrag kanna raranjangan morongkol. Mitoha awewe ngajerit bawaning ku reuwas. Mitoha lalaki ngejat mundur ka tukang awahing kaget.
Si Kabayan, "He he he he, da cape!" Bari balaham-belehem.
"Si bedul teh geuning Si Kabayan," ceuk mitoha awewe.
"Da cape, mitoha! Jeung ieuh, ku ngeunag dipunggu ku mitoha teh."
"Aya adat-adatan, na sia kitu peta ka kolot teh!" ceuk mitoha awewe. Ari mitoha lalaki mah leos bae ka imah. Hatena ngunek-ngunek ambek, hayang males.
"Isuk mah anggeuskeun ngala roay teh jeung Bapa, Kabayan! Sing bener ulah goreng polah kitu ka kolot pamali deuleu matak doraka," ceuk mitoha awewe.
"Heug, moal mitoha."
Isukna bral Si Kabayan jeung mitoha lalaki ka huma deui. Datang-datang retop metikan roay, garetol naker. Mitohana ret deui ret deui ngareret ku juru panon ka Si Kabayan. Si Kabayan tonggoy bae ngalaan roay. Sigana mah inget kana papatah mitoha awewe, estuning junun ayeuna mah kana gawena teh.
Nempo Si Kabayan jongjon digawe, kuliwed les bae mitohana teh. Si Kabayan mah terus bae ngalaan roay nepi ka karungna tea pinuh pisan. Ret dipangrodkeun liang karung teh. Reketek ditalian.
"Na kamana mitoha bet euweuh? Moal salah ninggalkeun meureun, keuheuleun keneh urut kamari. Kajeun ah! Aing ge rek balik. Rek digusur bae ieu karung teh, da teu kabawa dipanggul mah," bari ngomong kitu, bluk karung teh digulingkeun. Durugdug digusur.
"Kabayan! Kabayan!" Ceuk sorajero karung. "Ieu aing, mitoha sia ulah digusur!"
Reg Si Kabayan eureun, "Ah puguh roay, roay!" Bari gaplok dipeupeuh karung teh. Durugdug digusur deui.
"Kabayan! Bapa deuleu ieu, lain roay!"
"Roay! Roay! Bari terus digusur.
Barang datang ka dapur, gebrug ditinggalkeun kana raranjangan, "Ek!" Sora jelema nu titeundeut.
"Tah mitoha awewe, roay sakarung!" Bari leos manehnamah indit ka cai.
Barang diudulkeun eusina, gurubug salakina ragrag bari gegerungan. Awakna daronglak raraheut urut digugusur anu sakitu jauhna. Pamajikanan teu kira-kira kageteunana tuluy diubaran ku cilebu. Meunang dua poe mitoha lalaki teu bisa hudang-hudang acan.
========================================================================Si Kabayan Ngadeupaan Lincar
========================================================================
Si Kabayan jalma miskin taya kaboga. Di sakampung eta mah pangmalaratna bae meureun. Imahna teu beda ti saung butut. Ari pagaweanana, kitu we buburuh ngored.
Beda deui jeung tatangga Si Kabayan, bandar munding anu kacida beungharna. Sawahna lega, kebonna puluhan hektar, imahna ge nya gede agreng.
Sakali mangsa tatangga Si Kabayan teh hajat gede, ngawinkeun anakna. Ondangna kacida lobana, boh ti nu jauh boh ti nu deukeut. Carek wiwilanganana salembur eta mah diondang kabeh, iwal ti Si Kabayan.
Si Kabayan jeung pamajikanana teu kira kira we nalangsaeunana. Tuluy wae Si Kabayan teh ngalaan baju, kencling indit ka pipir imah nu boga hajat, pek ngadeupaan lincar.
"Sadeupa, dua deupa, tilu deupa...," cenah.
Semah kacida kageteunana, nenjo kalakuan Si Kabayan kitu teh. Sarerea ngariung nenjokeun Si Kabayan ngedeupaan imah nu boga hajat.
Pribumi oge norojol barang ngadenge ribut-ribut diluar teh, gancang kaluar. Ari ret ka Si Kabayan, manehna ngajenghok, tuluy nanya ka Si Kabayan.
"Kunaon Kabayan, maneh teh ngadeupaan lincar? Bet eta jeung teu dibaju kitu, kawas budak wae."
Tembal Si Kabayan, "Wah, mun ane kolot ma meren diondang ku didinya gen."
Nu boga hajat pohara eraeunana, rumasa ngabeda-beda jelema. Gancang wae nyarita.
"Kapan ti kamari ge diondang. Manehna mah sok pohoan. Gancang balik, dibaju hela, engke kadieu, sakalian bawa pamajikan," kitu ceuk nu boga hajat teh.
Si Kabayan kacida atoheunana.
=======================================================================
Si Kabayan Ngala Tutut
=======================================================================
Cek Ninina, "Kabayan ulah hees beurang teuing, eeuweuh pisan gawe sia mah, ngala-ngala tutut atuh da ari nyatu mah kudu jeung lauk."
Cek Si Kabayan, "Kamana ngalana?"
Cek ninina, "Kaditu ka sawah ranca, nu loba mah sok disawah nu meunang ngagaru geura.
Leos Si Kabayan leumpang ka sawah nu meunang ngagaru. Di dinya katembong tututna loba, lantaran caina herang, jadi katembong kabeh. Tututna pating goletak. Tapi barang diteges teges ku Si Kabayan katembong kalangkang langit dina cai. Manehna ngarasa lewang neuleu sawah sakitu jerona. Padahal mah teu aya sajeungkal-jeungkal acan, siga jero soteh kalangkang langit. Cek Si Kabayan dina jero pikirna, "Ambu-ambu, ieu sawah jero kabina-bina caina. Kumaha dialana eta tutut teh? Lamun nepi ka teu beunang, aing era teuing ku Nini. Tapi eta tutut teh sok dialaan ku jalma. Ah, dek dileugeutan bae ku aing."
Geus kitu mah Si Kabayan leos ngala leugeut. Barang geus meunang, dibeulitkeun kana nyere, dijejeran ku awi panjang, sabab pikirna dek ti kajauhan bae ngala tututna moal deukeut-deukeut sieun tikecebur, Si Kabayan ngadekul, ngaleugeutan tutut meh sapoe jeput, tapi teu aya beubeunanganana, ngan ukur hiji dua bae. Kitu oge lain beunang ku leugeut, beunang soteh lantaran ku kabeneran bae. Tutut keur calangap, talapokna katapelan ku leugeut tuluy nyakop jadi beunang. Lamun teu kitu mah luput moal beubeunangan pisan, sabab ari dina jero cai mah eta leugeut teh teu daekeun napel, komo deui tutut mah da aya leuleueuran. Di imah ku ninina didagoan, geus ngala salam, sereh jeung koneng keur ngasakan tutut. Lantaran ambleng bae, tuluy disusul ku ninina ka sawah. Kasampak Si Kabayan keur ngaleugeutan tutut.
Cek ninina, "Na Kabayan , ngala tutut dileugeutan?"
Cek Si Kabayan, "Kumaha da sieun tikecebur, deuleu tuh sakitu jerona nepi ka katembong langit."
Ninina keuheuleun. Si Kabayan disuntrungkeun brus ancrub ka sawah. Cek Si Kabayan, "Heheh ei da deet."
========================================================================
Si Kabayan Ngalamun
========================================================================
Mitoha Si Kabayan Keuheuleun pisan, sabab Si Kabayan sok ngalamun wae. Digawe bari ngalamun, dahar bari ngalamun, mandi bari ngalamun, komo dipaciringan mah beuki anteng ngalamuna teh...
Sakali mangsa Si Kabayan manggih endog meri, ngagoler dina jarami di sawah mitohana. Si Kabayan atoheun pisan, gancang endog meri teh dibawa ka imah ditembongkeun ka pamajikanana.
"Sukur, ka dieu urang kulub, keur Si Encid," ceuk pamajikan Kabayan.
"Montong", tembal Si Kabayan, "Anggurmah rek dipegarkeun, dihijikeun jeung hayam bapa, nu ayeuna keur nyileungleum" tembal Si Kabayan. Ti dinya endog teh di teundeun hareupeunana bari ditaksir.
"Kumaha akang wae atuh, ngan ayeuna mihape budak, uing rek ngisikan hela" ceuk pamajikanana bari ngajingjing boboko rek ngisikan di pancuran.
"Endog teh pasti megar, heug bikang, engke pasti ngendog deui. Upamana wae ngendogna sapuluh terus di pegarkeun deui, megar deui jadi boga sabelas meri tah, pek kabeh ngendog deui, mun endogna sapuluhan jadi boga 110 endog, beuki lila meri beuki loba. Endogna oge pasti beuki loba. Aing rek jadi bandar endog, endog di jualan aing jadi loba duit. Duitna dibeulikeun domba bikang. Dombana baranahan tepi ka aing loba domba. Dombana dijual ka pasar, terus dibeulikeun munding sarakit. Munding oge baranahan, aing bakal loba mungding.. adeuh.. huhuy.. munding aing mani loba di sawah...."
Keur kitu, geprak wae endog Si Kabayan teh dibaledog ku pamajikanana tepi ka peupeus, sihoreng endog teh kacingcalang.
"Kabayan, cing atuh kana ngalamun teh mani kamalinaan, tuh tenjo Si Encid mani buncunur sirahna tidagor kana tihang, da diantep wae..."
Si Kabayan kalahka molotot ka pamajikanana.
"Kunaon munding aing di ruksak ku maneh..? Rasakeun ieu paneunggeul.." ceuk Si Kabayan bari ngamang-ngamang sapu.
Pamajikan Si Kabayan sieuneun, tuluy lumpat ka imah kolotna, bari ngais budak. Si Kabayan ngudag bari angger ngamang ngamang sapu.
Mitohana norojol ti imah, tuluy nanya ka Si Kabayan.
"Kunaon maneh teh Kabayan kawas nu teu eling.."
"Bongan munding uing di ruksak ku Si Iteung.."
"Na timana maneh boga munding?"
"Pan tina ngajual ladang entog asal na mah.." tembal Si Kabayan
"Bohong ketang, ngalamun wungkul, barina ge endogna kacingcalang.." Si Iteung nambalang.
"Euh kitu.." ceuk mitohana.. , "paingan atuh kebon aing, mani ledug di ranjah munding, ari maneh boga munding mah, hayoh gantian, mun teu digantian di laporkeun ka pulisi."
"Ampun pa.." ceuk Si Kabayan "Abdi mah teu gaduh bulu-buluna acan munding teh, eta mah ngalamun. Hayu Iteung urang balik.." Si Kabayan ngajak balik pamajikanana. Mitohana gogodeg.
Isukna Si Kabayan dititah ngala kalapa ku mitohana, tina sapuluh kalapa, Si Kabayan bakal di buruhan kalapa sa hulu. Si Kabayan atoheun pisan, terekel wae naek kana tangkal kalapa rek nfala kalapa nu kolot.
Barang nepi ka luhur tuluy diuk sidengdang dina sela-sela dahan kalapa, teng wae ngalamun.
"Buruh ngala kalapa rek dijual, ladangna di beulikeun kana endog hayam, tuluy di pegarkeun, pek di ingu. Hayamna beuki loba, endogna ge rea deuih, endog di jual ka pasar, aing jadi bandar endog. Tina ladang endog aing rek meuli domba, domba oge ngareaan.. aing jadi bandar domba, tina bati domba aing rek meuli munding.. eh ketang moal, moal meuli munding bisi ngaruksak sawah mitoha.. ah rek meuli kuda wae. Kudana kuda balap.. Kuda Ustrali nu jangkung tea, aing jokina..plok..plok kudana dilumpatkeun."
Bari ngalamun kitu teh Si Kabayan reurendeukan dina palupuh kalapa.
"Kuda teh beuki tarik lumpatna..horseh kotoplak..kotoplak.." Si Kabayan beuki motah wae diukna dina palapah kalapa, tepi ka palapah kalapa teh pepelenoyan. Kulantaran motah teuing palapah teh potong, Si Kabayan ngoleang kabawa ku palapah kalapa. Gebrus wae ka balong. Untungna kalapa teh sisi balong, Si Kabayan pipina bared keuna regang awi, sukuna tipalitek, untung teu potong oge.
Ti harita Si Kabayan kapokeun, tara ngalamun dina tangkal kalapa.. duka tah mun di tempat nu sejen mah.
Si Kabayan Moro Uncal
Isuk keneh Si Kabayan jeung mitohana geus harudang, lantaran poe eta rahayat rek moro uncal.
Urang kampung geus sareged, make calana sontog, samping dibeubeurkeun kana cangkeng, bedog panjang nyolegreng. Sawareh marawa tumbak. Anjing rageg geus hayangeun geura ngudag boroan ka leuweung.
Nenjo batur saraged teh Si Kabayan mah teu ieuh kapangaruhan. Manehnamah ngaleleke, make sarung dikongkoyangkeun. Batur batur marawa bedog, manehnamah kalah mawa peso raut.
"Keur naon mawa peso raut Kabayan?" tatanggana nanya.
"Keur nyisit uncal," jawabna.
Nu rek moro laju indit. Tepi ka leuweung, der ngasruk. Anjing rageg ti kulon, ti kaler, ti wetan. Jalma jalma pating corowok. Nu megat ayana di beulah kidul, lebah bubulak.
Ari Si Kabayan misahkeun maneh. Manehnamah nangtung handapeun tangkal jambu batu bari tatanggahan, neangan jambu asak.
Keur tatanggahan, gorowok nu ngagero, "Pegaat..!"
Si Kabayan ngalieuk. Ari torojol teh ti jero rungkun, uncal jaluna. Tandukna ranggah.
Si Kabayan can nyahoeun uncal. Cek pangirana uncal teh sagede anak embe. Nu matak barang nenjo satu nu siga kuda bari tandukan teh, ngan terekel we manehna naek kana tangkal jambu. Teu bisa luhur naekna teh da kagok ku sarung. Manehna nangkod kana dahan panghandapna, sarungna ngoyondon.
Kabeneran uncal teh lumpat ka handapeunana pisan. Si Kabayan peureum, sieuneun kaparud ku tanduk uncal nu sakitu ranggahna.
Si Kabayan teu kira-kira reuwaseunana barang karasa aya nu ngabedol ti handap. Ari ditenjo horeng tanduk uncal teh meulit kana sarungna. Uncal ngarengkong, tuluy babadug hayang ngalesotkeun tandukna. Kadenge ambekanan hos hosan. Si Kabayan beuki pageuh muntangna, uncal beuki rosa ngamukna, tapi tandukna kalah beuki pageuh kabeulit ku sarung. Si Kabayan beuki geumpeur, sepa taya getihan.
"Tuluung.. Tuluuuung..., ieu aing ditubruk uncal...!" Si Kabayan gegeroan menta tulung.
Teu lila burudul nu moro nyalampeurkeun. Nenjo uncal abrug-abrugan teh, teu antarapah deui belewer we ditumbak. Uncal ngajengjehe. Jekok-jekok pada ngadekan tepi ka rubuhna. Uncal ngajoprak. Si Kabayan ge ngalungsar gigireunana bari renghap ranjug.
Nu ngariung uncal helokeun.
"Kumaha ditewakna uncal sakieu badagna, Kabayan?"
Si Kabayan nangtung lalaunan bari cungar-cengir, "Ah gampang. Uncal mengpengan ka handapeun tangkal jambu, ku kuring dipegat. Barang geus deukeut, dirungkup weh tandukna ku sarung. Tuh gening sarungna oge tepi ka rangsak saroeh. Geus karungkup mah teu hese, kari marieuskeun we tandukna."
Sarerea gogodeg. Ari Si Kabayan padamuji teh nyerengeh we bari ngusapan tuurna nu barared.
Uncal pada ngarecah. Si Kabayan ngajingjing pingping uncal bari heheotan.
=======================================================================
Si Kabayan Pasea
=======================================================================
Si Kabayan mah ari nyarita sok sahinasna, tara dijieun jieun. Tapi ku lantaran jujur teuing, ku tatanggana sok disebut jelema bodo. Pedah ari ngomong sok satarabasna.
Padahal mun dilenyepan mah, omongna Si Kabayan teh bener, malah tampolana mah sok bener teuing. Geura model kieu omong- omongan Si Kabayan mah, mun diajak nyarita ku batur teh:
Si Kabayan keur ngasah bedog sisi balong, lar tatanggana ngaliwat. Tuluy ditanya, "keur ngasah bedog Kabayan? jawabna teh. "Naha atuh ari nyaho mah make nanyakeun?"
Papanggih jeung baturna nu geus lila ngumbara ka jauhna. Baturna nanya, "Cageur Kabayan?" Jawabna, "Naha da kuring mah henteu gering!"
Si Kabayan ngajingjing ganas, ditanya ku tatanggana, "Ti mana ngala ganas, Kabayan?" Jawabna, "Tina tnagkalna, rek dibawa kahareup," jawab Si Kabayan, Ngomong kitu teh daria naker, teu euleum euleum.
Si Kabayan pasea jeung pamajikanana. Pamajikanana ceurik. Kadengeun ku tatanggana, tuluy nanya, "Ku naon Nyi Iteung ceurik, Kabayan?" Jawabna, "Ku biwirna." Di jawab kitu tatanggana teu ambek, kalah ngomong deui, "Ari sugan ku irungna."
"Nya eta pinuh ku leho," omong Si Kabayan.
"Tadi kadenge aduh aduhan sagala. Ku maneh diteunggeulan?" tatanggana nanya deui.
"Henteu. Kuring keur nyekel sapu. Pamajikan nyampeurkeun. Ah, disapukeun we!" ceuk Si Kabayan.
"Teu kadenge ceurik ayeunamah," ceuk tatanggana.
"Capeeun," tembal Si Kabayan.
Lila lila mah tatanggana keuheuleun, asa diheureuykeun.
"Sugan gelo maneh mah Kabayan! Ditanya sabener-bener. ngajawab sakainget!"
"Naha atuh ari nyaho kuring gelo mah, barang tanya bae?"
Pamajikanana nunghol tina panto. Panonna rambisak. Omongna, "Salaki kuring mah satengah buah leunca. Dititah ngala keusik jeung batu ka walungan, jualeun ka dayeuh, kalah ngambek."
Si Kabayan nembal, "Atuda sieun, ngala keusik jeung batu mah da lain pelak sorangan. Mun dititah ngala nangka, ngala lauk di balong, daek. Sabab pelak kuring sorangan. Ari ngala keusik jeung batu mah, engke heula. Sieun ku nu bogana. Manasina walungan teh anu mitoha."
Ceuk tatanggana, "Hih, Kabayan, walungan mah euweuh nu boga."
Tembal Si Kabayan, "Moal enya barang euweuh nu boga. Geuning kuring nuar kai ti leuweung, ditangkep ku kokolot. Cenah leuweung teh boga nagara. Walungan katut eusina oge pasti aya nu boga. Ngan teuing saha nu bogana. Pokona lain nu kuring, lain nu pamajikan, lain nu mitoha.:
Ngadenge kitu, tatanggana teu ngajak nyarita deui, tuluy weh ngaleos.